Depoedu.com-Berbagai keluhan para orang tua menghadapi pembelajaran daring putra-putri mereka bukan hanya satu atau dua kali diangkat melalui media cetak maupun online. Hal ini bahkan sudah menjadi pembahasan umum yang bisa ditemukan dalam perbincangan gerobak sayur hingga ke diskusi tingkat nasional.
Lalu, apa kabar para orang tua dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)? Sebagai salah satu orang tua siswa ABK, saya ingin sedikit berbagi kekuatiran.
Untuk itu, mari berkenalan dengan putra sulung saya, Althaaf. Di usianya yang ke tujuh, Althaaf masih harus duduk di bangku Taman Kanak-Kanak kelas B. Hal ini adalah hasil kesepakatan kami dengan pihak sekolah setelah melihat perkembangannya.
Pada usia dua tahun enam bulan, dokter tumbuh kembang menyampaikan bahwa Althaaf mengalami Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau ADHD. ADHD sendiri merupakan gangguan perilaku berupa ketidakmampuan memusatkan perhatian, perhatian mudah teralih, impulsif dan hiperaktif (www.nutriclub.go.id).
Saat itu, tidak seperti anak-anak seusianya, Althaaf belum dapat berkomunikasi dua arah. Untuk mengungkapkan keinginannya, putra saya hanya menarik tangan atau marah. Althaaf pun tidak berhenti bergerak ke sana ke mari.
Tidak hanya itu, Althaaf juga cenderung anti-sosial. Dia merasa tidak nyaman saat bertemu dengan orang lain di luar keluarga terdekat: saya, ayahnya, saudara-saudara saya, serta neneknya. Saat disapa, dia bersikap resisten dan bahkan sesekali histeris.
Satu lagi yang membuat kami makin terpukul adalah pernyataan dokter bahwa usia psikologis dan usia sosial Althaaf jauh tertinggal bila dibandingkan dengan anak-anak seusianya.
Menurut Prof. Dr. Endang Ekowarni Sutrisno Diatmi, Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, usia psikologis adalah kapasitas adaptif seorang anak dibandingkan dengan kapasitas anak dari usia kalender yang sama, diukur dari kemampuan adaptasi yang efektif melalui proses belajar, copying, kontrol emosi, pengembangan motivasi, serta kecerdasan. Sementara, usia sosial adalah keterampilan melakukan peran sesuai dengan yang diharapkan oleh norma sosial.
Baca Juga : Sinergi Antara Sekolah Dan Orang Tua : Belajar Dari Jepang
Setelah melakukan observasi, dokter meminta kami menyekolahkan Althaaf di Kelompok Bermain (KB) dengan tujuan agar dia bisa belajar bersosialisasi dengan anak-anak lain. Dokter juga menegaskan bahwa putra saya sebaiknya dimasukkan ke sekolah umum, bukan luar biasa.
Setelah mengikuti saran dokter untuk bersekolah sambil terus menjalani terapi, Althaaf menunjukkan berbagai kemajuan pesat. Sudah dua tahun ini, di usia tujuh tahun, dia bersekolah di taman kanak-kanak kelas B. Walau harus duduk di kelas yang sama selama dua tahun pelajaran, kami tidak merasa terganggu.
Hal ini justru kami sepakati bersama dengan pihak sekolah agar perkembangan Althaaf lebih matang sebelum memasuki jenjang sekolah dasar.
Di sekolah, meski belum bisa bercakap-cakap secara normal dengan teman-temannya, Althaaf mulai merasa nyaman. Dia juga dikenal sebagai anak yang sangat cepat memahami pelajaran. Membaca kalimat panjang dan menulis bukan sesuatu yang sulit bagi Althaaf.
Sayangnya, di saat Althaaf mulai menunjukkan perkembangan positif, pandemi Covid 19 merajalela. Sekolah ditutup, diliburkan hingga berbulan-bulan, kemudian dialihkan menjadi pembelajaran daring.
Masalah baru pun muncul. Pekerjaan yang mengharuskan saya lebih banyak di luar rumah dalam waktu yang tidak menentu membuat pendampingan terhadap Althaaf berkurang. Jika sebelumnya kami dibantu dengan aktivitasnya di sekolah, saat pandemi Althaaf hanya berada di rumah bersama asisten rumah tangga.
