Depoedu.com – Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi pada pelajaran dan pemebelajaran di sekolah serta pada kebutuhan masyarakat terhadap lulusan yang dihasilkan sekolah. Kurikulum yang dianggap sesuai pun disusun untuk menjawab kebutuhan ini.
Namun, seperti yang sudah kita ketahui bahwa setiap kurikulum berubah atau berganti, biasanya akan membawa kehebohan dan keribetan kepada para pelaksana kurikulum di lapangan. Misalnya, terjadi kehebohan berkaitan dengan dicanangkannya Kurikulum 2013. Di lapangan banyak ditemukan berbagai permasalahan dalam penerapannya.
Kurikulum 2013
Permasalahan pendidikan selalu menjadi bahan perhatian masyarakat,baik pelaku pendidikan maupun pemerhati pendidikan. Namun, khusus masalah yang berkaitan denagn kurikulun, tentunya yang akan banyak memperbincangkan, mendiskusikan, sampai memperdebatkannya adalah pelaku pendidikan dan yang terkait.
Harapan masyarakat tentang pendidikan adalah agar sekolah menghasilkan lulusan yang berkualitas yang mampu beradaptasi sesuai dengan jenjang usia, jenjang pendidikan, dan perkembangan zaman saat itu. Mewujudkan harapan itu nampaknya bukan pekerjaan yang mudah.
Baca Juga:
Pendidikan Digitalisasi Sebuah Kemendesakan
Karena itu, salah satu cara untuk memenuhi harapan masyarakat tadi yaitu dengan selalu meninjau ulang kurikulum pendidikan nasional yang dipakai di sekolah-sekolah.
Dari peninjauan tersebut kita mengenal ada beberapa nama kurikulum yang digunakan di sekolah yang berbasis nasional, entah negri atau swasta. Kurikulum tersebut antara lain Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan yang paling baru adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(KTSP), hingga akhirnya kita mengenal Kurikulum 2013.
Tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Secara singkatnya, undang-undang tersebut berharap pendidikan dapat membuat peserta didk menjadi kompeten dalam bidangnya. Di mana kompeten tersebut, sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang telah disampaikan di atas, harus mencakup kompetensi dalam ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan pasal 35 undang-undang tersebut.
Sejalan dengan arahan undang-undang tersebut, telah pula ditetapkan visi pendidikan tahun 2025 yaitu menciptakan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif. Cerdas yang dimaksud disini adalah cerdas komprehensif, yaitu cerdas spiritual dan cerdas sosial/emosional dalam ranah sikap, cerdas intelektual dalam ranah pengetahuan, serta cerdas kinestetis dalam ranah keterampilan.
Dengan demikian Kurikulum 2013 adalah dirancang dengan tujuan untuk mempersiapkan insan Indonesia supaya memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warganegara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan peradaban dunia.
Kurikulum adalah instrumen pendidikan untuk dapat membawa insan Indonesia memiliki kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan sehingga dapat menjadi pribadi dan warga negara yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif.
Baca Juga:
Perubahan Penghidupan Di Era Digital
Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bagi sebagian besar anak di Indonesia. Ada anak Indonesia yang bahasa pertamanya bahasa daerah (Sunda, Madura, Jawa, Batak, Padang, dll) dan ada juga yang bahasa pertamanya bahasa asing (Inggris, Jerman, Mandarin, dll). Di masyarakat tertentu ada bahasa Indonesia nonstandar yang digunakan dengan dialek tertentu, contohnya seperti bahasa Indonesia Jakarta (Betawi).
Situasi seperti ini bukanlah sesuatu yang aneh bagi anak-anak Indonesia. Pada umumnya anak Indonesia memperoleh bahasa nonstandar sebagai bahasa pertama, kemudian baru belajar bahasa standar di sekolah.
Dengan demikian, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, secara lisan dan tulis, dan untuk menumbuhkan apresiasi terhadap hasil kesustraan Indonesia.
Bagi guru pembelajaran bahasa Indonesia berfungsi juga sebagai sarana untuk membantu peserta didik mengemukakan gagasan, pendapat, dan perasaan. Selain itu, bahasa Indonesia digunakan juga agar peserta didik mampu beradaptasi dalam masyarakat pengguna bahasa Indonesia dan mampu untuk menemukan serta menggunakan kemampuan analisis dan imajinasinya.
Guru menghadapi tantangan dalam mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah karena guru menghadapi peserta didik dari berbagai latar belakang sosial-budaya yang berbeda. Tantangan itu tidak hanya pada mengajarkan materi bahasa dan sastra Indonesia saja, tetapi juga membentuk sikap peserta didik terhadap bahasa dan sastra Indonesia.
Pekerjaan yang tidak mudah tentunya. Namun, pendidik selalu mempunyai cara untukmengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi. Pendidik bekerja keras untuk mencerdaskan peserta didik dengan terlebih dahulu mencerdaskan diri sendiri agar bisa menjadi pendidik yang profesional.
