Depoedu.com – Peristiwa tersebut terjadi di SMAN 10 Tanjung Jabung Barat, Jambi, pada Rabu, 6 Maret 2020. Seperti dilansir oleh Kompas.com, kasus ini bermula ketika saat ujian berlangsung, semua siswa tidak diperkenankan untuk membawa ponsel mereka di ruang ujian.
Ini aturan yang umum terjadi pada hampir semua ujian. Karena aturan ini, semua murid mengumpulkan handphone mereka.Namun ada seorang murid kedapatan tidak mau mengumpulkan handphone-nya. Alasannya, Ia tidak diperbolehkan oran tuanya. Namun, demi menegakkan aturan, handphone murid tersebut tetap dikumpulkan oleh Kepala Sekolah.
Usai ujian terselenggara, orang tua murid yang tidak mau menyerahkan handphone tersbut datang ke sekolah, dan terjadi letusan keras sehingga mengagetkan warga sekolah. Diduga berasal dari tembakan senjata yang ia bawa.
Baca Juga: Kasus Pertama dalam Sejarah Pendidikan di Indonesia, Guru Tewas Dianiaya Murid
Wali murid tersebut kemudian berusaha memukul Kepala Sekolah, hingga ke halaman sekolah. Kepala Sekolah mencoba menghindar dengan menangkis pukulan tersebut. Orang tua murid tersebut bahkan sempat menyingkap bajunya, diduga untuk memperlihatkan pistol yang ada di pinggangnya.
Pengurus PGRI setempat, atas restu dari Dinas Pendidikan telah melaporkan kasus tersebut pada Polres Tanjung Jabung. Saat ini laporan tersebut masih diselidiki polisi.
Mengapa Terus Terjadi?
Belakangan ini, kejadian orang tua tidak menerima tindakan penegakan disiplin sekolah sudah sangat sering terjadi. Dalam kasus Tanjung jabung, sejauh berita yang kita baca benar, orang tua bertindak terlampau berlebihan.
Baca Juga: Kekerasan Guru Terhadap Murid, Haruskah?
Namun dalam kasus yang lain, kita juga lihat Kepala Sekolah dan guru lalai dalam penegakan aturan. Ini semua menunjukkan bahwa lembaga pendidikan kita sedang dalam krisis. Kejadian demi kejadian yang kita lihat merupakan pengejawantahan dari krisis tersebut.
Harusnya keluarga dan sekolah adalah dua lembaga yang bahu membahu melakukan tugas mendidik yang sama. Oleh karena itu, posisi yang sehat adalah keduanya menjadi partner.
Itu artinya keluarga dan sekolah berada pada posisi yang sejajar, di mana keduanya keduanya saling menghormati peran masing-masing, dan disiplin dengan dan pada batas areanya masing-masing.
Jika terjadi masalah, seharusnya dua lembaga ini duduk bersama, berdialog. Tujuan dialognya adalah bagaimana agar tujuan pendidikan anak tercapai secara lebih efektif.
Hanya dengan begitu anak dapat bertumbuh denga baik, dan keluarga maupun sekolah dapat keluar dari krisisnya. Apa yang harus kita kerjakan untuk mewujudkan ini?
Baca Juga: Sinergi antara Sekolah dan Orang Tua : Belajar dari Jepang
Menurut hemat kami, di tengah-tengah perubahan masyarakat yang dipicu oleh globalisasi arus informasi, diperlukan upaya rekonstruksi ulang peran sekolah dan keluarga, dalam mengupayakan pendidikan anak yang efektif.
Proses rekonstruksi ini hanya berhasil jika didorong oleh pemerintah, dengan melibatkan semua stake holder terkait. Kita berharap peran ini dapat disponsori oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, beserta jajarannya. (Foto: bogordaily.net)