Penelitian Harvard Menyimpulkan 7 Cara Parenting Membentuk Otak Anak Menjadi Cerdas

Family Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com-Otak manusia adalah organ yang paling penting dibandingkan organ lain pada tubuh manusia, karena melalui organ ini, pengaturan dan kontrol terhadap fungsi organ lain dari tubuh, dapat terjadi.

Otak mengontrol paru-paru sehingga paru-paru bisa berfungsi dan kita bisa bernafas. Otak mengontrol dan menggerakkan detak jantung sehingga darah dan oksigen dapat mengalir ke seluruh tubuh.

Fungsi otak pula yang memungkinkan mata bisa berkedip, bisa menangkap rangsangan warna; telinga bisa menangkap bunyi, lidah dapat merasakan aneka rasa makanan, minuman, kulit dapat merasakan hangatnya sinar matahari, dan hidung dapat mencium aneka bau.

Tanpa otak yang berfungsi dengan baik, organ lain tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Namun fungsi-fungsi di atas, baru berkaitan dengan bagaimana manusia hidup.

Fungsi-fungsi di atas menentukan hidup manusia, namun belum menyangkut hidup yang lebih manusiawi. Hidup yang manusiawi adalah hidup yang bermakna.  Hidup yang bermakna baru terjadi ketika fungsi berpikir dan merasa, terjadi dengan baik. Dan itu baru terjadi pada tingkat tertinggi ketika, ada kreativitas dan inovasi.

Proses berpikir hingga tingkat capaian tertinggi berwujud kreativitas dan inovasi tersebut, menurut Psikolog Harvard Lisa Feldman Barret, baru tercapai jika manusia terhubung dengan dunianya yang khas, dan dapat beradaptasi sebagai persyaratan untuk tumbuh.

Terhubung dengan dunianya yang khas artinya diperlukan iklim khusus, rangsangan tertentu, pendekatan tertentu, termasuk cara komunikasi tertentu, untuk mengkondisi otak berpikir, agar bertumbuh secara maksimal.

Baca Juga : Orang Yahudi Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan

Melalui penelitian yang panjang, seperti dilansir pada laman CNBC international, tim peneliti syaraf dan psikologi dari Harvard University yang dipimpin oleh Lisa Feldman merumuskan 7 aturan parenting untuk membentuk otak anak menjadi cerdas dan produktif sebagai berikut.

  1. Orang tua dan guru hendaknya menjadi tukang kebun, bukan tukang kayu

Dari apa yang dikerjakan, ada perbedaan yang mendasar pada dua profesi ini. Tukang kayu mengukir kayu sesuai dengan yang ia inginkan. Sementara tukang kebun menggemburkan tanah, memupuk, menyiram agar tanaman yang ia rawat dapat tumbuh subur sesuai potensinya.

Orang tua dan guru, sebagai pendidik hendaknya tidak membentuk anak seperti yang mereka mau, seperti cara tukang kayu bekerja. Tetapi, membantu anak menemukan bakat dan minatnya, memberikan dukungan, menciptakan iklim agar bakat dan minat, yang ada pada anak, dapat ditumbuhkan.

Dengan begitu, tersedia iklim belajar yang lebih sehat di mana anak lebih senang menjalani proses belajarnya, tidak terbebani dalam melakukan berbagai tugasnya. Lingkungan belajar seperti ini tidak hanya menumbuhkan anak tetapi juga orang tua dan guru.

  1. Lebih banyak komunikasi dengan anak

Penelitian membuktikan bahwa meskipun baru berusia beberapa hari, dan belum memahami kata-kata, namun anak dapat diajak komunikasi karena otak anak sudah dapat menangkap apa yang dikomunikasikan.

Komunikasi dengan frekuensi yang intens, merangsang perkembangan syaraf otak dan menjadi fondasi yang baik untuk belajar. Semakin banyak kata yang mereka dengar, mereka akan memiliki kosa kata yang lebih kaya untuk memahami pesan dari komunikasi.

Penelitian pun membuktikan bahwa bukan hanya bunyi kosa kata yang mereka dengar dan tangkap, tetapi anak juga menangkap perasaan yang diekspresikan pada saat berkomunikasi. Ini adalah pembentukan kehidupan emosional dini pada anak.

Baca Juga : Bacakan Buku Untuk Anak Sangat Bermanfaat, Orang Tua Tidak Punya Waktu?

Selain berkomunikasi langsung, membacakan buku cerita dengan intonasi dan ekspresi yang sesuai, juga dapat berdampak merangsang pertumbuhan otak, perkembangan emosi dan kemampuan berbahasa anak. Bahkan merupakan cara yang baik untuk mnumbuhkkan minat baca anak

Anak dengan otak dan emosi yang berkembang dengan baik sejak dini, akan lebih cepat belajar dan efektif dalam pergaulan dengan lingkungan sosialnya kelak.

  1. Orang tua dan guru harus menjawab pertanyaan anak dengan jawaban yang logis

Dalam hubungan dengan anak, banyak peristiwa memunculkan pertanyaan dari anak. Baik pada saat orang tua dan guru siap maupun pada saat mereka tidak siap menjawab pertanyaan tersebut.

Pertanyaan dadakan seringkali memicu jawaban yang tidak rasional atau jawaban “pokoknya begitu”, atau “anak kecil jangan banyak tanya”, dari orang dewasa.

Padahal ahli psikologi anak mengatakan bahwa tiap pertanyaan anak adalah upaya mereka untuk memahami alasan untuk berperilaku tertentu sehingga mereka dapat mengatur tindakan mereka secara lebih efektif.