Baca Juga : Daya Hening Dalam Pembelajaran Di Kelas
Satu hingga dua bulan pertama, saya belum merasakan adanya perbedaan. Hingga suatu hari kami mengajak Althaaf menghadiri acara keluarga. Saat itulah saya menyadari kalau Althaaf kembali menunjukkan sikap resisten terhadap orang lain, bahkan kepada beberapa orang yang sebenarnya sudah dia kenal.
Tidak hanya itu, setelah beberapa bulan tidak bersekolah, Althaaf menjadi tidak tertarik dengan aktivitas-aktivitas bersifat pembelajaran yang coba saya lakukan.
Ketika akhirnya agenda pembelajaran daring dimulai, saya dan suami harus menggunakan berbagai cara untuk membujuk Althaaf agar mau mengikuti kelas. Jika beruntung, saya hanya akan mendengar alasan-alasan lucu yang terlontar dari mulutnya dengan manja dan cadel.
Alasannya bermacam-macam, mulai dari mengantuk, capek, sampai sakit perut. Bila ini terjadi, maka bisa dipastikan kalau mood-nya sedang normal-normal saja. Namun, jika mood-nya sedang buruk, maka dia akan menjerit histeris dan memukul-mukul kepalanya.
Kalau sudah begini, maka saya dan suami akan menyerah dan menyampaikan izin kepada gurunya. Sayangnya, kondisi tantrum menghadapi pembelajaran daring ini lebih sering terjadi pada Althaaf daripada kondisi normal tadi.
Selain itu, kondisi pandemi dan pemberlakukan pembelajaran daring bagi ABK ini bukan hanya menjadikan mereka kembali menjadi anti-sosial, melainkan juga menjadi terlambat dalam memahami pelajaran.
Tampaknya, kurikulum yang berlaku saat ini masih dirasa cukup sulit untuk anak-anak seusia Althaaf. Bahkan bagi mereka yang tidak berkebutuhan khusus. Salah satu contoh pelajaran yang sampai sekarang masih gagal dipahami oleh Althaaf adalah menjelaskan sumber-sumber air yang ada di muka bumi.
Jangankan menyebut salah satu sumber air, memahami soal yang diberikan dalam pembelajaran itu pun dia belum bisa.
Baca Juga : Dampak Pendidikan Yang Digegas Bagi Anak
Hal ini mungkin akan berbeda jika dilakukan dalam pembelajaran tatap muka. Guru tentu mempunyai cara menyampaikan pelajaran sesuai ilmu yang mereka miliki. Sedangkan pada pembelajaran daring, anak-anak hanya ditemani oleh orang tua yang tidak semua memiliki kemampuan untuk memberi pemahaman kepada mereka.
Pada anak ABK, hal ini tentu jauh lebih sulit. Apalagi pada ABK yang memiliki kesulitan konsentrasi dan memiliki kendala dalam komunikasi dua arah. Contohnya saat mood Althaaf sedang baik, meski ingin sekali mengikuti pembelajaran, tetapi ketidakpahamannya membuat Althaaf tidak betah berlama-lama di depan laptop.
Dengan kemampuan saya dan suami yang terbatas, kami berusaha menjadi guru bagi Althaaf. Berbagai upaya kami lakukan, salah satunya dengan mengajaknya belajar sambil bermain.
Upaya ini pun tidak selalu berhasil, karena dia tahu bahwa apa yang kami lakukan adalah sedang mengajarinya, bukan bermain.
Saya yakin, saya bukan satu-satunya orang tua bekerja yang menjalani masa-masa sulit dalam pembelajaran daring bagi ABK. Kekuatiran ini pasti dirasakan orang tua lain yang terpaksa menerima kenyataan jika buah hati mereka harus mengalami kemunduran akibat pembelajaran daring. Sebagai orang tua, saya berharap, kekuatiran kami menjadi pertimbangan dalam penyusunan metode pembelajaran di sekolah.
Mengingat banyaknya diskusi-diskusi yang mengangkat topik kendala pembelajaran daring bagi orang tua, kami sangat berharap solusi atas kendala yang dihadapi siswa ABK juga menjadi perhatian bersama.
Semoga pandemi segera berlalu agar kita bisa kembali melihat anak-anak kita bersekolah dengan nyaman dan bahagia.
Foto:infobintaro.com