Tantangan Bukan Halangan
Era digitalisasi yang pesat tidak hanya ditangkap oleh industri, namun juga pendidikan. Saat ini dunia digital memberi nilai lebih bagi pemasaran produk, komunikasi, manajemen dan bisnis, hingga pengelolaan usaha secara integratif.
Dalam survei perusahaan perekrutan internasional, Robert Walters, bertajuk Salary Survey 2018 menyebutkan bahwa fokus pada transformasi bisnis ke platform digital telah membantu memicu permintaan bagi para profesional sumber daya manusia (SDM) yang memiliki pengalaman akan perubahan manajemen.
Hal ini tentunya juga berdampak bukan hanya pada bisnis, tapi juga pendidikan. Era digital yang kini telah menjadi bagian kehidupan keseharian masyarakat, khususnya generasi muda memang akan mengubah pola kehidupan. Termasuk pola belajar dan pola penyebaran informasi. Saya meyakini, era kertas pelan tetapi pasti akan tergeser.
Ketika kamus digital dapat diperoleh dengan mudah dan murah, misalnya dapat dimasuk ke dalam HP, maka kamus tercetak akan terancam. Saya sendiri sekarang sudah jarang memegang kamus. Jika memerlukan terjemahan dapat membuka “Pocket Dict” di HP. Baru jika tidak memadai kemudian mencari kamus tercetak.
Seiring dengan kemajuan teknologi, ketika kemampuan HP semakin baik dan jenis kamus digital makin lengkap, maka pocket dict akan menjelma menjadi semacam kamus bahasa Inggris Hassan Shadily yang sekarang banyak dipakai, namun dalam versi digital. Jika itu terjadi, saya yakin tidak banyak lagi orang memerlukan kamus bahasa tercetak. Bukankah kamus digital lebih murah dan lebih fleksibel penggunaanya.
Tidak hanya itu. Setahap demi setahap, jurnal, majalah, buku dan bahkan koran juga telah digeser oleh versi digital. Jurnal ilmiah yang biasanya mahal karena jumlah cetakannya tidak banyak, kini sudah mulai beralih ke bentuk digital. Perpustakaan dengan senang berlangganan jurnal online karena murah dan tidak memakan tempat.
Hampir semua koran sekarang sudah punya versi online. Dan buku teks juga sudah mulai masih ke versi digital. Jika itu terjadi, maka penyebaran informasi benar-benar melalui versi baru yaitu digitalisasi informasi.
Guru sebagai tokoh utama dalam dunia pendidikan di sekolah harus mampu menanggapi keadaan ini. Kurikulum pun berangsur-anngsur disesuakan denagn kebutuhan zaman. Secara bertahap, topik yang dipelajari dapat diarahkan untuk memecahkan masalah. Misalnya bagaimana menemukan cara menanam sayuran yang mudah, murah, dan menguntungkan.
Bagaimana menemukan rute jalan Jakarta – Surabaya yang tercepat kalau naik mobil pribadi. Bagaimana mengatur agar sampah di sekitar sekolah dapat diubah menjadi uang. Bagaimana berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda bangsa dan negara.
Intinya memecahkan masalah kehidupan sehari-hari dengan menerapkan pengetahuan pada level sekolah yang di tempuh. Belajar untuk hidup dan dari permasalahan yang dihadapi pada kehidupan nyata.
Pola kerja seperti itu yang dilakukan orang dewasa dewasa ini. Bukankah pola pikir seperti itu yang diterapkan para ilmuwan saat melakukan penelitian? Jadi dengan pola belajar seperti di atas, sebenarnya siswa sedang belajar bagaimana cara belajar/bekerja yang baik.
Itulah yang mungkin disebut dengan problem based learning. Authentic problem based learning. Learning how to learn. Learning how to work effectively. Belajar dan bekerja yang efektif di era digital. Dan itulah sebenarnya belajar kehidupan yang diperlukan di era mendatang.
Dengan demikian tujuan untuk mencapai pendidikan Indonesia menjadi lebih baik bukan hanya sekedar wacana. Tujuan itu akan tercapai bila dari setiap tingkat satuan pendidikan melaksanakan pembelajaran dengan bertanggung jawab.
Keberhasilan ini tidak akan tercapai bila tidak ada kerja sama dengan pihak lain dalam hal ini pemerintah, masarakat, guru, peserta didik, dan pendukung yang lain. Media adalah salah satu yang bisa dijadikan fasilitas dan sarana untuk meraih tujuan tersebut. (Foto: Majalah Fahma)
[…] Baca Juga: Tantangan Pendidikan Di Era Digital […]
[…] Baca Juga: Tantangan Pendidikan Di Era Digital […]
[…] Baca Juga: Tantangan Pendidikan Di Era Digital […]
[…] Baca Juga: Tantangan Pendidikan Di Era Digital […]
[…] Baca Juga: Tantangan Pendidikan Di Era Digital […]