Where Would You Stand?

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Dalam salah satu sessi kegiatan pembelajaran Bahasa Inggris untuk guru, yang rutin kami ikuti seminggu sekali, sang guru –seorang native speakerberkebangsaan South Africa— meminta kami menceritakan sebuah pengalaman tidak menyenangkan yang kami alami dalam minggu tersebut. Sebagian pengalaman kami, guru-guru, ber-setting di area sekolah. Mulai dari ketidaknyamanan karena proses pembelajaran di kelas dimasuki seorang observer tanpa pemberitahuan sebelumnya; gangguan dari perselisihan dua tim dalam kegiatan ekstra kurikuler Sepak Bola yang berujung pada pemberian sanksi meniadakan kegiatan tersebut sampai akhir tahun pelajaran; hingga kekesalan pada orang tua siswa bermasalah yang cenderung mengabaikan anaknya dan melimpahkan tugas pendampingan sepenuhnya pada sekolah. Untuk setiap pengalaman yang diceritakan, guru kami membuat catatan kata-kata kunci, sebagai ringkasan setiap kejadian.

Terbatasnya kefasihan kami menggambarkan peristiwa dalam Bahasa Inggris berdampak pada penggunaan waktu yang cukup panjang. Seperti tidak terganggu oleh itu, masing-masing penutur pengalaman di-probing oleh sang guru untuk mengungkap lengkap. Jadilah white board kelas penuh berisi catatannya, saat tiba waktu pembahasan. Alih-alih berfokus pada minimnya kualitas penuturan kami : pilihan kata, perumusan kalimat, ataupun pronounciation (yang langsung ia koreksi sejak awal), guru kami justru membuat sebuah gambar hati yang dimaksudkannya sebagai love. Selanjutnya, kepada kelas diajukan pertanyaan “Bagaimana kita dapat beranjak dari pengalaman-pengalaman unhappiness menuju pada love?”

Eduers, bila berada dalam posisi kami di kelas Bahasa Inggris ini (bukan kelas Filsafat ataupun kelas pengembangan pribadi), apakah pertanyaan di atas akan masuk dalam prediksi? Menanggapi kebuntuan yang faktanya lebih terjadi oleh keterpukauan kami, sang guru memberikan penjelasan, beranjak dari salah satu pengalaman, demikian.

Didesak untuk menerima kehadiran tak terduga dari seorang observer dalam proses belajar mengajar yang dilakukan, sangat dipahami bisa memunculkan keberatan, perasaan diamati, kemungkinan dinilai, bahkan perasaan disangsikan. Agar dalam kejadian tak menyenangkan ini perasaan positif setara love bisa tetap dialami, hal yang diperlukan adalah openness, keterbukaan. Keberadaan openness dalam peristiwa tersebut membuka kemungkinan munculnya pengalaman yang jauh berbeda. Kita bisa mengalaminya sebagai kesempatan untuk memperoleh feedback bagi perbaikan proses mengajar, kesempatan diperkaya dan diperkembangkan, menjadi sosok yang penting untuk dikenali, atau diperbaharui. Bila demikian, bukankah rasa syukur, rasa bangga, bersemangat, bahkan antusias-lah yang lebih mewarnai? Betapa benarnya, betapa dalamnya, namun pada saat yang sama, betapa sederhananya.

Tak cukup waktu untuk membahas pengalaman berikutnya. Tetapi terhenti di situ justru membuka kesempatan luas bagi kami masing-masing untuk khusuk merefleksikannya. Bagaimana selama ini unhappy experiences saya perlakukan? Dengan bagaimana saya bisa beranjak dari sana menuju pada love? Dan sejauh mana saya melakukan atau mengabaikannya? Atau bahkan saya tak menemukan apa-apa? Tersadari kemudian bahwa bagaimanapun pahitnya, selalu ada pembelajaran di balik setiap pengalaman tidak menyenangkan. Sepertinya, justru melalui pengalaman-pengalaman seperti itulah Tuhan menempa dan menumbuhkan kita.

Flashback, menelusuri kembali pengalaman-pengalaman unhappy dalam hidup, dan pembelajaran apa yang kemudian saya petik daripadanya, benarlah bahwa tidak ada satu pun yang berlalu sia-sia. Dengan bertahan melampauinya saja, sudah ada bukti kekuatan yang adalah buah daripadanya. Jadi bila pada dasarnya pengalaman tidak menyenangkan sekalipun adalah sedemikian berharganya, semestinyakah kita memusuhi, atau bahkan menyesalinya? Betapa sebenarnya ini adalah urusan paradigma, dengan bagaimana kita mau melihat sebuah peristiwa. Antara sisi positif dan sisi negatif dari sebuah peristiwa, kita bisa menentukan, di posisi mana kita hendak berada.

Penelusuran ini mengantar saya pada sebuah kesadaran lama yang oleh pergumulan hidup sempat pergi entah ke mana. Bahwa setiap peristiwa pada hakekatnya adalah netral semata. Sikap kita terhadapnyalah yang menentukan dengan bagaimana peristiwa itu akan kita alami. Peristiwa netral yang sama bisa menjadi pengalaman membahagiakan bagi seseorang sekaligus bisa menjadi pengalaman mengecewakan bagi orang yang berbeda. Untuk setiap peristiwa dalam hidup kita, ada tawaran terbuka di mana kita hendak memposisikan diri. See… it’s really up to us. Where would you stand, Friend? (Oleh: Josybahi / Foto: dutasparepart.co.id)

5 1 vote
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments