Depoedu.com – Sekali lagi, semua terhenyak. Sebuah video yang diunggah pertama kali pada Kamis, 19 April 2018 memperlihatkan sembilan murid ditempeleng karena terlambat. Ialah Lukman Septiadi (27), seorang guru tidak tetap di SMK Kesatrian, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus kekerasan terhadap anak didiknya.
Sebulan sebelumnya, Rabu, 14 Maret 2018, seorang guru berinisial RM yang mengajar di Sekolah Dasar Negeri 104302 Desa Cempedak Lobang, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara diduga menghukum siswanya dengan cara menjilat WC.
Ketika mencari di media daring, mengetik kata kunci ‘kekerasan di sekolah’ saya dibanjiri ratusan informasi di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Dari kekerasan oleh orang tua siswa kepada siswa lain di sekolah, kekerasan guru terhadap anak didik, perkelahian antar anak didik hingga penganiayaan anak didik terhadap guru.
Wahyu Eka Setyawan : pegiat Komunitas Gerakan Tuban Menulis, Lingkaran Solidaritas dan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Surabaya: menulis bahwa maraknya tindak kekerasan oleh guru kepada anak didik di sekolah merupakan sebuah dampak dari perubahan zaman. Dahulu guru dianggap memiliki pengetahuan yang luas, mempunyai wewenang yang tidak terbatas di domain pendidikan dan status sosial cukup tinggi di masyarakat. Akibatnya guru memiliki kuasa yang cukup absolut kepada muridnya.
Berbeda dengan era hari ini, ketika banyak struktur sosial era sebelumnya mulai luntur. Wewenang guru kini terbatas. Akses akan ilmu pengetahuan yang mulai terbuka luas menjadikan murid – generasi muda, memiliki pengetahuan yang terkadang lebih luas dari gurunya. Guru yang konservatif cendrung muncul mekanisme pertahanan dirinya, menjadi agresif. Watak-watak otoriter masih menganggap bahwa sumber pengetahuan termasuk wewenang pendisiplinan adalah oleh guru. Akibatnya jika terjadi selisih pendapat, secara simbolik guru akan menegur, hingga melakukan tindakan pendisplinan.
Hal senada juga ditulis oleh Luthfi Ersa Fadilah: guru Sosiologi SMAQ Al-Ihsan “Sistem sekolah yang masih bersifat top-down secara teknis birokratis menghasilkan relasi ketidaksetaraan. Dan akar kekerasan, muncul dari ketidaksetaraan itu. Relasi ketidaksetaraan tanpa disadari memberikan ruang bagi masing-masing aktor untuk menjadi dua objek sekaligus: Penindas & Tertindas. Keduanya sama-sama memiliki modal dan kesempatan untuk saling menindas orang lain sekaligus pada waktu yang sama dirinya juga dapat ditindas oleh aktor lainnya. Relasi ketertindasan inilah yang oleh Paulo Freire disebut sebagai ‘Lingkaran Setan’”.
Seorang guru dapat menjadi ‘penindas’ di sekolah karena status yang melekat padanya. Guru yang menentukan alur pembelajaran, materi hingga sistem penilaian dan sebagainya. Pada saat yang sama, guru yang ‘ditindas’ oleh tuntutan profesi dari pemerintah dan peraturan sekolah, memungkinkannya melakukan sosial kontrol yang sangat ketat & represif kepada siswa. Oleh karena itu tak aneh bila kita masih menemukan segala bentuk pendisiplinan dan hukuman fisik lainnya. Apalagi jika pendisiplinan fisik itu dibalas dengan instrumen hukum oleh anak didik atas apa yang menimpanya. “Lingkaran Setan” a la Freire tidak mudah terputus.
Diamini juga oleh JC Pramudia Natal –Penggerak Komunitas Guru Belajar Jakarta Selatan- : bahwa kekerasan struktural sekolah sudah masuk tataran normatif dan psikologis. Guru semestinya memiliki cukup kemampuan dalam mengelola keadaan psikologis peserta didik. Pramudia yang mengutip laporan Institute of MedicineAmerika Serikat bahwa pembatasan ruang gerak aktif pelajar lewat penyusunan bangku dan meja belajar adalah salah satu bentuk kekerasan. “Bagaimana anda bebas bergerak dikelilingi oleh 24 meja dan 48 kursi yang diatur dalam 4 kolom dan 12 baris?”
