Depoedu.com – Berapa kali Anda menemukan diri berpapasan dengan kejatuhan? Apa yang Anda lakoni manakala kejatuhan itu menjerat Anda? Apakah Anda lantas merelakan diri untuk menetap dalam kejatuhan itu, atau justru malah enggan menjadi mempelainya?
Tunggu! Barangkali tak semua kita sanggup menegasikan dilema yang acapkali meletup-letup di kepala dan dada kita, yang akhirnya membuat kita gagal menentukan pilihan yang selaras dengan kemantapan hati kita.
Beberapa kejatuhan mengalamatkan keluruhan, menjadikan siapa saja yang pernah bertautan dengannya kehilangan seluruh dirinya.
Beberapa lain justru menjelma titik balik yang siap menghardik segenap sesal untuk tak melulu menjalari diri. Sebab di puncak nanti, ada kemenangan yang juga bersedia menampakkan diri bagi mereka yang dengan berani menolak untuk tinggal dalam kejatuhan.
Baca Juga : Seni Mencintai Diri di Tengah Pandemi Covid-19
Kita memang tak bisa menafikan diri terhadap setiap kejatuhan yang menandangi kita. Tetapi satu hal yang semestinya selalu kita lekatkan dalam diri kita ialah bahwa kita selalu punya kesempatan untuk bangkit dan menanggalkan jubah kejatuhan yang saban hari menyerahkan diri kepada kita, atau bisa jadi sebaliknya, kitalah yang menyodorkan diri kepadanya.
Sayang, kerap kali kita masih gugur untuk mengenali tiap-tiap wajah kesempatan yang hadir dalam rupa-rupa peristiwa. Pada titik ini, saya terngiang akan sebuah ungkapan dahsyat yang sudah tersohor dimana-mana.
Begini bunyinya, “Tidak semua badai hadir untuk memghancurkanmu, beberapa di antaranya justru datang untuk membersihkan jalanmu”. Ungkapan tersebut tentu saja tidak salah, tergantung bagaimana kita memotret badai itu dengan kamera yang tepat.
Kendati identik dengan segala kebinasaan, nyatanya tak semua jatuh bermuara pada rasa sakit. Jatuh cinta misalnya. Eitsss, tunggu dulu! Anda mungkin tak akan serta merta menyepakati kalimat ini.
Dalam bingkai pandangan banyak orang, jatuh cinta tak ayal segaris nasib dengan kejatuhan lainnya. Toh, seberapa banyak asumsi keterlenaan rasa yang membuat kita tampak seperti manusia-manusia sakau, tak akan mampu membunuh evidensi bahwa sosok bernama luka itu tetap muncul.
Sensasi jatuh cinta memang beraneka rupa, bahkan penampakannya mampu mengubah segala sesuatu dalam sekejap mata, bak pekerjaan mantra.
Jika mencintai adalah meleburkan diri dengan yang dicintai, maka sejatinya mencintai tidak menciptakan jarak yang kadang malah kadung menyiksa diri.
Lalu bagaimana dengan cinta yang tercurah pada hidup dan kehidupan itu sendiri? Konon katanya, semua cinta yang mengalir deras di atas muka bumi ini berpusat pada diri kita sendiri.
Bagaimana mungkin kita dapat membagikan cinta jika tidak memiliki cinta itu, bukan? Kira-kira demikian, menjatuhkan cinta pada kehidupan juga berarti siap menerima segala luka yang menyapa. Dan cinta itu hadir sebagai yang tak bersyarat. Mencintai tanpa karena, tanpa tapi, dan tanpa meski.
Baca Juga: Bertumbuh Menjadi Dewasa Adalah Pilihan
Mencintai kehidupan termasuk juga mencintai impian, sebab tanpa membaurkan diri dengan impian, tak ada apapun yang dapat kita wariskan selain nama, yang mungkin kelak akan hilang dan terdepak dari kronik peradaban.
Setiap impian selalu menempati ruang khusus dalam sanubari kita. Ada yang dengan lantang menyuarakan impiannya. Ada yang diam-diam membiarkan impiannya sekadar tumbuh dalam ladang hatinya.
Membincangkan impian tentu tak akan pernah ada batasnya. Bahkan batas sebuah impian seolah tak bisa terdefinisikan secara gamblang. Acapkali ketakutan dan keterbatasan menjadi sekat yang menceraikan maksud kemesraan kita dengan impian itu.
Kendala yang kita temui sepanjang jalan menuju puncak impian bertajuk perwujudan tak jarang pula membuyarkan kebulatan tekad kita. Padahal, jarak sesungguhnya antara sebuah impian dan perwujudannya, hanyalah satu kepalan bernama tekad.
