Depoedu.com – “Pendidikan merupakan masalah terbesar sekarang. Jika kita tidak mengubah jalan atau sistem mengajar maka dalam 30 tahun nanti jadi masalah. Kita tidak dapat mengajar anak kita untuk bersaing dengan mesin karena mereka (mesin) lebih pintar,” demikian kata Jack Ma, Miliarder asal Tiongkok dalam sebuah pertemuan yang membahas tentang pendidikan masa depan.
Sebuah ungkapan yang sangat realistis mengingat begitu cepatnya perkembangan teknologi dan informasi yang merambah dunia. Artificial Intelligent (kecerdasan buatan) semakin menguasai dunia kita saat ini. Noah Harari seorang sejarawan yang menulis tentang perkembangan peradaban manusia dalam buku yang sangat terkenal tahun belakangan ini, “Homo Sapien” dan “Homo Deus” mengungkapkan bahwa perkembangan budaya dan peradaban manusia sangat ditentukan berbagai macam algoritma dalam susunan pemikiran manusia. Manusia menjadi mahluk yang paling unggul dibanding mahluk hidup yang lain, manusia menjadi penguasa tunggal dunia.
Karena seolah tidak memiliki lawan, maka manusia kemudian menjadi saling bersaing antar sesamanya. Berlomba menjadi yang terkuat, tercepat, terpandai dan paling hebat. Demikianlah yang terjadi dalam dunia pendidikan, siapa yang paling dianggap pandai, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, akan menjadi penguasa dunia. Ukuran kepandaian manusia di dunia pendidikan (sekolah) mulai disusun, diangka-kan dan dibakukan. Semua berlomba dan bersaing menjadi pemilik nilai (akademik) yang paling tinggi dan paling sempurna.
Sekolah di Indonesia
Dunia pendidikan khususnya sekolah di Indonesia tidak lepas dari paradigma ini. Nilai akademik siswa selama puluhan tahun menjadi cara mengukur kepandaian yang mewakili kemampuan manusia. Penerimaan siswa di sekolah-sekolah dan bahkan perguruan tinggi, dilakukan dengan cara seleksi berdasar kemampuan akademik. Yang nilainya tinggi akan diterima di sekolah yang bagus, yang kurang pandai atau nilai akademiknya tidak tinggi harus menerima masuk sekolah yang kalah dalam hal kualitas.
Padahal, seperti kata Jack Ma, pemikiran dan intelektualitas manusia makin tidak ada apa-apanya dibanding mesin (computer) yang paling sederhana sekalipun. Contoh paling nyata adalah kalkulator. Secepat dan sepandai apapun manusia melakukan kalkulasi, kalkulator akan dapat melakukannya dengan lebih cepat dan akurat. Jika sekarang saja sudah tertinggal, bagaimana nanti anak-anak kita yang akan menjadi penguasa dunia 20 atau 30 tahun mendatang?
Kualitas sebuah sekolah ini pun ditentukan dengan deretan pencapaian nilai-nilai akademik. Sekolah dianggap bagus karena menghasilkan siswa-siswa yang pandai dengan nilai akademik tinggi, dan akan diterima di tingkat pendidikan tinggi yang memiliki reputasi yang tinggi pula. Celakanya dunia pekerjaan juga mencari para lulusan pendidikan yang memiliki nilai akademik tinggi. Sistem Zonasi yang mencoba meretas tersegmentasinya dunia pendidikan di Indonesia ini menjadi sentakan yang mengagetkan dunia pendidikan Indonesia.
Diawal abad 21 ini, Indonesia mulai merubah paradigma pendidikan ini. Sistem zonasi, yang mencoba membuka ruang dan kesempatan bagi semua anak untuk mendapat pendidikan yang baik, banyak mendatangkan kekhawatiran justru akan memeratakan ketiadakpandaian, alih-alih memeratakan kepandaian. Kualitas pendidikan yang sudah mampu mencapai tingkat yang lebih baik, dikhawatirkan justru akan terseret turun kembali.
Sebelumnya pemerintah lewat pengembangan kurikulum, telah membuat terobosan yang sangat bagus dengan implementasi Kurikulum 2013. Kurikulum ini pada prinsipnya adalah respon terhadap kekhawatiran orang seperti Jack Ma. Kurikulum yang lebih menekankan pada pengembangan karakter yang didunia dikenal dengan 4C; Curiosity (rasa ingin tahu), Critical Thinking (berpikir kritis) , Communication (komunikasi) dan Colaboration (kerjasama ).
Respon Orang Tua
Ke 4 karakter diatas adalah hal yang harusnya menjadi kunci jawaban, bahwa manusia tidak akan bisa dikalahkan oleh mesin atau artificial intelligent. Karena sepandai pandainya computer, dia tidak akan memiliki rasa ingin tahu, tidak bisa berpikir kritis, berkomunikasi satu sama lain secara mandiri, apalagi bekerjasama. Dengan begitu, sistem pendidikan yang mengedepankan persaingan akademik untuk menjadi yang terbaik, yang paling pandai, berubah menjadi sebuah pendidikan yang mengedepankan kerjasama antar siswa untuk bersama meraih hasil terbaik secara bersama-sama. Lihatlah contoh transportasi daring (online) yang sedang hebat saat ini, Gojek maupun Grab.Mereka yang menghasilan omset diatas 40 trilyun rupiah adalah hasil pemikiran kritis atas masalah transportasi dan hasil kerjasama antara pemilik startup yang telah menjadi unicorn dengan jutaan mitra.
Akan tetapi orangtua siswa yang telah dibesarkan di dunia pendidikan yang mereka alami dalam dunia persaingan yang keras secara akademik, tentu tidak mudah menerima kondisi dan perubahan ini. Para orangtua ini tetap ingin anaknya menjadi anak yang unggul secara akademik, menjadi juara. Respon banyak orangtua yang tetap mati-matian menginginkan anaknya sekolah di sekolah favorit secara akademik adalah bukti, bahwa paradigma tersebut masih tertanam kuat.
Sebagian besar orangtua masih lebih mementingkan prestasi akademik dan nilai-nilai raport. Alasannya sederhana, karena untuk bisa melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, dasar penerimaannya tetap nilai akademik. Bahkan untuk mencari pekerjaan, nilai akademik masih sangatlah penting. Lihat saja iklan-iklan lowongan pekerjaan sampai dengan hari ini yang masih mencantumkan IPK (Indeks Prestasi Komulatif) minimal di angka tertentu untuk para calon pelamarnya, biasanya minimal 3,0 untuk para Sarjana. Para Sarjana yang mampu berpikir kritis, mengkomunkasikan ide dan gagasan dengan baik,serta mampu bekerja sama, kemungkinan besar sudah kehilangan kesempatan di penyaringan pertama karena tidak memiliki IPK sebesar yang disyaratkan.
Memang dikelas masyarakat perkotaan dan yang berpikir maju, sudah banyak orang tua yang menyadari tuntutan untuk mempersiapkan putra-putrinya menghadapi dunia kedepan. Persaingan yang keras mestinya justru berubah menjadi kerjasama. Orang tua yang selama ini mengidamkan anaknya mendapat nilai 100 dipelajaran Matematika, sudah lebih senang jika anaknya lebih bisa mengkomunikasikan ide dan gagasan mereka melalui presentasi-presentasi atau public speaking. Anak yang belajar dengan banyak rasa ingin tahu dan bertanya juga lebih disenangi oleh orang tua. Tetapi jumlah ini masih sangat sedikit.
Orangtua menyekolahkan anaknya di sekolah selama hampir 20 tahun, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi tentu bukan dengan tujuan untuk tidak mendapat pekerjaan. Jadi orangtua yang masih tidak rela anaknya yang pandai tidak diterima disekolah favorit karena sistem zonasi, bisa jadi ini salah satu alasannya. Para orangtua ini tidak ingin usaha menyekolahkan anaknya menjadi sia-sia.
Padahal dunia super modern di era industri 4.0 sekarang ini, sudah banyak juga perusahaan dan industri yang merubah metode dan cara mencari talent atau calon karyawan dengan cara yang lebih kreatif dan lebih mementingkan karakter kerja. Akan tetapi apakah sudah banyak saat ini orangtua yang lebih senang mendapat pujian anaknya lebih pandai melakukan presentasi dibandingkan pujian anaknya jago Matematika? Sampai kapan pandangan orangtua akan berubah menghadapi tatangan pendidikan ini? Dan bagaimana respon sekolah mensikapi perubahan paradigm ini? Ikuti tulisan saya selanjutnya. (Foto: maxmanroe.com)
[…] Baca Juga: Tantangan Pendidikan Abad 21 di Indonesia dan Respon Orangtua Siswa […]