Depoedu.com – Akhir-akhir ini kita mendengar satu kata baru dalam dunia perbisnisan dan perekonomian, juga pendidikan. Kata tersebut adalah disrupsion. New Oxford Dictionary mengartikan disruption sebagai “…. or problems that interrupt an event“. Kamus Inggris Indonesia mengartikan sebagai gangguan. Sementara di Kamus Bahasa Indonesia, diartikan sebagai tercerabut dari akarnya. Arti lainnya, misalnya, yang tercantum pada buku Disruption tulisan Rhenald Kasali (2017), disruption diartikan sebagai inovasi (hal. 34), yang menggantikan sistem lama dengan cara baru.
Sehingga kita boleh menggabungkan beberapa makna tersebut menjadi arti disrupsion dengan gabungan makna : “gangguan pada sebuah keadaan, dalam bentuk inovasi, yang menjadikan pemain lama terancam atau bahkan tercerabut dari kemapanannya”.
Disruption, sebagai sebuah inovasi terkadang dianggap sebagai ancaman bagi pemain lama. Ojek dan taksi online, misalnya, yang mengganggu keberadaan taksi dan ojek konvensional. Keduanya mampu menghadirkan layanan yang mudah, murah dan praktis, serta harga yang dapat dilihat di muka. Atau platform toko onlineyang menjamur, serta pengaruhnya pada toko atau swalayan besar yang sudah ada sehingga banyak took yang gulung tikar.
Ancaman ini, menurut Rhenald Khasali, pada bukunya yang berjudul Disruption, ada pengecualian. Kunci pengecualian itu ada pada inovasi, membentuk ulang , re-shape (mencari bentuk lain) model bisnis dengan cara baru. Fenomena ‘Disruption’ dalam hal ini sebagai upaya mendefinisikan perubahan. Ia menyebutnya revolusi yang saat ini tengah terjadi ada dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Perubahan itu, menurut Rhenald, dimotori oleh perkembangan teknologi informasi. Ia menyebutkan bahwa kini masyarakat berada dalam gelombang ketiga perubahan yang dipengaruhi terutama oleh teknologi informasi.
Mengutip Alvin Toffler dalam buku The Third Wave, Rhenald menyebutkan, gelombang pertama revolusi tersebut terjadi sekitar tahun 1990-an. Gelombang tersebut dikenal dengan istilah connectivity, dalam periode ini internet baru saja lahir. Kemudian pada awal abad 21, masyarakat memasuki gelombang selanjutnya, yakni ketika masyarakat mulai berpikir untuk mengisi keterhubungan tersebut. Ditandai dengan munculnya berbagai media sosial. Akhirnya, gelombang ketiga yang sedang terjadi saat ini: disruption. Sekarang kita masuk gelombang ketiga. Itu memindahkan dunia yang sebenarnya ke dalam dunia yang tidak kelihatan atau maya.
Dalam gelombang disruption ini, masyarakat tengah menutup sebuah zaman. Bukan akhir zaman sebagaimana diramalkan oleh banyak orang, melainkan hanya mengakhiri sebuah zaman dan memulai zaman yang baru. Sebuah zaman yang menjadi tantangan besar bagi para perusahaan incumbent besar bereputasi yang selama ini berdiri kokoh. Kompetitor yang ada saat ini adalah kompetitor yang tak kelihatan. Misalnya perusahaan-perusahaan taksi yang memiliki kompetitor taksi online yang tak memiliki gambaran fisik taksi sebagaimana lazimnya. Begitu juga dengan aplikasi online ojek yang mendistrupsi ojek konvensional.
Dalam gelombang disrupsi ini, orang-orang yang terperangkap dalam tradisi akan merasa cemas dan gugup dalam menghadapi perkembangan dunia. Tradisi memang baik, tetapi tradisi juga perlu diperbaharui dan disesuaikan dengan tuntutan zaman. Keadaan ini menyuguhkan sebuah cara pandang kepada semua orang, tak terkecuali pemegang keputusan kebijakan, dunia pendidikan, perbisnisan, dan yang lain untuk memahami perubahan yang tengah terjadi. Sehingga dapat mengambil sikap yang relevan untuk menghadapi perubahan tersebut.
Ekonomi berbagi
Taksi online dan toko online, sesungguhnya tidak selalu memiliki apa yang mereka jual. Barang ada di berbagai tempat, moda transportasi yang ditawarkan ada di berbagai garasi pemilik motor/mobil. Biaya produksi ditanggung oleh banyak orang, demikian pula biaya perawatan kendaraannya. Hal ini menyebabkan biaya yang biasanya ditanggung oleh perusahaan taksi atau mall, bisa ditekan. Akibatnya biaya yang harus dibayarkan konsumen menjadi murah.
