Depoedu.com-Aturan penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar dan remaja dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 menuai polemik. Sebab, dalam Pasal 103 ayat (4), disebutkan bahwa penyediaan alat kontrasepsi merupakan bagian dari pelayanan kesehatan reproduksi untuk anak usia sekolah dan remaja.
Aturan ini sontak mengejutkan para praktisi pendidikan. Polemik aturan penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar dan remaja dalam PP No. 28 Tahun 2024 semakin intens dengan pernyataan Meteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin melalui keterangan resmi yang dikutip Kompas.com (8/8/2024). Dia menjelaskan bahwa pemberian alat kontrasepsi adalah untuk remaja yang sudah menikah.
Pernyataan ini tentu mengejutkan, terutama mengingat kompleksitas dan ketidakjelasan yang ada dalam regulasi tersebut. Penulis terkejut dan mempertanyakan, apakah regulasi ini benar-benar melindungi remaja atau justru menjadi ancaman bagi mereka?
Regulasi yang baru saja diterbitkan ini memang patut diapresiasi karena menegaskan komitmen pemerintah dalam meningkatkan layanan kesehatan reproduksi. Namun, dalam konteks perlindungan remaja, penulis melihat adanya potensi bahaya yang terkandung dalam Pasal 103 ayat (4) huruf e, yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi.
Meskipun niat untuk menyediakan layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif merupakan langkah positif, ketidakjelasan dalam tafsir regulasi ini dapat berimplikasi negatif terhadap remaja.
Inkonsistensi Regulasi
Inkonsistensi dalam regulasi ini tampak nyata ketika kita membandingkan Pasal 103 ayat (4) huruf e dengan Pasal 98 pada PP yang sama. Pasal 98 menegaskan pentingnya pelaksanaan upaya kesehatan reproduksi dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.
Di sisi lain, Pasal 103 ayat (4) huruf e membuka akses bagi penyediaan alat kontrasepsi, yang secara implisit dapat diterjemahkan sebagai legalisasi akses kontrasepsi bagi remaja, termasuk yang belum menikah. Ambiguitas ini tidak hanya berpotensi merusak moralitas dan nilai-nilai sosial, tetapi juga membuka jalan bagi perilaku reproduksi yang tidak terkendali di kalangan remaja.
Pernyataan menteri kesehatan dan juru bicara Kementerian Kesehatan yang bertujuan untuk memperjelas regulasi justru menambah kebingungan. Dalam pernyataan tersebut, mereka menggunakan istilah “remaja yang sudah menikah”, jika disingkat menjadi “remaja menikah”.
Penggunaan istilah ini, meskipun tidak tercantum secara eksplisit dalam PP No. 28/2024, berpotensi bertentangan dengan ketetapan UU Perkawinan No. 16 tahun 2019, yang menetapkan batas usia minimal menikah bagi pria dan wanita adalah 19 tahun.
Baca juga : Perubahan Kurikulum Sebuah Keniscayaan
Dengan kata lain, remaja yang belum genap berusia 19 tahun belum diperbolehkan untuk menikah. Dengan penggunaan istilah tersebut, secara tidak langsung mendorong peningkatan perkawinan dini di kalangan anak dan remaja, yang seharusnya dilindungi oleh UU Perkawinan.
Ketidakkonsistenan regulasi ini juga terlihat dalam bagaimana regulasi ini dapat bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 tahun 2014, yang secara tegas mengamanatkan perlindungan penuh terhadap anak dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.
Penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja tanpa mekanisme pengawasan yang ketat dapat dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap kewajiban negara untuk melindungi remaja dari risiko perilaku yang merugikan.
Hal ini juga tidak sejalan dengan UU Perkawinan No. 16 tahun 2019, yang mengatur batas usia minimal untuk menikah, yang secara tidak langsung dilanggar oleh interpretasi yang memperbolehkan penyediaan kontrasepsi untuk remaja yang belum mencapai usia minimal tersebut.
