“Ayah, Ibu, Kami Ingin Bicara”

Family Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Halaman sekolah mulai sepi. Satu persatu siswa dijemput lalu pulang bersama orang tua mereka. Mereka baru saja tiba dari Sindanglaya, mengikuti retret yang sekolah jadwalkan menjelang akhir masa belajar mereka di SMP. Selama tiga hari dua malam para remaja muda ini diajak untuk lebih dalam mengenal diri mereka masing-masing, menyadari keragaman dan keberhargaan setiap pribadi. Lebih dari itu, para peserta pun diajak mengisi kesempatan ini untuk melihat kembali relasi mereka dengan orang tua masing-masing.

Masa remaja awal yang ditandai dengan berbagai gejolak emosional kerapkali menjadi salah satu pemicu merenggangnya komunikasi orang tua – anak. Pengenalan akan kecenderungan inilah kiranya yang kemudian mendorong Romo Pembimbing mengagendakan topik ini dalam kegiatan Retret untuk siswa SMP. Pendampingan meliputi penyadaran akan peran orang tua dalam hidup mereka, cara mereka menanggapi kasih orang tua, tuntunan untuk menemukan hal yang salah, membangun sikap tobat dalam ibadat tobat bersama serta memuncak pada penerimaan sakramen rekonsiliasi.

Berada bersama mereka sepanjang proses ini sungguh menjadi pengalaman berharga bagiku. Para siswa yang kukenali sehari-hari dengan segala keceriaan muda mereka ternyata punya banyak cerita tak terduga tentang relasi mereka dengan orang tua mereka masing-masing. Malam terakhir, usai penerimaan sakramen rekonsiliasi mereka tampak sungguh dibebaskan. Tak seorangpun beranjak dari kapel yang hening temaram, mereka mengisi saat bersama ini dengan berbagi pengalaman hidup sebagai anak. Isak tangis terdengar di sana sini, di sela cerita yang diungkap terbata-bata. Kisah satu disusul kisah lain, kadang diseling tanggapan tulus dari teman yang berempati. Keharuan menyelimuti kapel hingga larut. Malam damai untuk mereka.

Dengan membawa pengalaman itulah hari ini mereka pulang. Senja cerah ini menjadi saksi pertemuan kembali para siswa dengan orang tua masing-masing, dalam suasana yang baru. Dalam hati aku bertanya, bagaimana kiranya pertemuan-pertemuan ini berlangsung ? Segera aku teringat percakapan beberapa siswa dalam perjalanan di bis tadi. Bermula dari Fella yang menanyakan kapan surat mereka tiba (pagi tadi setiap siswa menulis surat untuk orang tua masing-masing. Semua amplop surat beralamat rumah ini kemudian diberkati dalam Perayaan Ekaristi penutup dan selanjutnya akan dikirimkan ke alamat masing-masing). Tampaknya mereka mengandalkan surat itu untuk “bicara” pada orang tua mereka.

“Aduh kebayang kalau harus ngomong langsung, gimana mulainya?”, Tasia menimpali.

“Kemaren waktu abis kegiatan pengenalan seksualitas itu, kamu udah peluk Mama dan bilang terima kasih, belom?” Fella tidak menghiraukan pertanyaan Tasia.

Yang Fella maksudkan adalah kegiatan yang diprogramkan sekolah untuk membantu siswa memahami seksualitas manusia secara benar. Dalam salah satu sessinya, kepada siswa diperlihatkan tayangan tentang proses kelahiran yang memperlihatkan perjuangan hidup mati seorang ibu untuk anak yang dilahirkannya. Usai menyaksikan tayangan ini, siswa didorong untuk menemui dan memeluk Ibu mereka sebagai ungkapan terimakasih.

“Iya, ya. . . . aku malah belum lakukan sama sekali, lho,” kali ini suara Dio. “Memangnya kamu udah, Jos?” Dio tampak mencari teman. Joshua yang ditanya hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Yang bener…., trus Mama kamu gimana?” Dio penasaran.

