Sinergi antara Sekolah dan Orang Tua : Belajar dari Jepang

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Belakangan ini di tanah air, hubungan orang tua dengan sekolah terbilang kurang harmonis. Banyak kasus terjadi yang diakibatkan oleh ketidak-harmonisan ini. Bahkan banyak kasus yang berakhir di meja hijau. Dan hampir semua kasus tersebut dimenangkan oleh orang tua, tanpa rasa keadilan bagi pihak sekolah dan guru. Kasus guru memotong rambut murid, tidak diterima oleh orang tua, padahal tindakan tersebut dilakukan atas nama pendisiplinan. Di balik semua ini, kita membaca bahwa sekolah dan guru tidak lagi memiliki otonomi yang membuat mereka dapat mendidik secara efektif. Karena untuk efektif melakukan tugas mendidik, orang tua dan sekolah harus saling menghargai.

Kali ini Depoedu.com mengajak Eduers untuk belajar bagaimana orang tua murid di Jepang bersinergi secara efektif dengan sekolah dan guru, karena saling mengakui otonomi masing-masing. Berikut ini beberapa model sinergi yang dapat efektif mencapai tujuan, karena baik orang tua, maupun sekolah, berorientasi pada tujuan pendidikan, bukan pada pikiran dan keyakinan masing-masing.

Sinergi untuk Kemandirian

Di Jepang, sejak dari SD kelas I, murid berangkat ke sekolah tidak boleh diantar oleh orang tua atau orang dewasa lain. Anak harus berangkat sendiri ke sekolah. Tujuannya agar anak sekolah dapat lebih mandiri. Dengan berangkat sendiri, banyak keputusan diambil oleh anak sendiri. Misalnya ketika harus menyeberang jalan. Atau jika ada masalah yang timbul di jalan, murid harus belajar mengatasi sendiri. Ini diyakini menyumbang tumbuhnya kematangan pada anak.

Pada saat baru masuk SD, semua orangtua cemas namun karena hidup anak di masa depan memerlukan kemandirian, maka mereka mendukung kebijakan ini. Cara mendukungnya adalah dengan bersedia bersinergi dengan sekolah. Apa yang orang tua Jepang lakukan?

Pada awal tahun ajaran baru, semua orang tua menyiapkan anak-anak mereka untuk berangkat sekolah sendiri. Orang tua melakukan survey terhadap potensi bahaya di jalan, dan anak dilatih untuk menghadapi, termasuk anak dilatih untuk menyeberang jalan.

Bentuk sinergi lain yang menarik adalah Ibu-Ibu melakukan patroli sekolah bersama-sama seperti ditulis oleh Weedy Koshino dalam bukunya Amazing Japan. Semua orang tua murid tanpa kecuali, mendapat kesempatan untuk melakukan patroli minimal setahun sekali. Mereka memakai tanda pengenal yang dikalungkan di leher dan memegang bendera kecil warna kuning untuk membantu anak-anak menyeberang jalan. Patroli juga dapat dilakukan Ibu-Ibu dengan mengendarai sepeda.

Selama melakukan patroli, Ibu-Ibu ini bertugas menjaga anak-anak dari hal-hal yang berbahaya bagi anak, atau hal-hal yang jika dilakukan oleh anak, akan mengganggu lingkungan, misalnya menegur anak-anak jika :

  1. mereka berlarian atau saling mendorong di jalan
  2. berisik atau mengganggu pemakai jalan yang lain
  3. mengganggu hewan peliharaan atau memetik bunga
  4. tidak segera pulang ke rumah saat bel peringatan sudah berbunyi
  5. melanggar rambu lalu lintas.

Selain menjaga anak-anak dari kecelakaan lalu lintas, patroli ini juga bertujuan untuk menekan tindakan kejahatan terhadap anak seperti penculikan, pelecehan, serta kekerasan lain pada anak.

Itu model sinergi dari pihak orang tua. Dari pihak sekolah, apa yang dikerjakan sekolah? Sekolah melengkapi anak-anak dengan peluit atau alarm kecil yang digantungkan di ransel, dan melatih anak untuk menggunakan alarm tersebut. Selain itu, anak-anak kelas satu diberi topi dan penutup tas warna kuning. Semua orang di Jepang, ketika bertemu dengan anak sekolah bertopi dan penutup tas serba kuning, wajib ikut menjaga dan mengawasi mereka, karena mereka adalah anak yang baru masuk sekolah dan belum terbiasa dengan rambu lalu lintas.

Sinergi untuk Pengembangan Belajar

Di Indonesia, sejak dari Sekolah Dasar, pelajarannya sangat akademis. Oleh karena itu  sangat kuat penguasaan kontennya. Di Jepang sebaliknya, lebih mengarah ke penguasaan keterampilan belajar, pengembangan kreativitas, dan pembentukan kebiasaan baik, termasuk upaya pewarisan budayanya. Oleh karena itu, keberhasilan pendidikan dasar di Jepang sangat bergantung pada sinergi dengan orang tua. Mari kita lihat bagaimana mereka bersinergi.

Pendidikan Dasar di Jepang dimulai dengan mendorong kebiasaan hidup sehat. Pola hidup sehat ini berkaitan dengan tiga kebiasaan yakni tidur malam yang cukup, bangun pagi tepat waktu, dan sarapan dengan makanan sehat. Tiga kebiasaan ini sepenuhnya berlangsung di rumah, dan orang tua dapat bersinergi dengan baik, karena menurut mereka, hidup sehat menjadi landasan untuk belajar efektif di sekolah.

Sinergi lain kelihatan dalam pengembangan minat baca. Sekolah di Jepang sangat mendorong pembentukan minat baca. Oleh karena itu, banyak tugas membaca yang diberikan, baik dalam hal membaca untuk menumbuhkan minat baca, maupun dalam rangka belajar Bahasa Jepang. Pada tugas ini, semua orang tua bertindak selaku penilai. Di kelas kecil, hal yang dinilai adalah kelantangan suara, kelancaran membaca, serta sikap tubuh saat membaca.

Orang tua juga bersinergi dalam pengembangan kreativitas, misalnya melalui pelajaran Prakarya. Pada pelajaran ini murid dilatih berkreasi dengan menggunakan barang bekas, menciptakan sesuatu yang baru. Seperti diceritakan Weedy Koshino, sekolah di Jepang jarang sekali memungut iuran untuk membeli macam kebutuhan prakarya sekolah. Guru selalu menekankan untuk memanfaatkan barang-barang bekas rumah tangga. Dan orang tua membantu anak menyiapkan barang bekas ini dengan memanfaatkan sampah limbah rumah tangga mereka.  “Salah satu cara pendidikan di Jepang yang membuat saya salut adalah mengajak anak bersahabat dengan sampah, dan berpikir kreatif agar barang yang tidak terpakai dapat menjadi maha karya yang menarik”, kata Weedy Koshino, Ibu dua anak, yang lahir di Jakarta dan bersuamikan orang Jepang.

Ada model sinergi unik yang lain. Di Jepang ada liburan panjang 40 hari yang disebut Teatsu Yasuni. Pada libur panjang seperti ini, sekolah di Jepang tetap memberi pada murid banyak pekerjaan rumah, mulai dari mengerjakan soal Pelajaran Bahasa Jepang, Matematika, hingga pekerjaan rumah membaca buku serta prakarya.  Tugas-tugas ini wajib dikumpulkan pada hari pertama setelah pulang libur.

Terhadap pekerjaan rumah ini, orang tua ikut disibukkan juga karena mereka wajib memeriksa untuk memastikan yang dikerjakan benar, hingga memberi nilai membaca. Yang paling sulit adalah mendorong anak untuk mengerjakan PR pada suasana libur panjang, sementara anak inginnya main terus.

Meskipun keberatan dengan adanya pekerjaan rumah pada hari libur, namun semua orang tua mau melakukan ini, karena mereka tahu bahwa kebiasaan dan pola belajar yang sudah dibentuk dapat runtuh, jika karena libur anak-anak benar-benar dibiarkan bebas tanpa kegiatan belajar.

Itulah model sinergi antara sekolah dan orang tua murid Jepang. Indonesia perlu belajar dari Jepang. Orang tua di Indonesia kadang memboikot kebijakan sekolah, hanya karena tidak mau ribet. Sudah bayar mahal, malah masih disuruh lakukan macam-macam. Padahal itu diperlukan untuk pertumbuhan anak, dan hanya bisa dilakukan oleh orang tua. Di Indonesia, jika ditelusuri, keengganan untuk bersinergi berakar pada menurunnya profesionalisme serta hilangnya otonomi guru dan sekolah, di mata orang tua murid.

Foto: bangkudepan.com

5 1 vote
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
2 Comments
oldest
newest most voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Baca Juga: Sinergi antara Sekolah dan Orang Tua : Belajar dari Jepang […]

trackback

[…] Baca Juga : Sinergi Antara Sekolah Dan Orang Tua : Belajar Dari Jepang […]