Depoedu.com – Selagi ada kehadiran orang lain, kita tidak akan pernah benar-benar menjadi diri kita. Akan selalu ada negosiasi baik itu dalam aspek kognitif maupun psikomotor. Misalnya dalam hal posisi duduk, cara berbicara dan respons kita atas apa yang disampaikan oleh orang lain. Perlu ada negosiasi untuk bisa adaptif dengan lingkungan.
Negosiasi dalam taraf kognitif atau pikiran kemudian memunculkan perilaku. Jika perilaku ini adaptif atau sesuai dengan lingkungan, maka akan memunculkan perasaan positif dan jika sebaliknya, akan memunculkan perasaan negatif.
Hidup dalam bermasyarakat selalu dihadapkan dengan aturan/tuntutan sosial. Jika kita bisa memenuhi aturan tersebut, kita akan mendapatkan kepuasan atau munculnya rasa bangga. Namun jika kita menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan aturan yang ada, maka akan timbul perasaan bersalah.
Dalam psikoanalisa Freudian, konsekuensi perilaku terhadap munculnya perasaan, baik itu rasa bangga dan rasa bersalah merupakan sistem kerja dari salah satu struktur kepribadian kita, yakni Das Ueber Ich.
Das ueber ich inilah yang berperan dalam penentuan apa yang pantas dan yang tidak pantas dilakukan. Begitu pula penentuan konsep benar dan salah. Jika sesuatu yang kita lakukan itu pantas atau benar, maka das ueber ich ini akan memunculkan rasa bangga ataupun kepuasan.
Baca Juga: Kesabaran Itu Ilusi Yang Membungkus Perasaan Negatif
Jika sebaliknya, maka das ueber ich ini akan menghukum dengan memunculkan adanya rasa bersalah.
Das Ueber ich mempunyai peran yang sangat penting sebagai penghubung antara diri kita dengan dunia luar. Dalam lingkungan keluarga, das ueber ich ini bisa dibentuk atau ciptakan oleh orang tua ke dalam diri anaknya.
Orang tua bisa menciptakan pemahaman anaknya terkait apa yang pantas dilakukan dan yang tidak pantas dilakukan. Kapan sesuatu itu dikatakan benar, dan kapan sesuatu itu dikatakan salah.
Akan tetapi, penanaman apa yang pantas dan yang tidak pantas serta perilaku benar dan salah ini terkadang berbeda antarsatu orang tua dengan yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Ini yang kemudian mempengaruhi perbedaan das ueber ich antarsatu anak dengan yang lainnya.
Peristiwa yang sama belum tentu akan memunculkan das ueber ich yang sama. Misalnya dalam hal memukul teman. Si A mengalami perasaan bersalah yang sangat mendalam ketika memukul temannya dan si B tidak mengalami perasaan bersalah sedikitpun.
Baca Juga: Mengubah Perasaan Negatif Dengan Overthinking
Perbedaan perasaan kedua anak ini dipengaruhi oleh penanaman nilai atau pola asuh dari orang tua mereka. Orang tua si A menamakan bahwa sebagai sesama manusia, kita perlu mengasihi dan saling menjaga satu sama lain, sehingga perilaku memukul sangat tidak dibenarkan.
Sedangkan orang tua si B, mengatakan bahwa “berkelahi itu penting, karena itu yang menjadikanmu sebagai laki-laki sejati”. Perbedaan kedua pola asuh ini yang kemudian membentuk perbedaan munculnya das ueber ich dalam diri anak.
Dalam hal berpakaian, saat ini juga tentu menjadi kontradiktif. Ada anak yang tidak merasa malu ataupun merasa bersalah ketika berpergian menggunakan pakaian yang kurang tertutup.
Namun di satu sisi, ada juga anak yang merasa bersalah ketika berpergian menggunakan pakaian yang kurang tertutup. Perbedaan perasaan kedua anak ini dipengaruhi oleh pengalaman pendidikan yang diperoleh dari orang tuanya.
Orang tua yang mengajarkan anaknya untuk menggunakan pakaian tertutup ketika berpergian tentu akan membuat anaknya merasa bersalah ketika tidak dapat mematuhinya.
Baca Juga: Paradoks Harapan; Harapan Itu Bisa Menghidupkan Dan Bisa Menghancurkan
Anak diajarkan dan ditanamkan bahwa sungguh sangatlah tidak sopan kalau menggunakan pakaian yang kurang tertutup ketika berpergian. Jika ini dilanggar, maka anak akan dihantui oleh perasaan bersalah.
Sedangkan perasaan tidak bersalah yang muncul dalam diri anak juga dipengaruhi oleh pola asuh orang tua yang mungkin mengatakan bahwa, “menggunakan pakaian yang kurang tertutup adalah bagian dari gaya hidup. Itu tidak akan mempengaruhi sedikitpun nilai dalam diri. Kamu bebas dan berhak atas apa yang kamu gunakan, asalkan bisa dipertanggungjawabkan”.
Berdasarkan penjelasan di atas terkait peran das ueber ich, bisa disimpulkan bahwa munculnya perasaan bersalah dan bangga ketika melakukan sesuatu dipengaruhi oleh lingkungan, salah satunya adalah keluarga.
Bagaimana keluarga menanamkan nilai dan membentuk anaknya terkait apa yang pantas dan yang tidak pantas dilakukan. Penanaman nilai ini yang akan turut mempengaruhi perilaku anak dalam hidup bersama orang lain.
Sehingga penting bagi para orang tua untuk memiliki pendidikan dan pengalaman yang mumpuni dalam mendidik anak. Pengetahuan terkait apa yang pantas dan tidak pantas ini juga perlu disesuaikan dengan lingkungan di mana keluarga itu hidup. Jika tidak disesuaikan dengan lingkungan sekitar, maka akan memunculkan penderitaan. Kuncinya adalah membuat anak untuk bisa beradaptasi dalam lingkungan di mana ia hidup.
Baca Juga: Diam Dan Dengarkan; Dahsyatnya Pemahaman Dan Penerimaan Dalam Berkomunikasi
Lantas sudah siapkah menjadi orang tua?
Jika anak tidak ditanamkan bahwa perilaku menyelah pembicaraan adalah perilaku kurang baik, maka anak sedikitpun tidak pernah merasa bersalah ketika menyela pembicaraan orang lain. Ini terkait nilai menghargai satu sama lain.
Jika anak tidak ditanamkan bahwa perilaku mengejek atau mem-bully temannya adalah perilaku yang salah, maka ketika ia mem-bully teman-temannya, ia tidak akan pernah merasa bersalah.
Penanaman apa yang pantas dan tidak pantas ini penting diberikan orang tua kepada anaknya. Anak-anak perlu mengalami perasaan bersalah ketika melakukan sesuatu yang tidak pantas (ukuran norma sosial) sehingga ini yang mengarahkannya pada perilaku reflektif yang selanjutnya bisa memunculkan negosiasi dengan dunia luar agar bisa adaptif.
Selamat menjadi orang tua yang hebat dalam mendidik.
Foto: nu.or.id