Depoedu.com – Seperti dilansir oleh Pos Kupang, dua siswa SMA swasta Bale Riwu, Danga, Nagakeo, gagal mengikuti Ujian Nasional. Mereka merupakan pasangan kekasih yang diminta mengundurkan diri setelah ketahuan melakukan hubungan badan sehingga menyebabkan pasangan wanita hamil. “Mereka tidak bisa mengikuti UN karena yang perempuan sudah berbadan dua. Tidak mungkin dalam kondisi seperti itu, mengikuti UN. Mereka diminta mengundurkan diri karena sesuai dengan peraturan yayasan yang menaungi sekolah, siswa yang melakukan pelanggaran itu tidak dapat melanjutkan pendidikan di sekolah tersebut”, kata Luis L. Daka, Kepala Sekolah tersebut, seperti dikutip Kupang Pos.
Sekolah Konservatif
Hampir setiap tahun, kasus seperti di atas terjadi. Tahun 2013, berkaitan dengan kasus serupa di sebuah Sekolah Negeri di Tangerang, Mendikbud –ketika itu Muhamad Nuh—menegaskan, tidak ada larangan bagi siswa hamil atau menikah untuk meneruskan sekolah dan mengikuti ujian nasional. Namun hingga kini, dengan moral yang dihayati oleh sekolah, tindakan ini dilihat semata-mata sebagai tindakan amoral, dengan kesalahan sepenuhnya diletakkan pada pundak murid, dan selalu berbuntut pada pemecatan.
Apakah penanganan kasus dengan sikap konservatif seperti ini menyelesaikan masalah? Perhatikan data-data berikut ini. Sepanjang tahun 2015, Dinas Kesehatan DIY mencatat ada 1.078 remaja usia sekolah di Yogyakarta yang melakukan persalinan. Dari jumlah itu, 976 di antaranya hamil di luar nikah. Akhir tahun 2016, Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat Purworejo, melansir data kasus hamil diluar nikah mencapai 85 kasus. Sedangkan di Kota Blitar, tahun 2016 terjadi 97 kasus anak hamil di luar nikah. Tahun 2017, dari Januari hinggga Juni, terjadi kasus hamil di luar nikah mencapai 73 kasus.
Sesungguhnya jika data semacam ini ditelusuri, juga di kota lain, kita akan menemukan kondisi yang hampir sama. Bahkan lebih banyak, karena banyak pasangan di luar nikah kemudian memutuskan menggugurkan kandungan. Data Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada mengungkapkan hal tersebut. Ada sebanyak 58% remaja yang hamil di luar nikah melakukan upaya menggugurkan kandungan.
Data-data ini menggambarkan pada kita bahwa menyelesaikan kasus dengan sikap konservatif tampaknya sudah tidak memadai lagi karena dunia telah banyak berubah. Remaja dipengaruhi oleh banyak faktor, sementara, kepribadian mereka masih labil, penghayatan nilai moral mereka masih belum mapan. Oleh karena itu, dari orang dewasa, diperlukan sikap lebih moderat dengan kebijakan yang lebih holistik, terutama dari sekolah dan keluarga.
Sikap Moderat dan Kebijakan Holistik
Para psikolog melukiskan remaja dan masa remaja sebagai masa terbaik karena perkembangan computer, internet, dan teknologi informasi membuat mereka dapat mengakses semua orang, semua hal di seluruh planet. Ini membuat mereka memiliki peluang untuk dapat belajar apapun secara real time. Mereka dapat mengakses sumber ilmu pengetahuan terbaik, melihat bahkan berinteraksi dengan model pribadi terbaik, sehingga mereka memiliki peluang untuk bertumbuh secara hampir tanpa batas.
Namun pada saat yang sama, remaja tidak hanya berhadapan, mengakses dan berinteraksi dengan hal-hal yang ideal saja. Narkotika dan promosinya, pornografi, seks bebas dan promosinya, dapat diakses melalui jaringan yang sama. Agar hanya mengakses hal yang positif, remaja membutuhkan pegangan moral, kekuatan mental, dan motivasi positif.
Sementara, di tahap perkembangan ini, remaja belum mapan berkaitan dengan perkembangan moral, belum memiliki kekuatan mental. Pada saat yang sama, kemajuan zaman juga menawarkan kenikmatan yang melekat bersama budaya konsumerisme. Pada titik inilah para psikolog juga menggambarkan masa remaja sekaligus dapat menjadi masa yang terburuk.
Maka tentang hubungan seksual hendaknya, para remaja tidak hanya dilarang, apalagi telah dianggap beres ketika sekolah sudah memasukkan larangan tersebut dalam aturan sekolah. Remaja harus disiapkan untuk menghadapi perubahan. Mereka harus diajak bicara agar mereka mampu memaknai arah perubahan, baik berkaitan dengan diri mereka, maupun perubahan di luar diri mereka, baik oleh sekolah, maupun oleh orang tua. Perlu ada program klarifikasi nilai untuk membantu remaja menemukan nilai hidupnya. Remaja perlu diajak bicara tentang kesehatan reproduksi, untuk memahami secara benar keluhuran makna seksualitas manusia. Remaja perlu diajak bicara tentang pergaulan bebas, seks bebas, dan dampaknya. Juga thema-thema tentang narkotika dan bahayanya. Pun, tidak banyak sekolah menengah di Indonesia, atau orang tua, serius membantu remaja merencanakan masa depan mereka.
Kebanyakan sekolah sibuk dengan pengajaran akademis, itupun akademis tingkat rendah, yang tidak banyak relevansinya dengan upaya menyiapkan remaja untuk hidup. Demikian juga dalam hal Pendidikan Agama. Mengutip Romo Magnis Suseno, SJ, Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo mengatakan bahwa Pendidikan Agama di sekolah sekarang terlalu formal, dengan metode yang sudah ketinggalan zaman. Pendidikan Agama tidak berdampak untuk menumbuhkan kesadaran moral.
Maka sudah saatnya sekolah dan orang tua lebih proaktif membantu remaja, lebih moderat melihat permasalahan remaja. Bahwa remaja memerlukan pemahaman, bantuan, pendampingan, dengan program-program preventif yang lebih holistik, dan menyentuh kebutuhan perkembangan remaja, agar remaja lebih positif memilih dan lebih tangguh menghadapi tantangan hidup mereka. (Oleh: Sipri Peren / Foto: abiejournal.wordpress.com)
[…] Baca Juga : Mendorong Sikap Lebih Moderat Dalam Penanganan Kasus Murid Hamil Di Luar Nikah […]