Pengembangan Profesionalisme Konselor

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Secara singkat dan sederhana, disimpulkan bahwa bimbingan dan konseling sangat dibutuhkan, dianggap sangat penting. Pendapat ini tidak hanya berasal dari konselor sendiri tetapi dari semua orang yang mengerti pendidikan, termasuk para pengelola pendidikan. Banyak alasan dapat dikemukakan, dilihat dari berbagai sudut pandang.

Namun ketika mengamati realitas pengelolaan bimbingan dan konseling, ditemukan banyak inkonsistensi antara keyakinan dan pelaksanaannya. Inkonsistensi tersebut dapat ditemukan pada kebijakan para pengelola pendidikan, tetapi juga pada konselor sendiri.

Ada berbagai bentuk inkonsistensi, diantaranya dapat diamati dalam rasio petugas bimbingan dan jumlah siswa tidak sebanding. Di sekolah yang terkenal baik, dengan jumlah siswa paling sedikit 500 orang., petugas bimbingannya hanya terdiri dari dua orang.

Baca Juga: Kasus Bunuh Diri Remaja, ke Mana Orang tua dan Guru?

Mereka tidak hanya dituntut untuk mendampingi siswa secara individual tetapi juga menangani administrasi bimbingan. Di samping itu, petugas bimbingan masih diberi kepercayaan untuk menangani tugas – tugas lain. Masih banyak bentuk inkonsistensi lain yang jika ditelusuri akarnya ada pada keinginan untuk melakukan efisiensi.

Di pihak konselor sendiri, ada kecenderungan untuk hanya mendampingi siswa bermasalah melalui pendekatan korektif. Padahal, perubahan jaman sebetulnya mengharuskan konselor juga mendampingi siswa yang tidak bermasalah, paling tidak membekali mereka dengan pengetahuan dan kemampuan untuk menghadapi perubahan, melalui pendekatan developmental dan preventif.

Lagipula, bukankah di sekolah lebih banyak siswa yang tidak bermasalah. Selain itu, pendekatan developmental lebih sesuai dengan dinamika psikis siswa.

Kecenderungan di atas disebabkan oleh ketidaksiapan konselor menggunakan pendekatan developmental dalam pendampingan. Di samping karena kurang dipelajari dalam pendidikan pra-jabatan, juga karena banyak konselor tidak memiliki tradisi belajar yang baik, sehingga mereka tidak cukup mengikuti perkembangan.

Baca Juga: Mendorong Sikap Lebih Moderat dalam Penanganan Kasus Murid Hamil di Luar Nikah

Tetapi, dominannya pendekatan korektif juga dapat disebabkan oleh tidak adanya jam tatap muka secara klasikal. Sementara, penyelenggaraan pendampingan klasikal di luar jam pelajaran umumnya membutuhkan dana yang belum tentu tersedia.

Kemungkinan lain, dana tersedia tetapi konselor memiliki keterbatasan dalam melobi jaringan lain untuk kerjasama.

Banyak kegiatan bimbingan menjadi tidak produktif ketika aktivitas bimbingan semata menangani gejala dari permasalahan. Penelusuran sampai ke akar masalah dalam mengupayakan ketuntasan penanganan, belum sepenuhnya menjadi tradisi kerja.

Penanganan kasus menjadi sangat sekedarnya, cenderung menjadi formalitas. Atau, akar masalah diketahui, namun konselor tidak terbiasa mengkomunikasikannya kepada pihak yang terkait dengan masalah. Konselor pun tidak terbiasa mempelopori atau mengusulkan kegiatan dalam rangka menangani masalah secara tuntas.

Misalnya, jika ditelusuri, banyak masalah siswa di sekolah berakar pada kemampuan komunikasi orang dewasa; Guru dan orang tua, mengapa konselor tidak mendorong sekolah untuk menyelenggarakan pelatihan komunikasi bagi Guru dan orang tua?

Banyak konselor tidak memiliki program tahunan. Kalau program tahunan disusun, tidak selalu terlaksana. Sering penyusunan program hanya untuk memenuhi persyaratan akreditasi. Kepala Sekolah tidak selalu mengawasi pelaksanaan program. Program terlaksana atau tidak terlaksana sama saja.

Tidak ada kriteria jelas untuk mengukur kinerja. Keseluruhan kegiatan bimbingan cenderung tidak dikelola secara baik. Konselor kemudian menjadi cenderung sangat reaktif. Kondisi ini sangat merugikan aktivitas bimbingan secara keseluruhan.

Baca Juga: Pentingnya Mengelola Kecerdasan Emosional pada Anak

Masalah lain yang juga teramati adalah kesulitan banyak konselor mengupayakan dukungan dan kerjasama dari lingkungan terdekatnya. Ada kecenderungan konselor bekerja sendiri. Bahkan tak jarang teramati, munculnya suasana persaingan antara konselor dengan tenaga pendidik lainnya. Hal ini agaknya berpangkal pada tidak efektifnya peran kepemimpinan Kepala Sekolah.

Rangkaian pemaparan di atas menunjukan bahwa keadaan bimbingan dan konseling di sekolah masih jauh dari profesional. Namun, masalah rendahnya profesionalisme konselor, bukan semata – mata masalah bimbingan dan konseling sebagai sebuah unit kerja, melainkan masalah pengelolaan pendidikan secara keseluruhan.

Mengingat hal itu merupakan problem struktural, maka pengembangan dan peningkatan profesionalitas konselor membutuhkan pendekatan struktural pula. Pendekatan ini melibatkan berbagai pihak, mulai dari pengelola pendidikan, lembaga penyelenggara pendidikan pra-jabatan, Kepala Sekolah, Guru serta orang tua siswa.

Oleh karena itu, kita mendorong inisiatif untuk mendirikan sebuah asosiasi konselor untuk memperjuangkan profesionalisme dan pemberdayaan konselor.

5 1 vote
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
2 Comments
oldest
newest most voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Baca Juga: Pengembangan Profesionalisme Konselor […]

trackback

[…] Baca Juga : Pengembangan Profesionalisme Konselor […]