Depoedu.com – Sebagus apapun pemerintah menyusun kurikulum, jika kurikulum resmi itu dijalankan oleh guru yang jelek, maka mutu pendidikan akan jelek. Namun kurikulum yang jelek, jika berada di tangan guru yang bagus, mutu pendidikan bisa jadi bagus, bahkan sangat bagus.
Guru yang bermutu memiliki posisi yang sangat menentukan dalam upaya mengimplementasikan kurikulum resmi yang berlaku. Wawasan dan kompetensi gurulah yang menentukan the real curriculum. Mutu pendidikan pada akhirnya sangat ditentukan oleh real kurikulum tersebut.
Jika ada problem pada level guru, namun problem tersebut tidak ditangani, atau ditangani dengan cara yang salah, maka mutu pendidikan akan sulit diperbaiki. Pengalaman dengan implementasi kurikulum 2013 kiranya membuktikan kebenaran pendapat tersebut.
Sebagai kurikulum, Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang bagus. Bangunan Kurikulum 2013 merupakan bagian dari upaya kita sebagai bangsa menyongsong perubahan zaman, pada era revolusi industri 4.0.
Namun hingga memasuki satu windu implementasi, belum tampak perbaikan mutu pendidikan. Indikator yang paling jelas adalah belum beranjaknya hasil tes PISA pelajar dari Indonesia, bahkan justru memperlihatkan kemunduran.
Tampaknya di sinilah tantangan terberat Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan. Ada tekad kuat untuk menyelesaikan masalah di level guru, namun juga menyadari kompleksitas permasalahan terkait guru.
Inilah yang membuat kita mengerti, mengapa penunjukkan Direktur Jendral Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) baru terjadi setelah delapan bulan Menteri Pendidikan dilantik. Baru pada tanggal 8 Mei 2020, Dr. Iwan Syahril, Ph.D, dilantik sebagai Dirjen GTK yang baru.
Baca Juga: Empat Tantangan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Dirjen GTK adalah Dirjen yang secara teknis paling bertanggung jawab terkait tiga hal yakni upaya pengembangan profesi guru, peningkatan mutu guru, dan upaya menjaga agar prosfesi guru tidak terkontaminasi oleh ideologi-ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Tiga hal ini sekaligus menjadi tantangan bagi Dirjen GTK. Berikut ini uraiannya.
Profesi guru penting tetapi tidak menjadi prioritas
Pengembangan profesi guru terkait semua upaya untuk mengembalikan profesi guru sebagai profesi yang penting dan menentukan dalam seluruh kerja kebudayaan kita.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin, dalam sebuah sambutannya pada acara pengurus besar PGRI belum lama ini mengatakan, “Tanpa guru saya tidak akan pernah menjadi wakil presiden”. Ungkapan ini mau menegaskan bahwa profesi guru pada dasarnya adalah sangat penting.
Namun dalam kenyataannya, guru di Indonesia digaji kecil untuk pekerjaan penting yang mereka lakukan. Dengan gaji kecil, guru tidak mampu menampilkan semua atribut sosial sebagaimana yang ditampilkan oleh masyarakat kelas menengah pada umumnya.
Akibatnya, guru tidak mendapat respect yang pantas. Guru pada gilirannya, tidak menikmati status sosial yang layak. Oleh karena itu, dalam masyarakat Indonesia, guru berada pada posisi yang inferior.
Dalam kondisi seperti ini, meskipun selalu saja ada putra terbaik yang mau menjadi guru, namun jumlah mereka terlalu sedikit untuk menghadapi tantangan di dunia pendidikan. Inilah tantangan pertama yang menurut hemat kami harus dihadapi oleh Dirjen GTK yang baru.
Bagaimana Dirjen GTK mengelola tantangan ini, agar profesi guru lebih dapat respect, memiliki status sosial yang lebih baik, dan keluar dari inferioritas, yang berpengaruh pada suasana kerja dan mutu kerja guru.
Peningkatan mutu guru
Peningkatan mutu guru terkait upaya membantu guru mengembangkan diri terus menerus, agar guru tidak ketinggalan dari derap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Baca Juga: Tantangan Pendidikan Abad 21 di Indonesia dan Respon Orangtua Siswa
Hampir semua komponen yang berkaitan dengan pekerjaan guru adalah komponen yang terus berkembang. Murid adalah salah satu komponen yang paling penting. Dengan kemampuan menjelajah internet yang luar biasa, pengetahuan murid bisa jadi sangat luas.
Jika pengajaran guru cuma sebatas yang ada pada buku pegangan, maka sebelum pelajaran dimulai, apa yang diajarkan guru sudah diketahui oleh murid. Pengajaran akan sangat membosankan. Dan dengan pengetahuan yang relatif sama, guru pasti tidak mampu menginspirasi murid.
