Depoedu.c0m-Pandemi covid-19 “memaksa dan mengharuskan” masyarakat untuk menghabiskan banyak waktu berjumpa di dunia maya (baca: media sosial dengan berbagai macam platformnya).
Salah satu realitas yang paling nampak dan banyak dijumpai yakni proses pembelajaran baik pada level para siswa dan guru maupun para mahasiswa dan dosen. Realitas perjumpaan secara fisik di sekolah atau kampus, seketika dipertemukan dalam dunia maya (sekolah dankampus virtual).
Tentu ada plus minusnya dari setiap proses yang baru. Tetapi saya tidak begitu tertarik atau pun mungkin karena kurang terlalu kompeten untuk membahas itu. Saya justru tertarik dengan hal-hal lain terutama yang berkaitan dengan dinamika selama pembelajaran online.
Dalam sebuah kesempatan, saat pembelajaran Sosiologi, saya memberikan questioner yang berisikan pertanyaan penting, yaitu mengapa para siswa sulit untuk membuka atau menyalahkan camera pada saat pembelajaran berlangsung?
Atau pun kalau dinyalahkan, mengapa yang ditampilkan itu hanya bagian tubuh tertentu saja, misalnya yang paling dominan selama ini hanya dahi dan rambutnya saja?
Baca juga : Survey Digital Civillity Indeks; Kesopanan Neitizen Indonesia Paling Buruk Se-Asia Tenggara
Dua pertanyaan di atas, sengaja saya ajukan kepada mereka, setidaknya untuk mengobati rasa penasaran saya akan jawaban yang mereka sampaikan. Tentu ini tidak bermaksud untuk memberikan vonis dan penilaian kepada para siswa hingga berujung pada pemberian labelling bahwa moralitas siswa ini atau siswa itu sangat buruk.
Jika kita sedikit bermain dalam ranah epistemis dan meminjam pendapat dari Dingman dan Bloom (2012), rasa malu terjadi saat seseorang tidak melakukan suatu perilaku yang menjadi kepentingan terbaik mereka sendiri karena merasa takut bahwa hasilnya akan negatif.
Bentuk yang lebih kuat dari rasa malu adalah social anxiety atau social phobia dan bisa termasuk dalam salah satu gejala Asperger. Salah satu contoh gejala ang terjadi pada tingkat kognisi adalah takut terhadap evaluasi dan terlihat bodoh di depan banyak orang.
Menarik ketika saya kemudian membaca jawaban mereka. Pada umumnya mereka malu untuk menampilkan wajah secara utuh atau badan secara utuh pada ruang virtual dengan alasan tidak percaya diri akan penampilan yang seadanya saja.
Bahkan ada yang secara jujur mengatakan kalau dirinya bahkan tidak sempat untuk mandi atau mencuci muka sekali pun sebelum pembelajaran berlangsung.
Baca Juga : Dunia Maya Vs Dunia Nyata
Selain rasa malu dan kurang percaya diri, faktor yang paling dominan lainnya adalah rasa jenuh atau kebosanan. Pada titik ini, baik saya dan juga (mungkin) pembaca sepakat akan fakta ini.
Bagaimana pun terlalu lama menatap layar kaca laptop/ hp bisa membuat kejenuhan. Meski terkadang di sini ada yang sedikit aneh tapi nyata. Kalau seharian menatap layar kaca untuk aktivitas bermain game, chat-chatan dan video call dengan kekasih justru tidak bosan. Hehe…tentu konteksnya berbeda.
Di sana ada aktivitas (aktif), sedangkan dalam konteks pembalajaran kadang masih didominasi oleh ceramah (ini tidak bermaksud untuk menggeneralisir semua proses dan metode pembelajaran yang dilakukan oleh para guru).
Kebosanan dan perasaan malu seorang anak dalam menampilkan wajah seutuhnya di layar kaca sekaligus juga memberi konfirmasi kepada kita semua bahwa pada titik tertentu, setiap prubahan pasti berakhir pada rasa jenuh atau bosan.
Hal ini yang kemudian menuntut kita untuk senantiasa terus berkembang dan mengkreasikan hal-hal baru yang setidaknya untuk bisa mengatasi kejenuhan dan kebosanan tersebut.
Foto:tirto.id