Ojek dan taksi online, dapat merebut pasar atau mencipta pasar baru karena dirasa lebih murah dan mudah, serta real time dalam hal biayanya. Toko online, kurang lebih sama. Mudah, tidak perlu mobilitas, sehingga jika ada selisih harga menjadi agak ebih mahal, tidak begitu dipermasalahkan. Adanya informasi harga di awal, dan jelas, menjadikan konsumen percaya. Kalau cocok, pelayanan bagus, atau barang bagus lanjutkan. Jika dirasa mahal, dibatalkan. Sungguh membuat konsumen menjadi raja.
Re-shape layanan dari incumbent (pemain lama) sebagai bentuk respon pada disruption dapat kita lihat dari usaha mereka melakukan duplikasi model. Misalnya taksi konvensional membuat apps, dengan iming-iming harga yang lebih murah. Mall konvensional menyediakan apps dan juga layanan antar pada konsumen. Mereka ingin menawarkan mudah dan murah pada konsumen. Dua layanan tersebut sebelumnya telah ada di toko online. Kita bisa melihat adanya perusahaan taxi yang juga dipermodern, atau sistem sebuah mall yang menawarkan layanan antar barang. Berhasilkah? Tergantung rejeki begitu mungkin bahasa diplomasinya.
Pemain konvensional (toko dan taksi konvensional), agaknya lupa, bahwa taksi dan toko online memainkan peran berbagi modal. Rhenald Khasali menyebutnya sebagai economic sharing. Berbagi modal ini, menjadikan harga taksi online menjadi lebih murah. Berbagi modal tersebut tidak dilakukan oleh yang konvensional. Inilah yang disebut ekonomi berbagi. Sistem ini menguntungkan tidak hanya pemilik modal, tetapi juga masyarakat luas.
Bagaimana sikap Kita?
Terkait kepustakaan apakah disruption juga berpengaruh? Ketika dahulu perpustakaan menyediakan buku fisik, maka kemunculan komputer untuk mencatat koleksi agar pencariannya mudah, menjadi gangguan pertama bagi para pustakawan incumbent. Kemudian, ketika muncul katalog terpasang, dan pencatatan sirkulasi secara elektronik, menjadikan gangguan bagi pustakawan yang kurang bisa menggunakan komputer.
Lowongan pustakawan tapi syaratnya bukan sarjana perpustakaan juga bentuk gangguan bagi para incumbent. Padahal (bisa jadi) institusi tersebut memang memerlukan pustakawan yang paham ilmu lain (misalnya komputer) untuk mengoptimalkan peran perpustakaannya. Pustakawan merasa terganggu (terdisrupsi).
Selain itu dalam dunia pendidikan pun menjadi bagian yang digegerkan dengan berbagai perangkat pendidikan yang mulai menggunakan komputer yang terhubung melalui jaringan internet. Beberapa guru yang masih ‘katro’ dan bermain dalam dunia lama (incumbent) mulai resah. Beberapa berkas yang diperlukan untuk pengajuan sertifikasi dan berbagai administrasi keguruan yang diminta oleh lembaga terkait mulai menggunakan jaringan online.
Demikian pula metodologi pengajaran di kelas. Bila seorang pendfidik masih bermain dengan cara lama dan media yang jadul, dianggap guru yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman.
Respon itu, sama dengan respon taksi konvensional, yang menggunakan senjata regulasi dan meminta bemper pemerintah untuk membela mereka.
Ketika Google begitu gagah dan saktinya memberikan jawaban atas pencarian yang dilakukan manusia, lalu bagaimana posisi katalog perpustakaan? Ketika e-book dan e-jurnal akses terbuka begitu mudah diakses dari internet, lalu apa peran pustakawan? Ketika Mbah Google sangat mudah dicari untuk penjelasan keilmuan yang dibutuhkan seorang murid, lantas apa gunanya guru?
Tak ada satu pun bidang kehidupan yang tak terdisrpusi. Bahkan orang akan mencari firman Tuhan dan kebijaksanaan bukan lagi dari gulungan kitab atau lembaran-lembaran perkamen lagi, tetapi dari gawai yang dengan mudahnya dapat memberikan apa yang dicari.
Ketika perubahan ini terus berjalan tanpa terbendung, semua orang terkena dampaknya. Rugi bila kita masih berkecamuk dengan mempertanyakan dan memprotes dengan penuh melo seputar perubahan ini. Kini saatnya bukan untuk bertanya, melainkan untuk mengambil peran yang tepat dalam perubahan ini. Semua bidang akan terdisrupsi. Namun, yang jelas kehidupan akan tetap berlangsung. Makan, minum, berkesenian, belajar, bekerja, beragama, bercinta, bersosialisasi, dan apa pun kegiatan yang selama ini manusia lakukan akan tetap berjalan seperti biasanya. Hanya perubahan ada pada cara dan medianya.(Ch. Enung Martina)
[…] Baca Juga : Perubahan Penghidupan Di Era Digital […]
[…] Baca Juga : Perubahan Penghidupan Di Era Digital […]