Depoedu.com – Saat ini banyak orang tua memasukkan anaknya ke sekolah lebih cepat dari usianya. Harusnya masuk TK pada usia 4 tahun, dengan adanya Taman Bermain, di usia 3 tahun anak sudah dimasukkan ke Taman Bermain. Ini biasanya dipicu oleh pandangan atau situasi sebagai berikut. Ada sebagian masyarakat berpandangan bahwa sangat penting anak belajar sedini mungkin. Jika tidak, anak kehilangan peluang emas untuk belajar, dan berarti anak kehilangan peluang yang luar biasa untuk berkembang. Bisa juga didorong oleh situasi di mana kedua orang tua bekerja di luar rumah. Fungsi mereka sebagai pendidik digantikan oleh Taman Bermain (TB) dan Taman Kanak-kanak (TK).
Dalam prakteknya, TB dan TK tidak menggunakan bermain, dan situasinya untuk menyiapkan anak secara mental agar siap memasuki Sekolah Dasar. TB dan TK berubah fungsi, mengajarkan kemampuan skolastik : membaca, menulis, dan berhitung, untuk persiapan memasuki Sekolah Dasar (SD). Karena saat ini, banyak SD, terutama SD bagi masyarakat kelas menengah dan atas, merekrut siswa berdasarkan kemampuan skolastiknya.
Ini adalah salah satu bentuk pendidikan yang digegas, karena pendidik di TK, apalagi di TB, yang seharusnya menggunakan bermain sebagai sarana menyiapkan mental anak untuk memasuki SD, tidak lagi fokus pada persiapan secara mental, tetapi menggegas dan menyiapkan mereka secara skolastik. Persiapan mereka secara mental tidak digarap dengan baik.
Bentuk lain dari praktek pendidikan yang digegas sering muncul dari orang tua yang ambisius. Di satu pihak mereka yakin bahwa ada periode emas dalam belajar dan orang tua harus mengembangkan potensi anak di periode ini dengan sebaik-baiknya dengan belajar sebanyak-banyaknya yang berorientasi intelektual. Diajari membaca secepatnya dan disuguhi bacaan-bacaan, bahkan bacaan untuk orang dewasa, tanpa mempertimbangkan minat anaknya. Anak juga diberi les-les tambahan untuk menunjang penguasaan pengajaran seperti Sakamoto, Sempoa, Kumon untuk menunjang percepatan belajar Matematika. Anak diberi les tambahan Bahasa Inggris, les untuk pelajaran yang lain, untuk memastikan nilai bagus secara akademis.
Bentuk lain muncul dari sekolah formal melalui kelas akselerasi. Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas yang kurikulum normalnya ditempuh dalam waktu 3 tahun, dipercepat hanya dalam 2 tahun, sehingga anak cuma perlu waktu 4 tahun untuk lulus SMP dan SMA dengan program akademik semata-mata. Tekanannya sangat otak kiri dengan jam-jam belajar yang panjang. Pola ini sangat marak terjadi di Indonesia di pertengahan tahun delapanpuluhan hingga tahun sembilanpuluhan.
Dengan demikian, pendidikan yang digegas adalah pendidikan yang dilaksanakan dengan cara memaksa otak kiri anak, diikuti dengan banyak tekanan dan intervensi dini dari orang dewasa, agar terjadi proses belajar untuk memperoleh kecakapan akademik. Dalam hampir semua kasus, proses ini mengabaikan otak kanan. Aspek mental kurang jadi perhatian. Kematangan mental dan kesiapan anak untuk belajar tidak jadi prioritas. Anak dipaksa melakukan hal dengan baik di luar tingkat kemampuan mental, sosial, atau emosionalnya.
Pendidikan yang Digegas, Kasus Amerika
William James Sidis adalah anak dari seorang psikiater. Ayahnya mendorong William untuk belajar sebanyak-banyaknya, karena ia yakin pada kemampuan William di satu pihak, dan meyakini bahwa di usia belasan tahun, anak berada pada usia-usia emas untuk belajar. William sangat menonjol di bidang Matematika dan prestasinya sangat mengesankan. Karena kecerdasannya, William mampu menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah di usia 10 tahun, dan di usia 11 tahun William masuk Harvard College. Ia sangat berprestasi di bidang Matematika. Prestasinya sering menghiasi media massa. Namun apa yang terjadi beberapa tahun kemudian? James Thurber, seorang wartawan terkemuka, pada suatu hari menemukan seorang pemulung mobil tua yang tak lain adalah William James Sidis.
Kisah berikutnya terjadi pada seorang anak perempuan bernama Edith. Bermula dari Aaron Stern, Ibu dari Edith yang melakukan eksperimen dengan menyiapkan lingkungan yang menstimulasi perkembangan kognitif sejak janin. Ketika lahir langsung diperdengarkan musik klasik. Diajak bicara dengan menggunakan bahasa orang dewasa. Sering dikenalkan kartu bergambar dan kosa kata baru. Hasilnya mencengangkan. Di usia 1 tahun Edith sudah dapat bicara dengan kalimat yang sempurna. Di usia 5 tahun telah selesai membaca ensiklopedi Britanika. Di usia 6 tahun setiap hari membaca 1 buku dan Koran New York Time. Usia 12 tahun sudah masuk universitas. Di usia 15 tahun mulai mengajar Matematika di Michigan State University. Hingga usia 15 tahun banyak prestasi diraih, namun tidak ada prestasi baru setelah itu. Prestasi sebelumnya ternyata tidak menjadi sesuatu yang bermakna dalam hidup Edith ketika dewasa.
Dampak Pendidikan yang Digegas
Sesungguhnya ada dampak positif. Namun dampak positifnya tidak berkaitan dengan tumbuh kembangnya anak. Misalnya, program berjalan lebih cepat. Program yang seharusnya 3 tahun menjadi 2 tahun, dan ini menguntungkan orang dewasa secara ekonomi. Hal yang lain, orang tua yang memiliki anak cerdas yang digegas ini memiliki kebanggaan tersendiri. Jika secara akademi anak-anak ini berprestasi dalam kejuaraan, sekolah tempat anak-anak ini belajar, naik reputasinya di masyarakat sebagai sekolah berprestasi. Semua dampak positif ini berkaitan dengan faktor-faktor di luar anak, yakni orang tua dan sekolah.
Bagi anak yang mengalami pendidikan yang digegas, salah satu dampak yang paling umum adalah rangkaian perilaku stress yang menyebabkan berbagai krisis pada masa kanak-kanak, yang memunculkan berbagai masalah psikologis seperti depresi, tertutup tidak mau bergaul dengan orang lain, cemas, mengalami gangguan tidur, bahkan gagap dalam berbicara. Stress dan depresi dapat juga muncul dalam gejala fisik seperti sakit perut, diare, nervous syndrome, sakit kepala, hiperaktif, ketegangan otot perut, bahkan ngompol.
Pendidikan yang digegas pun dengan tekanan-tekanannya tidak memunculkan inisiatif anak, misalnya berkaitan dengan pilihan. Ia melakukan sesuatu yang sudah dipilihkan orang dewasa. Tanggung jawab pribadi tidak terbentuk dengan baik, karena ia tidak melakukan apa yang ia pilih, apa yang ia sukai, apa yang ia butuhkan. Perasaan dan emosi anak ternyata tidak dapat digegas. Secara fisik anak-anak kelihatan bertumbuh secara normal namun perasaan dan emosi memiliki waktu dan ritme untuk bertumbuh tersendiri. Perasaan dan emosi tidak dapat digegas. Anak-anak yang digegas bisa jadi secara fisik terlihat seperti orang dewasa, tetapi perasaan mereka tidak seperti perasaan orang dewasa. Karena tumbuh mekarnya emosi berbeda dengan tumbuh mekarnya kecerdasan. Perkembangan emosi lebih rumit dan sukar karena dipengaruhi oleh banyak faktor.
Dampak lain dari pendidikan yang digegas adalah mencabut anak dari masa kanak-kanak mereka. Neil Postman, seorang Sosiolog Amerika mengatakan bahwa jika anak-anak tercabut dari masa kanak-kanak mereka, ketika mereka dewasa, mereka akan menjadi orang dewasa yang kekanak-kanakan. Dampak yang paling mematikan dari proses pendidikan yang digegas adalah hilangnya kemampuan berpikir kritis, kemampuan problem solving dan kreativitas, karena ketiga kemampuan ini lahir dari proses yang melibatkan proses mental, baik otak kiri maupun kanan.
Inilah yang membuat anak-anak yang mengalami pendidikan yang digegas bisa sangat berprestasi secara skolastik tetapi gagal dalam hidup ketika dewasa, seperti kasus William James Sidis. Karena hidup memerlukan sikap kritis, kemampuan problem solving, tanggung jawab, inisiatif, dan kreativitas. Semua soft skill ini tidak dilatih dalam praktek pendidikan yang digegas.
Foto: mahasiswabicara.id
Artikel yg sangat menarik di tengah maraknya pemaksaan pendidikan usia dini di sekitar saya. Adakah sumber buku yg bagus yg bisa saya jadikan acuan, Pak? Terima kasih… ^^
Brosing saja di Internet. Cari tulisan dari Dewi Utama Faiza. Beliau pejabat di kementrian pendidikan Banyak menulis tentang topik ini dan tulisannya banyak di kutip.
Buku saya ga punya info ya. Tapi kalau Ibu mau dalami lebih lanjut gagasan itu, Ibu Brosing aja. Cari tulisan Dr. Dewi Utama Faiza. Beliau pejabat di kementrian Pendidikan. Beliau banyak menulis tentang gagasan Pendidikan yg digegas. Bahkan beliau adalah tokoh dihapusnya kelas percepatan di sekolah sekolah di Indonesia.
(Thory : Ibu dari Tora dan Isco, tinggal di Kupang)
Tora masuk sekolah di usian 2 thn
setiap hari harus di jaga di sekolah dan pagi mau berangkat selalu rewel
Isco masuk sekolah umur 4 thn
hanya di antar 2 hari pertama selanjutnya tdk di jaga
Tora lebih malu2 takut2 tampil
tp Isco lebih berani
sekolah lebih cepat dan lama
tdk serta merta membuat mental anak menjadi lebih siap
[…] Baca Juga : Dampak Pendidikan yang Digegas bagi Anak […]