Depoedu.com – Tugas sebagai pendidik di sekolah menghadapkan kita pada pengalaman berelasi dengan orang tua siswa. Perilaku siswa di kelas, relasinya dengan teman, atau pencapaian akademisnya, membuat kita merasa perlu memastikan kondisi ini diketahui oleh orang tua mereka.
Selain dari pihak kita, relasi bisa terjadi atas inisiatif para orang tua siswa. Ada hal yang mereka pertanyakan, keluhkan, ada permintaan dan masukan, atau bahkan ada catatan dan keberatan terhadap tindakan pedagogis yang kita lakukan pada putra-putri mereka.
Gambaran relasi orang tua anak, aneka versi pola asuh, bisa kita peroleh melalui sekian pengalaman itu. Dalam semua itu, kita bisa terlibat dengan seluruh diri, pikiran dan perasaan kita, termasuk dengan pengalaman kita sendiri, andai pada saat yang sama, kita pun berstatus sebagai orang tua untuk anak-anak kita.
Pernah menjadi cemas mengetahui besarnya tuntutan yang dihadapi siswa kita dari orang tuanya? Pernah menjadi kesal saat orang tua tampak lebih merisaukan nilai ulangan yang diperoleh anak, daripada kondisi sang anak sendiri?
Pernah merasa buntu karena upaya pengembangan nilai tanggung jawab pada siswa terbentur kecenderungan orang tua untuk terus mengambil alih peran anaknya?
Issue parenting menjadi tak terhindarkan dalam proses menjalankan tugas sebagai pendidik di sekolah. Sementara, bekal yang kita miliki dari proses studi mungkin belum sepenuhnya memadai. Sebagaimana selama ini, aktivitas berliterasi bisa menjadi cara mengatasi. Tentu saja dengan bahan pilihan yang terseleksi.
Buku berjudul Learning to Stop; bisa membantu kita dalam hal ini. Berangkat dari gagasan bahwa tujuan menjadi orang tua tercapai saat tidak perlu menjadi orang tua lagi, yakni saat anak telah dapat mengambil keputusan untuk hidupnya sendiri.
Baca Juga: Pelajaran Penting Dari Angelina Jolie; Orang Tua Hanya Perlu Jujur
Maka, secara bertahap orang tua perlu menjadi sanggup untuk: melepaskan kenikmatan sebagai orang yang dibutuhkan anak; melepaskan kenyamanan sebagai orang yang tahu segala sesuatu tentang anak; dan melepaskan keinginan untuk menjadi orang yang berperan dalam hidup anak.
Bantuan dalam hal inilah yang diberikan oleh Ibu Charlotte Priatna, melalui buku yang ditulisnya. Tidak hanya itu, dengan me-replay seluruh pengalaman menjadi orang tua bahkan sejak menikah, serta dengan panduan refleksi sepanjang perjalanan, buku ini menuntun pembaca mengenali dan menemukan kembali suka cita menjadi orang tua. Dengan demikian, pembaca dapat semakin menikmati setiap tahap dalam prosesnya.
Penulis yang adalah praktisi dan konsultan pendidikan, pendiri Sekolah Kristen Athalia yang berlokasi di Tangerang Selatan ini memang dikenal sebagai konselor bagi para orang tua.
Topik-topik parenting yang dibawakannya melalui berbagai media, telah menjangkau dan membekali berbagai kalangan. Dari buku ini kita berkesempatan ambil bagian, menimba banyak pembelajaran.
Pendampingan orang tua (parenting) yang menjadi keahlian Ibu Charlotte, hadir secara lengkap dan menyeluruh dalam ke-7 bab di buku ini. Alur sajian dibuat kronologis sejak pasangan menikah dan menerima kehadiran anak untuk pertama kali, hingga saat anak menjadi mandiri dan orang tua kembali berdua.
Dalam setiap bab yang mewakili setiap periode tahap, dibahas pula sejumlah issue yang cenderung atau berpeluang muncul pada tahap itu.
Pada bab pertama, pembaca diajak melacak kembali keputusan awal, dengan merefleksikan makna kehadiran anak, dan cara pandang terhadap anak. Selanjutnya, karena relasi suami istri menentukan kualitas relasi orang tua-anak, maka penting untuk selalu mengenali dan menerima satu sama lain, menjadi satu suara di depan anak.
Baca Juga: Gitanjali Rao: Harapan Baru Untuk Dunia Yang Semakin Baik
Bab berikutnya menekankan bahwa dua pribadi dengan latar belakang berbeda yang dipersatukan dalam ikatan perkawinan, masing-masing memiliki paket pengalaman masa lalu dengan segala kompleksitasnya.
Penting untuk berdamai dengan diri sendiri, mengasihi diri sendiri sebelum mengasihi orang lain, karena luka batin masa lalu berdampak pada pilihan dan keputusan di masa sekarang.
Mendukung proses ini, ada tuntunan untuk membereskan luka masa lalu lewat forgive box. Lalu ada konsep merenggang dan mengikis diri, atau saling sesuaikan dalam relasi.
Topik lain yang juga diangkat adalah issue seputar relasi kakak beradik. Secara alami, saudara kandung memiliki love-hate relationship. Orang tua perlu membantu mereka belajar seni berdamai, latihan saling mengalah, mengampuni, menghormati, dan berempati.
Pembaca juga diajak menyadari fakta bahwa proses parenting ditandai dengan sejumlah alternatif yang kontradiktif. Pilihan yang diambil kemudian akan menentukan values yang diserap anak, sebagai warisan dari orang tua. Ada satu bab tersendiri yang secara khusus memberikan panduan dan pertimbangan untuk mengambil pilihan terbaik.
Issue seputar melepas anak ke luar “sarang”, untuk kuliah dan berkarier di luar kota atau luar negeri, berpacaran, hingga menentukan pasangan hidup, diulas pada bab selanjutnya. Sharing pengalaman hidup penulis dapat menjadi panduan bagi para orang tua dalam menghadapi tahap krusial ini.
Hingga tahap terakhir dalam perjalanan menjadi orang tua, kita dibekali untuk melampaui semua bentuk “kehilangan”, berdamai dengan kondisi yang “tersisa”, yang justru bisa menjadi peluang melakukan hal yang sebelumnya tidak bisa. Karena Allah tetap setia mendampingi, dan menjadikan semua indah pada waktunya.
Baca Juga: Refleksi Akhir Tahun 2020; Menetapkan Sasaran Fokus Perhatian
Kiranya ulasan sejauh ini bisa sedikit memberikan gambaran. Untuk berbagai issue yang kita hadapi dalam relasi dengan para orang tua siswa, buku ini memungkinkan kita belajar dari narasumber utama.
Pada saat yang sama, kita pun berkesempatan merefleksikan kembali panggilan sebagai orang tua. Karena kekayaan penulis sebagai seorang Istri, Ibu, Oma, Pendidik, dan Konselor Keluarga, juga pribadi yang penuh iman, akan sungguh memperkaya kita. Selamat membaca!!!.