Selain murid, ilmu pengetahuan sebagai objek yang diajarkan juga terus berkembang. Di samping itu, teknologi terkait pengajaran pun tetap berkembang. Perkembangan teknologi harus dapat dimanfaatkan untuk efektivitas dan efisiensi proses.
Situasi inilah yang menuntut guru harus terus menerus belajar, baik melalui pelatihan maupun membaca.
Terkait pelatihan, pendekatan pelatihan guru yang selama ini berjalan perlu dievaluasi. Pelatihan-pelatihan yang bersifat top down dengan pendekatan proyek, perlu dievaluasi kembali.
Dorong pendekatan pelatihan yang bersifat bottom up dan berbasis sekolah, di mana semua kebutuhan pelatihan dirumuskan dan diusulkan oleh sekolah, karena akan lebih terkait dengan kebutuhan dan problem sekolah. Semua inisiatif pelatihan harus dilanjutkan dengan inisiatif implementasi, evaluasi, dan tindak lanjutnya.
Dan yang paling penting adalah bagaimana mengembangkan habit membaca di kalangan guru. Ini tantangan yang tidak ringan, karena guru yang suka membaca memang tidak banyak. Kondisi ini sekaligus menjadi hambatan bagi keberhasilan gerakan literasi.
Upaya mendorong habit membaca harus diikuti dengan upaya menumbuhkan suasana akademis di sekolah. Suasana akademis ditandai oleh terjadinya pertukaran gagasan dan sharing kreativitas, di mana Kepala Sekolah dan komunitas sekolah menunjukkan apresiasi pada kreativitas yang muncul.
Baca Juga: Tantangan Pendidikan Di Era Digital
Dalam rangka itu, saya mengusulkan dinas pendidikan di semua propinsi dan daerah tingkat dua meyelenggarakan jurnal online seperti depoedu.com. Dinas Pendidikan mendorong guru untuk menulis pada jurnal tersebut. Untuk setiap tulisan yang dimuat, diberikan honor. Selain itu, guru yang tulisannya dimuat, dapat memperoleh kredit untuk kenaikan pangkat.
Saya yakin, inisiatif untuk mendorong guru menulis melalui jurnal online, pada saat yang sama akan berdampak pada upaya pengembangan minat membaca di kalangan guru. Mengapa? Karena setiap penulis bagus, pada awalnya adalah pembaca.
Selama ini, upaya mendorong minat baca di kalangan guru lebih sering gagal, karena membaca tidak didorong secara fungsional. Membaca secara fungsional hanya terjadi jika membaca didorong bersama-sama dengan menulis.
Upaya deradikalisasi profesi guru
Tantangan ketiga terkait upaya menjaga agar profesi guru tidak terkontaminasi ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Hal ini meliputi upaya penanganan guru yang telah terpapar, dan upaya pencegahan, agar guru lain tidak terpapar ideologi radikal.
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, dalam penelitiannya mencatat setengah dari jumlah guru di Indonesia mempunyai opini radikal dan intoleran. Guru-guru tersebut tersebar mulai dari TK hingga SMA.
Prosentase guru radikal di Indonesia menurut penelitian tersebut mencapai 50.87 persen. Survey tersebut melibatkan 2.237 guru yang dijadikan sampel, terdiri atas 1.811 guru sekolah dan 426 guru madrasah.
Jika penelitian ini menggambarkan sebuah keadaan di kalangan guru, maka jelas kondisi ini menguatirkan. Mengapa menguatirkan? Karena yang dilakukan guru adalah apa yang guru pikirkan. Jika opini lebih dari separuh jumlah guru sudah radikal dan intoleran, maka peluang untuk melakukan tindakan radikal dan intoleran sangat besar.
Jika guru sudah begitu kondisinya, besar kemungkinan ajaran radikal maupun intoleran dapat menyusup masuk sebagai the real curriculum sekolah. Jika ini tidak serius ditangani, maka persatuan dan kesatuan dalam keragaman yang dilandasi oleh Pancasila, berada dalam ancaman.
Mengingat strategisnya posisi guru di sekolah, maka kebutuhan ke arah deradikalisasi menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Jika tidak dilakukan langkah-langkah konkrit, maka Indonesia bisa jadi, tinggal sejarah.
Inilah tiga hal yang menjadi tantangan terberat dari Dr. Iwan Syahril, Ph.D., Direktur Jendral Guru dan Tenaga Kependidikan, yang dilantik oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Jumat, 8 Mei 2020.
Saya yakin beliau adalah pejabat yang tepat pada posisi ini, dilihat dari pengalaman dan latar belakang pendidikannya. Ia memiliki dua gelar Doktor, yakni Doktor Kebijakan Pendidikan serta Doktor Kurikulum, Pengajaran dan Pendidikan Guru dari Michigan State University.
Selamat bertugas Dr. Iwan Syahril, Ph.D. Masyarakat menunggu langkah besarmu, dan sejarah akan mencatat semua langkah besar tersebut! (Foto: p4tkbmti.kemebdikbud.go.id)