“Awalnya Mama keliatan kaget dan canggung sih,….. aku sendiri juga gitu rasanya. Tapi lalu Mama balas peluk, aku rasa Mamaku seneng” jawaban Joshua tampak membuat iri teman-temannya.

“ Kalau aku, pas aku peluk, mama malahan bilang ‘Kamu kenapa sih Fel?’. Udah deh, aku nggak tau nerusinnya gimana, lagian mama juga terus pergi, ngangkat telepon, abis nelpon lupa deh” Fella setengah bersungut-sungut.

“Mamaku malah bilang pasti aku ada maunya peluk-peluk begitu, dikiranya aku mau laporin nilai ulangan yang jelek ……. Inget lagi jadi kesel deh” gerutu Tasia.
Aku tertegun, tidak mudah bagi mereka memulai kedekatan dengan Ayah dan Ibu, betapapun mereka menginginkannya. Seketika aku memohon agar Tuhan membantu mereka untuk kali ini. Aku tak tahu bagaimana mengatakannya tetapi aku yakin Tuhan tahu bahwa aku sungguh memintanya.

Kukemasi bawaanku sendiri, bermaksud mendekati kelompok kecil siswa yang masih belum dijemput, saat kudengar suara langkah berlari di belakangku. Lisa memanggilku, ia sedang menuju ke arahku. Terakhir kulihat ia bersama Hanna, Jesy dan Mia, mungkin teman-temannya sudah dijemput. Sepintas tampak matanya berkaca-kaca, maka kuputuskan untuk diam mendengarkannya, sebelum sempat pertanyaan apapun kuajukan padanya.

“Ibu, …… masak aku minta dijemput, Papa malahan marah. Papa bilang kenapa tadi aku nggak ikut teman aja. Sekarang Papa lagi kena macet. Katanya kalau aku mau pulang sama Papa ya harus nunggu, nggak tau sampai jam berapa ……”

Aku menangkap kesedihan yang mendalam, sangat bisa kurasakan kekecewaannya. Aku meraihnya, kubiarkan ia tersedu untuk beberapa waktu. Perlahan kutepuk lembut pundaknya, saat tangisnya mulai mereda.

“Sedih ya Lis,…. Ibu bayangkan Lisa memang tidak ikut dengan teman -teman karena Lisa ingin segera bertemu Papa….”
Kurasakan anggukkan kepalanya di pelukanku, lalu isak tangis terdengar lagi, tertahan.
“Pasti kecewa rasanya, ……… sementara Lisa sudah bayangkan sebuah perjumpaan yang membahagiakan dengan Papa……..”
Aku sungguh terharu, kucoba meredakan galau di hatiku sendiri sebelum bisa melanjutkan.

“Kita tak sungguh tahu apa yang terjadi pada Papa hari ini, Lis.. Kadang-kadang dunia kerja orang dewasa memang bukan dunia yang ramah, penuh tuntutan dan tekanan. Barangkali Papa memang sedang alami sesuatu yang berat sekarang, maka situasi Papa yang berbebanlah yang kamu dengar di handphonemu tadi”.

Sambil tetap merangkulnya aku menawarkan kemungkinan mengikuti rencana sang Ayah : ikut mobil teman, karena kulihat Pius masih belum dijemput. Setahuku, perjalanan pulang Pius pasti akan melewati kompleks tempat tinggal Lisa. Tetapi aku memastikan pada Lisa bahwa andaipun ia memilih untuk tetap menunggu ayahnya, aku akan menemaninya. Sementara aku berbincang dengan Pius, kulihat Lisa menjawab panggilan yang ia terima di handphonenya.

“Aku anter aja Lis, kamu di blok mana ?” Pius menghampiri Lisa sambil menawarkan bantuan, mobil Ayah Pius tampak memasuki gerbang sekolah. Lisa menggeleng perlahan. “Makasih, ya….. Papaku barusan bilang, aku nunggu aja”

Tinggal aku dan Lisa. Kami duduk di bangku kayu di balik gerbang sekolah. Dari posisi ini, kami akan dengan jelas melihat semua mobil yang melintas di depan sekolah. Kami mau memastikan bahwa Lisa akan siap saat Ayahnya datang. Ayahnya bahkan tak perlu masuk ke gerbang sekolah. Sementara menunggu, cerita Lisa berlanjut. Kali ini tentang Ibunya.
“Kadang-kadang rasanya aku cuma jadi beban buat orang tua, bu. Setiap hari memang Mama jemput aku pulang sekolah, tapi Mama selalu minta aku cepat-cepat. Jangan sampai murid-murid Mama menunggu lama. Mama kan ngajar piano, Bu, Sepertinya Mama lebih menganggap penting murid-muridnya daripada anaknya sendiri …..”

Keluhan Lisa terdengar lirih, tapi kali ini tidak lagi dengan tangis. Aku merangkul pundaknya lagi sambil mencoba menemukan cara terbaik untuk bicara padanya.
“Rasanya Ibu juga alami hal seperti Mama …….. dan ibu pikir, banyak mama lainpun begitu …. “

Aku tidak sungguh yakin ini kalimat pembuka yang tepat, tetapi kalimat inilah yang akhirnya meluncur dari mulutku setelah cukup lama aku diam. Lisa tampak sedikit terkejut, atau heran. Ia memandangku meminta penjelasan.

“Buat Ibu, keluarga ibu adalah tempat yang paling nyaman, di mana ibu bisa merasa aman untuk bersikap apa adanya. Di hadapan suami dan anak-anak, ibu merasa bebas untuk bilang apapun yang ibu perlu bilang, karena ibu yakin mereka menyayangi ibu. Kadang ada tangisan sedih, lelucon konyol, …… Pada saat ibu sedang penat oleh tuntutan pekerjaan, menjadi tegang dan emosional, di hadapan orang lain, ibu tetap perlu menahan diri dan seperti mengingkari perasaaan ibu, lalu rumahlah yang menjadi tempat ibu menumpahkan semua. Sama sekali tak pernah ada maksud ibu menyakiti mereka. Ibu sangat menyayangi mereka”.

Aku berhenti sejenak sebelum melanjutkan.
“Lisa paham apa yang hendak ibu katakan?”
Lisa tampak mengangguk perlahan.

“Di hadapan murid-muridnya, Mama harus bertindak sebaik mungkin, tetapi di hadapanmu Mama merasa aman untuk menjadi apa adanya, Mama tidak merisaukan apapun penilaianmu tentangnya. Maka, bukankah kamu justru lebih penting bagi Mama dibandingkan murid-murid Mama? Mama sangat menyayangimu, Lis, percayalah pada ibu. Tinggal kamu cari saat yang tepat untuk ungkap perasaanmu pada Mama. Katakan apa yang kamu harapkan darinya. Saat itu kamu tidak sedang menuntut untuk dianggap lebih penting daripada murid-muridnya, kamu sedang menunjukkan pada Mama betapa pentingnya Mama bagimu. Ini pasti akan membahagiakan Mama. Lisa mengangguk lagi. Kali ini aku melihat senyum kecilnya.

Senja cerah berangsur gelap. Sebuah mobil tampak berhenti di depan gerbang sekolah. Lisa beranjak, sedikit tergesa ia pamit padaku,
“Saya pulang, Bu …. terimakasih ya Bu ….” Ia berlari cepat menghampiri mobil yang kemudian melesat membelah malam.
“Ya, Lis, … ibu mendoakanmu”.

Lisa tidak sempat lagi mendengarkan ini, tetapi bukan ini yang penting. Ia tengah berada bersama Ayahnya sekarang. Segera aku meminta lagi, “Temani Lisa, Tuhan .. ia hendak bicara …. “

Foto : yogimahardika.wordpress.com

0 0 votes
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
oldest
newest most voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Baca Juga : “Ayah, Ibu, Kami Ingin Bicara” […]