Kita pasti tidak asing lagi bagaimana banyak orang santer mengelu-elukan di sana-sini kekuatan sebuah cinta. Adakah gerangan kekuatan lain yang melampaui kekuatan cinta?
Bahkan katanya, cinta mampu menyingkirkan segala macam ketakutan yang sering menjadi penghambat buat siapa saja yang hendak mendaki gunung perjuangan sebelum akhirnya menancapkan bendera kemenangan pada puncak keberhasilan.
Cinta itu pula yang sebenarnya menjadi alasan paling mumpuni di balik setiap kelana yang mengawinkan impian dan tekad untuk melahirkan perwujudan.
Naas, tak semua yang berani bermimpi, benar-benar berani mengikatkan dan mengaitkan diri kepada impiannya secara lahiriah dan batiniah. Ketakutan akan bayangan kegagalan, stigma sosial, penilaian orang, kecupan penghinaan dan beraneka rupa ketakutan lainnya kadangkala menggugurkan segenap niat.
Cinta kepada impian pada masanya terkalahkan oleh ketakutan. Lalu diam-diam dengan segala upaya, kita membunuh impian itu dan menguburkannya dalam-dalam jauh di lubuk hati kita yang bahkan tak lagi kita kenali sebagai bagian dari diri kita.
Kita lupa bahwa tak ada kematian yang kekal. Kebangkitan dan kehidupan pada dimensi dunia lain adalah sebuah keniscayaan sebagai seorang beriman, demikian pun impian yang kita musnahkan secara keji. Barangkali kita berpikir bahwa impian itu sudah tak lagi punya nyawa untuk menampakkan diri.
Tapi akan datang suatu kala di mana impian itu akan kembali menemukan diri kita, entah saat kita sudah cukup memiliki nyali untuk memperjuangkannya atas nama cinta, atau justru sebagai seorang pecundang yang memilih untuk mundur jauh hari sebelum bendera perang dikibarkan.
Baca Juga: 7 Cara Membuat Diri Lebih Bermotivasi Positif Setiap Hari
Apa artinya memiliki sebuah impian tanpa perjuangan? Melawat impian tanpa merawatnya adalah sebuah kesia-siaan.
Apalagi jika sampai harus menanggalkan segala keberanian cuma gegara merinding sekejap membayangkan akan seperti apa nanti perjalanan yang harus kita lewati, tentang berapa banyak gunung yang mesti didaki, berapa banyak lembah yang kudu dilalui, dan berapa banyak badai yang perlu dijalani.
Cinta dan impian adalah dua hal yang sejurus sejalan. Tanpa cinta, hidup kita hanya akan merasakan kehambaran.
Dan tanpa impian, hidup seolah semata menjadi lorong waktu tak bernyawa, yang sekadar menganga bagai lubang hitam yang sewaktu-waktu menerkam dan menelan siapa saja, bahkan pun diri kita sendiri. Kehilangan sebuah impian adalah bencana mahadasyat.
Sungguh, tiada segara yang sanggup melepaskan segala dahaga kita akan makna sebuah kehidupan bilamana yang kita miliki hanya kehampaan.
Tidak ada yang sia-sia ketika kita menjadi percaya. Tak ada yang mustahil ketika kita menanamkan harapan dalam diri kita. Tak ada yang tak mungkin ketika kita menyuburkan tekad untuk meraih kemerdekaan atas segala ketakutan dalam diri kita.
Menolak menjadi kuat untuk meladeni segenap impian kita sekali lagi hanya gara-gara kita terlampau takut, dan tidak mengandalkan kekuatan cinta seutuhnya dalam diri kita, menjadikan kita seorang pecundang besar yang dibodohi dunia.
Perkenankalah saya untuk menghela nafas sejenak, membiarkan sekujur tubuh saya dipeluk hangat oleh cinta yang erat dari diri saya sendiri untuk diri saya sendiri.
Cinta yang sebegitu akbarnya itu memampukan saya untuk tetap berdiri di atas kaki sendiri dan menggandeng impian-impian saya. Sebab saya percaya, impian adalah lentera yang tak akan pernah memadamkan arunanya bagi siapa saja yang percaya kepadanya.
Dan saya juga percaya, tak ada yang sia-sia ketika kita menjadi percaya. (Foto: tribunnews.com)
Tulisannya menarik.
Ruh dalam setiap salam kalimatnya terasa
[…] Baca Juga : Jatuh Cinta Pada Impian Kita […]