Solusi
Untuk mengatasi permasalahan ini, penulis mengusulkan beberapa solusi realistis yang lebih pro-remaja dan berorientasi pada perlindungan mereka. Pertama, peninjauan dan revisi regulasi. Pemerintah perlu segera meninjau ulang Pasal 103 ayat (4) huruf e dalam PP No. 28/2024.
Revisi harus dilakukan untuk menghapus atau memperjelas ketentuan ini agar tidak membuka celah bagi penyalahgunaan dan interpretasi yang merugikan. Misalnya, ketentuan tentang penyediaan alat kontrasepsi sebaiknya dibatasi hanya untuk kelompok usia yang benar-benar membutuhkan dan telah mendapatkan edukasi yang memadai mengenai kesehatan reproduksi.
Kedua, pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif. Sebagai alternatif yang lebih aman, pemerintah perlu mengintensifkan program pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah-sekolah. Program ini harus mencakup pendidikan tentang nilai-nilai moral, agama, serta resiko dan konsekuensi dari perilaku reproduksi yang tidak aman.
Pendidikan ini harus diberikan secara komprehensif, dengan melibatkan komite sekolah, orang tua, tenaga-tenaga profesional, dan komunitas, sehingga remaja mendapatkan pemahaman yang benar tentang kesehatan reproduksi.
Ketiga, pengawasan ketat dan pendekatan preventif. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap upaya untuk menyediakan alat kontrasepsi bagi orang mudah yang menikah dini dilakukan dengan pengawasan ketat dan berdasarkan kebutuhan medis yang jelas.
Baca juga : Dunia Mengutuk Keras Serangan Israel Ke Sekolah di Gaza yang Menewaskan Warga Sipil
Penyediaan alat kontrasepsi harus dikaitkan dengan program konseling yang bertujuan untuk mencegah perilaku berisiko, bukan sebaliknya membuka akses tanpa batas yang dapat disalahgunakan.
Keempat, sinergi antara regulasi dan implementasi. Regulasi yang diterbitkan harus sinkron dengan implementasi di lapangan. Penulis mengusulkan adanya pedoman pelaksanaan yang jelas dan terperinci, yang mencakup mekanisme pengawasan dan evaluasi secara berkala.
Ini penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar sesuai dengan tujuan perlindungan remaja dan tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan.
Refleksi mendalam penulis, mungkin juga refleksi banyak praktisi pendidikan adalah apakah tujuan sebenarnya dari PP No. 28 Tahun 2024, secara khusus pasal 103 ayat 4? Apakah regulasi ini sungguh-sungguh ingin melindungi remaja atau justru menjerumuskan mereka ke dalam situasi yang semakin kompleks dan membingungkan?
Dengan menyajikan alat kontrasepsi di depan mereka tanpa penjelasan yang memadai, kita seolah-olah mengatakan bahwa keselamatan reproduksi bisa diatasi dengan pil atau alat kontrasepsi, sambil mengabaikan dampak jangka panjang dari perilaku yang diizinkan oleh ketidakjelasan regulasi.
Di balik tirai upaya perlindungan, regulasi ini berpotensi menjadi bumerang yang membuka pintu bagi kebebasan yang tidak terarah dan praktik yang justru mengancam masa depan remaja. Bukankah seharusnya regulasi bertindak sebagai pemandu jalan yang jelas, bukan sebagai perangkap yang membingungkan?
Jika kita tidak segera meninjau ulang kebijakan ini dengan lebih kritis, penulis khawatir bahwa generasi muda kita akan menjadi korban dari eksperimen regulasi yang gagal, di mana niat baik terselip di antara paragraf-paragraf yang tak terstruktur dan kontradiktif.
Sungguh ironis jika upaya melindungi remaja justru menjadi langkah mundur dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendidik bagi mereka. Seperti kata pepatah, “Jalan ke neraka itu sering kali diaspal dengan niat baik,” dan tampaknya, PP No. 28/2024 sedang menyiapkan jalurnya.
Penulis Adalah Dosen Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma – Yogyakarta
Foto: Media Indonesia