Depoedu.com – Tahun lalu, setelah dunia pendidikan dikagetkan oleh peristiwa siswa SD kelas V menghamili pacarnya siswa kelas VIII SMP di Tulungagung, di penghujung akhir tahun ajaran tersebut, dunia pendidikan sekali lagi dikagetkan oleh kasus bunuh diri Al, remaja 14 tahun. Al loncat dari lantai 33 Apartemen Setiabudi Jakarta Selatan. Diduga peristiwa bunuh diri Al dipicu oleh depresi karena merasa tidak siap mengikuti ujian Bahasa Mandarin esok harinya, sementara perolehan nilai ujian-ujian hari-hari sebelumnya sudah jelek-jelek.
“Dia sempat mengeluh terus ke Ibu dan Bibi, dia stress karena nilai ujiannya jelek-jelek. Apalagi pada hari Senin, dia ada ujian Bahasa Mandarin. Nah pelajaran ini yang paling dia tidak bisa”, kata AKBP Irwan Zaini, Kapolsek Setiabudi, pada Warta Kota. Pernyataan ini sekaligus membantah informasi yang sempat beredar bahwa penyebab bunuh diri Al adalah karena korban tengah hamil muda. “Tidak ada hamil itu, badannya emang gemuk anaknya”, tegas Irwan Zaini pada wartawan.
Tidak lama berselang dari kasus Jakarta, terjadi lagi kasus bunuh diri remaja, kali ini di Blitar, Jawa Timur. Seperti dilansir oleh Detik.com, mengutip keterangan beberapa teman korban, EP adalah siswa berprestasi di sebuah SMPN di Blitar. EP mempunyai cita-cita kuat melanjutkan sekolah ke SMA favorit, SMAN I Kota Blitar. Penerapan kebijakan zonasi dalam penerimaan siswa baru membuat keinginan itu terganjal, oleh karena domisili EP di Kabupaten Blitar. Meskipun demikian, jika didampingi lebih baik, baik oleh orang tua maupun sekolahnya, terkait masalah zonasi harusnya anak ini mempunyai peluang masuk ke SMAN I Kota Blitar, mengingat aturan masalah zonasi memberi ruang bagi sekolah sebesar 10% untuk menerima siswa di luar zonasi. Apalagi EP merupakan siswa berprestasi, lulus SMP dengan nilai 359. Di sekolahnya ia termasuk juara olimpiade.
Namun tampaknya, seperti diungkap oleh Menteri Pendidikan bahwa masalah zonasi tidak menjadi sebab tunggal. “Ada beberapa masalah menyertai, anak ini tidak tinggal dengan orang tuanya, Ia kost selama di SMP. Bayangkan anak SMP sudah pisah dengan orang tua”, kata Muhadjir Effendi.
Analisa menteri pendidikan ini terkonfirmasi melalui surat wasiat EP pada Ibunya. Di surat wasiat tersebut tertulis dua hal terkait orang tuanya : Mama kerja siang malam buat aku, dan Mama tolong tutup praktek di rumah sampai habis lebaran. Tampaknya EP kurang mendapat perhatian dari orang tuanya.
Dua kasus itu sudah terjadi. Ada banyak analisa tentang faktor penyebab. Bisa benar, bisa salah. Yang jelas kasus bunuh diri remaja tidak dapat terjadi hanya oleh sebab tunggal. Pasti ada banyak faktor penyebab yang secara bersama-sama memicu terjadinya kasus bunuh diri tersebut. Yang perlu kita lakukan adalah mengambil pelajaran dari kasus itu agar pada saat yang akan datang tidak terjadi lagi.
Terutama tentang sebab terjadinya bunuh diri remaja, sebuah penelitian yang dilakukan di Makasar oleh Hermin Mallo dan Daniel Ronda, menyimpulkan bahwa pada umumnya, kasus bunuh diri pada remaja disebabkan oleh tiga hal. Pertama depresi. Depresi tersebut adalah puncak dari semua perasaan bersalah, marah, merasa tidak diinginkan. Depresi yang berat menjadi salah satu penyebab bunuh diri pada remaja.
Penyebab kedua adalah masalah konsep diri yang keliru. Konsep diri yang keliru membuat mereka merasa tidak diinginkan, tidak berharga, dan merasa tidak ada seorang pun yang mengasihi. Konsep diri yang salah ini juga dipengaruhi oleh teman sebaya mereka. Remaja berusaha untuk menjadi seperti yang diinginkan oleh teman sebaya, agar mereka diterima dan diakui oleh kelompok teman sebaya mereka. Biasanya, semakin berusaha mereka semakin merasa gagal.
Ketiga, faktor hubungan dalam keluarga. Terutama mencakup penerimaan orang tua dan perceraian orang tua. Biasanya berawal ketika orang tua yang tidak menerima anak apa adanya membuat remaja berusaha menjadi orang lain dan merasa orang tua mereka baru akan mengasihi jika mereka menjadi remaja yang orang tua mereka inginkan, bukan menjadi mereka apa adanya. Sedangkan perceraian orang tua melukai anak remaja dan membuat mereka merasa tidak dikasihi. Pada umumnya mereka pun merasa menjadi penyebab perceraian tersebut.
Saat ini, data kasus bunuh diri remaja terus meningkat. Data yang dilansir oleh Helloseshat.com, mengutip WHO bahwa tahun 2015 terjadi 840 kasus bunuh diri di Indonesia, di mana setengah dari jumlah tesebut adalah kasus bunuh diri remaja. Umumnya remaja yang bunuh diri adalah remaja yang introvert, yang tidak mengakses pendampingan yang baik, baik dari orang tua maupun dari guru. Ayo orang tua dan guru, mari dampingi remaja kita untuk terus bertumbuh. Mereka membutuhkan perhatian kita. (Oleh: Sipri Peren / Foto: corrypt.blogspot.com)
[…] Baca Juga: Kasus Bunuh Diri Remaja, ke Mana Orang tua dan Guru? […]