Anak memerlukan jawaban dengan penalaran yang lebih masuk akal. Penalaran yang lebih masuk akal membantu menumbuhkan empati anak dan membantu anak memahami konsekuensi dari sebuah tindakan. Ini merupakan fase yang penting bagi anak hingga memasuki usia remaja.

  1. Orang tua dan guru harus lebih fokus pada perilaku anak, bukan pada pribadi anak

Anak bukan orang dewasa mini. Jika setiap orang dewasa memiliki banyak kekurangan, apalagi anak-anak. Kekurangan anak-anak muncul dalam interaksi dengan orang-orang di sekelilingnya.

Namun, seperti orang dewasa, anak juga punya sisi-sisi positif yang jika disikapi dengan tepat, terutama oleh orang tua dan guru sebagai figur penting bagi anak, maka anak akan bertumbuh.

Menurut para peneliti Harvard, cara yang tepat menyikapi kekurangan dan kelebihan anak adalah dengan fokus pada perilaku dan bukan pada pribadi anak. Berfokus pada perilaku bukan pada pribadi dimaksudkan untuk memberikan umpan balik yang spesifik pada seseorang terhadap apa yang ia lakukan.

Bila yang ia lakukan adalah hal positif, umpan balik berupa pujian yang spesifik membantunya mengenali dengan jelas perilaku positif yang diapresiasi sehingga anak tergerak untuk mengulanginya kembali. Sebagai contoh: “Ibu terharu melihatmu menghibur nenek yang sedih. Ibu lihat nenek merasa bahagia karenanya”.

Ini jauh lebih berdampak dibandingkan dengan feedback yang secara umum ditujukan kepada pribadi, misalnya: “Kamu anak yang baik”.

Selain tidak memberi penjelasan spesifik yang mendorong pengulangan perilaku, ada kemungkinan feedback seperti ini pun semata ditangkap sebagai upaya kita untuk membuatnya merasa senang.

Baca Juga : Tugas Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar, Mengapa Perlu Diketahui Orang Tua Dan Guru?

Sebaliknya bila, yang ia lakukan adalah perilaku negatf, umpan balik berupa teguran yang spesifik pada perilaku salah, membantunya mengenali apa yang keliru dan perlu diperbaiki. Seringkali anak sudah mengetahui bahkan merasa salah sebelum ditegur. Maka, feedback berupa teguran biasanya jauh lebih sensitif.

Berfokus pada perilaku dalam konteks ini membantu kita mencegah pemberian feed back yang tertuju pada pribadi secara keseluruhan.

Sebagai contoh, saat seorang siswa datang terlambat ke kelas, guru yang terpaksa menghentikan proses pembelajaran, bisa menegur dengan menghakimi siswa sebagai anak yang malas.

Ini bisa terjadi karena pada umumnya pihak yang terdampak langsung oleh perilaku negatif anak, bisa menjadi terganggu bahkan terpicu secara emosional.

Feedback seperti ini yang lebih dimaksudkan sebagai ungkapan emosional, cenderung tidak mengarah pada perubahan perilaku. Sebaliknya, justru mengakibatkan anak mempersepsi dirinya secara negatif berdasarkan satu perilaku negatif saja. Pengalaman berulang beresiko membuatnya memandang dirinya sebagai buruk, lalu terdorong bertindak buruk, karena demikianlah pandangan terhadap dirinya.

  1. Jadilah teladan bagi anak

Sejak penglihatan dan pendengaran anak mulai tumbuh dengan baik, kemampuan belajar anak mulai terbentuk. Ia mulai belajar melalui apa yang ia lihat dan ia dengar.

Semua kata yang anak dengar dan perilaku yang dilihat, akan diserap serta ditiru. Anak meniru semua yang semua yang ia dengar dan ia lihat. Meniru adalah cara belajar paling awal.

Baca Juga : Tantangan Menumbuhkan Kemandirian Pada Anak

Namun semua hal yang ia lihat pada dan ia dengar dari orang dewasa, baik maupun buruk akan ditiru oleh anak. Maka orang dewasa diharapkan mengendalikan diri untuk hanya melakukan kebaikan dan menjadi teladan kebaikan.

  1. Biasakan anak dengan keragaman

Sejak kecil, biasakan anak dengan keragaman. Anak mulai diperkenalkan dengan keragaman pada keluarga inti, keluarga besar, lingkungan sekitar rumah, sekolah dan lingkungan yang lebih luas.

Dampingi anak untuk berinteraksi dalam keragaman, termasuk berinteraksi dengan penutur bahasa yang berbeda. Ini dapat membuatnya membentuk jaringan kabel kritis pada otak.

Selain itu, dapat membantu anak memiliki kemampuan mempelajari bahasa lain di masa depan. Selain bahasa, interaksi dengan keragaman ras manusia yang berbeda, adalah langkah anti rasisme yang paling awal.

  1. Orang Tua Jangan Terlalu Cepat Menolong Anak

Anak perlu diberi kesempatan untuk mencoba banyak hal sendiri. Biarkan anak menyelesaikan banyak urusan tanpa orang tua terlalu cepat memberikan pertolongan pada anak.

Meskipun orang tua perlu mengenali kapan saat yang tepat memberi pertolongan pada anak dan kapan pertolongan tidak diperlukan. Orang tua yang selalu hadir menolong anak, menyebabkan anak tidak belajar melakukan banyak hal sendiri.

Para ahli psikologi mengatakan, orang dewasa perlu membiarkan anak berjuang membangun ketahanan, dan membantu mereka memahami konsekuensi dari keputusan dan tindakan mereka.

Inilah 7 cara parenting yang jika dipraktekkan dengan baik oleh orang tua dan guru akan berdampak merangsang pertumbuhan otak, baik langsung maupun tidak langsung.

Foto:parenting.dream.co.id

5 1 vote
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments