Depoedu.com-Kasus kekerasan seksual menjadi tema sentral bersamaan dengan menguatnya pandemi covid-19. Teranyar, terjadi kasus kekerasan seksual terhadap anak di Lampung. Sebanyak 14 siswa di Kabupaten Pesisir Barat, diduga menjadi korban pencabulan yang dilakukan oleh guru sekolahnya berinisial BH (39).
Berdasarkan penyidikan sementara, BH memulai perbuatan itu sejak Maret 2020. Modus BH ialah dengan menawari siswi untuk menjadi anggota pasukan pengibar bendera. Dalam sejumlah aksinya, pelaku melakukan pelecehan seksual dengan kedok melakukan pemeriksaan fisik kepada siswa.
Modusnya dengan memanggil siswi untuk datang ke ruang perpustakaan sekolah yang sepi. Di sana, pelaku lalu mencabuli korbannya. Ia juga megancam akan memberikan nilai buruk kepada korban jika berani melaporkan perbuatannya.
Selain di sekolah, pelaku juga melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah anak di sekitar tempat tinggalnya. Mereka yang menjadi korban kekerasan seksual ialah anak-anak yang sehari-hari belajar dengan pelaku (Kompas,13/01/2022).
Jika kita telusuri lebih jauh, banyak pelaku kekerasan seksual di Indonesia yang berasal dari kelompok atau kalangan pendidik. Masih segar dalam ingatan kita perihal kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh HW (36) terhadap belasan santri di salah satu pondok pesantren di Kota Bandung.
Apa yang dilakukan oleh dua pelaku dalam kasus tersebut setidaknya menambah catatan buruk dalam lembaran (pendidikan) di Indonesia. Pendidik yang sejatinya memainkan peran penting dalam mendidik anak bangsa, justru dengan sengaja, sadar dan terang-benderang melakukan tindakan kekerasan seksual.
Baca Juga : Mengenal 10 PTS Indonesia Terbaik 2022 Versi Webometrics
Bahkan lebih menyedihkan lagi tatkala (nilai akademik) dijadikan sebagai modal dalam merangsang sekaligus menarik perhatian para peserta didiknya. Modusnya jelas. Jika kalian ingin mendapatkan nilai tinggi, maka berikan “pelayanan” terbaik kepada gurunya.
Jual Status
Status yang melekat dalam diri seseorang kerapkali dijadikan “alat” untuk kepentingan memuluskan dan melegalkan segala cara. Bahkan status itu sendiri secara sadar dan sengaja “dijual” kepada orang lain. Menariknya, di sana tak ada tawar-menawar seperti halnya hukum pasar.
Hanya ada “laku terjual”. Status “dijual” pasti siap dan harus “dibeli”. Setidaknya inilah analogi singkat untuk melukiskan kondisi terkini perihal para pendidik yang menggadaikan statusnya untuk kepentingan yang tak bermoral.
Iming-iming mendapatkan nilai akademik yang bagus, naik kelas, hingga daya tarik lainnya begitu laku di pasaran para peserta didik. Mirisnya lagi, rayuan tersebut disertakan dengan paksaan dan ancaman yang sangat serius.
Mulai dari ancaman tidak naik kelas, remedial, hingga pembunuhan, jika sewaktu-waktu perbuatan yang tak bermoral tersebut dengan sengaja diungkapkan ke publik. Tentu tak sedikit anak bangsa yang tertunduk patuh pada ancaman tersebut.
Tak hanya takut pada ragam ancamannya, tetapi juga pada “status” orang yang mengancam. Sungguh buram potret jalinan sosial pertemanan kita per hari ini. Sampai kapan kita bertekuk lutut pada situasi saling mengancam?
Tak Perlu Takut
Hingga saat ini, Negara memang masih “adem-adem” saja merespon persoalan kekerasan seksual. Meskipun eskalasi kasusnya terus bertambah dan korban semakin banyak, tetapi pemerintah dan para legislator memilih diam dan enggan untuk mengesahkan RUU PKS menjadi UU PKS.
Baca Juga : Mengapa Perempuan Perlu Dilindungi Dari Kasus Kekerasan Seksual?
Penulis sendiri belum mengerti dan memahami secara penuh kira-kira apa argumen yang mendasari mereka sampai saat ini tidak mengesahkan UU PKS. Hanya mereka yang tahu.
Dalam situasi yang kian tidak menentu dan selalu terombang-ambing bersama dengan kebijakan yang tak jelas dan tak merakyat, maka satu-satunya pilihan adalah keberanian untuk berkata dan bertindak “tidak takut”.
Para peserta didik yang selama ini seringkali menjadi “objek” pemuas kebutuhan dari “pendidik”, perlahan dan dengan penuh kesadaran untuk berani melawannya. Bentuk perlawanan yang paling nyata adalah dengan tidak terbuai dalam rayuan “akademik”.
Karena bagaimana pun, tubuh tak bisa digadai hanya untuk memuluskan dan melapangkan jalan guna meraih nilai sempurna. Angka 100 akan datang bersamaan dengan laku diri kita yang kritis dan penuh keberanian mengungkapkan kebobrokan serta berbagai bentuk ancaman/ intimidasi pada diri kita.
Ke depannya, moralitas itu sendiri adalah milik semua orang. Moral itu sendiri, kita yang menjaganya. Tak perlu menaruh harapan terlampau tinggi kepada mereka yang katanya dinobatkan sebagai penjaga moral.
Karena secara bersamaan, mereka akan memanfaatkan jabatan untuk memproduksi kekerasan. Mari jaga diri kita masing-masing.
Penulis adalah penulis Buku Dialektika Ruang Publik, Pertarungan Gagasan
Foto:hellosehat.com
[…] Baca Juga : Penjaga Moral Tak Bermoral […]