Lebih lanjut Pramudia menulis “Kekerasan pertama dibangun untuk memastikan berlangsungnya kekerasan kedua. Yaitu stabilitas ruang kelas. Ketika murid nyaman duduk, sebaik-baiknya ia akan patuh mendengarkan gurunya bermonolog. Setengah-tengahnya, ia akan jatuh tertidur karena bosan. Dan separah-parahnya, ia akan memancing obrolan dengan temannya yang kemudian tinggal dijatuhi setrap ke luar atau ke depan kelas. Titik. Habis perkara guru, tinggal mengajar lagi”.
Namun menurut saya, baik Wahyu Eka Setyawan, Luthfi Ersa Fadilah maupun JC Pramudia, cendrung menyalahkan hal-hal diluar kendali diri pelaku kekerasan. Arus zaman, system pendidikan, kurikulum seolah menjadi alasan pembenaran atas kekerasan yang dilakukan oleh guru (baca: kekerasan dalam dunia pendidikan). Tentu tidak sepenuhnya salah. Barangkali hal-hal tersebut juga mempengaruhi keputusan pelaku kekerasan pada saat kejadian.
Kita juga dapat dengan mudah menemukan alasan-alasan atas reaksi negatif terhadap emosi kita. Hal seperti ‘sabar ada batasnya’, ‘saya kilaf’, manusiawi ketika sedang marah’, cendrung menjadi benteng untuk mencari pembenaran diri.
Sehebat apapun hal yang membuat seseorang marah, emosi itu masih bisa dilepaskan dengan cara yang sehat. Diakui bahwa tidak setiap orang memiliki emotional control yang pas terhadap situasi emosi. Namun setiap kita diberi pilihan untuk merespon dan melepaskan apapun bentuk emosi yang timbul. Kita dapat memanfaatkan waktu jedah sekian detik (timeout) untuk memilih respon seperti apa yang kita tampilkan dari apapun bentuk emosi kita.
Bukankah ketika marah tubuh kita meresponnya dengan tarikan nafas-nafas pendek? Selain mengakibatkan otak kehabisan energi untuk merespon emosi tersebut, nafas-nafas pendek dan tersendat itu dibaca tubuh sebagai tanda-tanda stress yang kemudian mengirim sinyal ke otak untuk menanggapi stress tersebut. Riset yang dilakukan Newberg dan Waldman menunjukkan semakin lama seseorang membiarkan emosi menguasainya akan meningkatkan aktifitas di amygdale – pusat emosi pada otak-. Hal ini memicu amygdale mengirim pesan pada kelenjar endokrin untuk melepaskan hormone stress terutama kartisol. Celakanya “amarah mengirimkan pesan peringatan ke otak, secara bertahap dan menghentikan kerja pusat logika di lobus frontal,” tulis Newberg dan Waldman. Hal ini menegaskan kenapa kita sering kehilangan ‘akal’ saat sedang ‘kalap’.
Timeout sekian detik itu dapat kita gunakan untuk menarik nafas perlahan. Memenuhi otak kita dengan oksigen. Menarik nafas panjang beberapa kali saat marah memungkinkan otak memperoleh cukup tenaga untuk melepaskan hormone anti stress berupa endorphin untuk melindungi kita dari ‘rasa sakit’ yang menimbulkan kemarahan sekaligus menenangkannya.
Dan satu hal penting lainnya adalah respon atas amarah setelah jedah itu. Salah satu tulisan di www.depoedu.com, 21 Maret 2018 lalu sangat layak menjadi rujukan dan sangat baik bagi kita. “Mengenali Meggie, Si Pelanggar Aturan (Sepucuk Surat Untuk Rekan-Rekan Guru)” yang ditulis oleh Ibu Margaretha Maria Josyarti Bahy – Guru Sekolah St. Ursula BSD– mengulas dengan sangat menarik bagaimana guru seharusnya merespon “Si Pelanggar Aturan”.
(disarikan dari berbagai sumber, Senuken / Foto: brilio.net)
[…] Baca Juga: Kekerasan Guru Terhadap Murid, Haruskah? […]
[…] Baca Juga: Kekerasan Guru Terhadap Murid, Haruskah? […]
[…] Baca juga: Kekerasan Guru Terhadap Murid, Haruskah? […]