Perubahan Kurikulum Sebuah Keniscayaan

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depopedu.com-Pro dan kontra tentang perubahan kurikulum sebagai bagian kebijakan pendidikan nasional bidang pendidikan akan terus terjadi sepanjang masa. Perubahan kurikulum sebagai kebijakan pendidikan adalah domain pemerintah. Pertanyaan: siapa itu „pemerintah“?

Diskusi tentang siapa yang menentukan perubahan kurikulum memunculkan dua aktor utama: statutory and non-statutory bodies. Secara sederhana, statutory bodies adalah lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh undang-undang.

Non-statutory bodies adalah lembaga yang tidak dibentuk oleh undang-undang. Anda bisa mengidentifikasi sendiri berbagai lembaga yang ada di masyarakat, baik yang berurusan dengan bidang pendidikan maupun dengan bidang-bidang lain di luar pendidikan tetapi sangat berkepentingan dengan arah dasar kebijakan pendidikan nasional.

Dalam teori kurikulum, kedua kelompok lembaga ini sama-sama memberi kontribusi bagi rancang bangun sebuah kurikulum pendidikan. Suara semua stakeholders didengar. Lalu di mana letak persoalan ketika terjadi perubahan kurikulum dan semua pihak memberi suara pro dan kontra?

Ada dua kubu berseberangan masing-masing dengan paradigma kurikulum pendidikan yang berbeda. Kubu pertama, kita sebut sebagai kubu konservatif, muncul dengan pandangan ortodoks bahwa pendidikan memiliki standar, dan bahwa standar itu ditentukan oleh model pendidikan di masa lampau yang diklaim sebagai “berhasil membentuk manusia-manusia“ cerdas, beradab dan saleh. Oleh karena itu pendidikan disebut sebagai formation process (proses pembentukan).

“Format” manusia yang hendak dibentuk itu ada dalam imajinasi orang-orang dewasa dengan merujuk pada sejarah dan pengalaman empiris mereka di masa lampau. Maka kiblat kurikulum dan pendidikan pada umumnya juga kembali ke model masa lampau.

Baca juga : Dunia Mengutuk Keras Serangan Israel Ke Sekolah di Gaza yang Menewaskan Warga Sipil

Kritik terhadap model dan kiblat pendidikan ini bahkan sudah disuarakan oleh teolog dan pakar pendidikan sekelas Erasmus von Rotterdam di awal abad 16: bahwa sekolah menjejali anak-anak dengan beban pengetahuan yang dicita-citakan oleh orang dewasa tetapi kadaluarsa dan tidak relevan dengan tuntutan kebutuhan untuk siap hidup bagi anak-anak didik sesuai zaman mereka.

Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka mencoba merambah ke masa depan anak-anak hari ini, ke dalam abad 21, dengan memberi ruang otonomi yang lebih luas bagi sekolah dan anak didik untuk bereksperimen.

Sesuai dengan filosofi pragmatisme John Dewey yang mendasari konsep learning by experience, sekolah dan masyarakat harus terus bereksperimen, melakukan berbagai inovasi pendidikan sesuai perubahan zaman dan tuntutan kemajuan, seperti di penguasaan bidang ICT untuk mendukung keberlanjutan dunia industri abad 21.

Karakter kurikulum memang jadi sangat pragmatis, tetapi tidak ada alternatif lain karena dunia terus berubah dan dunia pendidikan harus mempersiapkan sebuah generasi yang siap dan mampu berubah, generasi yang akan hidup sesuai dengan tuntutan zaman mereka, bukan idealisme masa lampau kakek nenek mereka.

Lalu di mana letak persoalannya?

Perubahan kurikulum itu urusan “proyek” yang melibatkan tidak saja orang-orang di balitbang dan pusat kurikulum, direktorat dan kementerian, tetapi juga para juragan dan makelar pengadaan buku paket.

Oleh karena itu, walau kurikulum yang lama belum mengalami proses diseminasi hingga tuntas, belum bisa diukur efektivitasnya, buku paket lama masih tersimpan utuh di gudang buku kantor wilayah provinsi dan kabupaten karena tidak ada dana penyaluran ke sekolah – perubahan tetap berjalan.

Baca juga : Puluhan Siswa SMP di Pangandaran Jawa Barat Belum Lancar Membaca?

Keluhan orang tua murid: kalau kurikulum berubah terus, buku paket yang lama milik kakak tidak bisa diwariskan untuk dipakai oleh adik-adik mereka. Harus beli buku baru.

Di sinilah ruang bermain para mafia pengadaan buku paket. Buku paket yang lama tidak harus dibuang. Bisa masuk ke perpustakaan di sekolah atau di rumah sebagai bahan referensi.

Guru dan sekolah yang kreatif hanya perlu menyusun buku komplementer berisi hal-hal baru yang dituntut kurikulum baru tetapi tidak ada dalam buku paket lama.

“Tetapi guru suruh kami beli buku baru, Pak,“ kata orang tua. Anda tahu, urusan pengadaan buku paket baru, pakaian seragam baru adalah ruang lobby antara komite sekolah, wali murid, guru kelas dan pimpinan sekolah. Bunyinya bisnis!

Urusan bisnis pendidikan ini berjenjang: bisnis pelatihan guru, asesmen, sertifikasi, penyediaan berbagai software untuk administrasi, penyusunan RPP hingga pembuatan laporan pendidikan secara online.

Siapa yang peduli pada peningkatan kualitas belajar dan mengajar di kelas? Pengadaan sarana penunjang pembelajaran di kelas? Melibatkan dan mendengar suara komunitas pendidikan? Wallahu a’lam.

Foto: NNC Netralnews

Tulisan ini pernah tayang di eposdigi.com, ditayangkan kembali dengan seizin penulis. 

5 1 vote
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments