Dialektika di Ruang Virtual

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Sudah satu tahun lebih kita menikmati “normalitas baru” dengan berbagai macam aturan dan pranata sosial yang baru. Hal kecil dan sederhana tetapi selalu menjadi pengingat bagi kita, misalnya menjaga jarak, mencuci tangan dan memakai masker.

Perilaku ini seakan menjadi habitus yang sifatnya wajib untuk ditaati. Ada konsekuensi logis tatkala kita mencoba untuk menerobos pranata sosial baru tersebut. Cerita pandemi covid-19 adalah cerita yang tak pernah berakhir, sembari kita terus berharap agar secepatnya bisa pulih dan pola interaksi dan hidup bersosial kita kembali menjadi seperti biasanya.

Baca Juga: Kebijakan Pendidikan Yang Berbasis Kebijaksanaan

Begitu banyak perubahan perilaku pada tubuh (sosial, ekonomi, politik, pendidikan, agama, budaya) akibat pandemi covid-19. Tulisan berikut merupakan upaya untuk membaca situasi baru terutama perjumpaan secara virtual antara pendidik dan peserta didik pada ruang baru yang disebut dengan ruang virtual.

Bagaimana keduanya membangun pola komunikasi yang efektif, yang tidak memberikan kebosanan tatkala sentuhan fisik, aroma tubuh hingga tingkah lucu yang mengundang aneka respon harus dimediasi oleh teknologi.

Ruang Virtual

Setahun sudah ruang kelas (fisik) sudah digantikan oleh ruang virtual melalui beragam aplikasi (zoom, google classroom, teams, dll). Percakapan antara guru dan peserta didik, mulai dari salam pembuka hingga salam penutup terpaksa dilakukan secara virtual.

Pada ruang virtual ini, guru dan peserta didik secara bersama-sama mengemban misi dan tanggung jawab untuk saling mengingatkan. Seorang guru mengingatkan para siswanya untuk senantiasa mengaktifkan camera, bertanya dan menjawab serta berbagai percakapan lainnya.

Begitu juga sebaliknya, para siswa juga begitu aktif dan reaktif termasuk mengingatkan gurunya apabila terlambat bergabung di ruang virtual.

Perjumpaan pada ruang virtual yang dimediasi oleh berbagai macam aplikasi yang tersedia memberikan konfirmasi yang jelas kepada kita tentang perkembangan pengetahuan manusia dalam memproduksi dan mengkonsumi teknologi.

Daya kognitif manusia menghantarkannya untuk mendesain dan mengembangkan kreativitas untuk bisa menghasilkan sebuah produk yang pada waktunya memberikan asas kemanfaatan bagi semua orang.

Baca Juga: Bermasker Dan Normalitas Baru

Penulis sendiri begitu terkesima mendengar curahan hati baik dari para guru maupun juga para siswa ketika proses pembelajaran dilakukan secara virtual. Seorang guru pernah menceritakan pengalaman perasaan “sakit hatinya” tatkala peserta didik yang diajarnya tidak mengindahkan instruksi saat pelajaran berlangsung.

Ia meminta agar seluruh peserta didik mengaktifkan camera dan wajib memberikan respon ketika ada pertanyaan. Nyatanya para siswa kompak tidak mengaktifkan camera. Sesekali justru terdengar suara musik dan juga bunyi “game” dibalik layar virtual tersebut.

Teman guru ini berulangkali untuk mengingatkannya tetapi tak ada respon yan didapatnya. Ini secuil cerita yang dialami oleh satu dari sekian juta guru di Nusantara yang sedang menikmati “suka-duka” berselancar bersama para siswanya di ruang virtual.

Tak hanya guru, para siswa juga mengungkapkan keresahan hati tatkala harus menerima penjelasan mata pelajaran seperti Matematika, Fisika dan lain sebagainya secara virtual.

Belum lagi tumpukan tugas yang tak berkesudahan. Ada tetesan air mata, entah itu air mata “kesedihan” akibat pandemi yang tak kunjung berlalu ataukah air mata “kepedihan” akibat terlampau lama menatap layar laptop dan gawai. Pada intinya, para siswa di Nusantara juga sedang menikmati “suka-duka” pada ruang virtual.

Kreativitas vs Kebosanan

Sosiolog Albert O. Hirschman dalam sebuah karyanya menulis demikian: penyebab manusia berubah adalah karena rasa bosan (kebosanan). Kebosanan adalah sesuatu yang sifatnya duniawi.

Pada situasi dan titik tertentu, manusia akan merasa bosan. Kebosanan tersebut pula yang menghantarkan manusia pada upaya untuk menemukan sesuatu yang baru, yang bisa mengatasi kebosanan tersebut.

Harus diakui bahwa pandemi covid-19 telah membuat publik menjadi bosan karena harus berhadapan dengan situasi dan kondisi yang sama. Guru dan juga peserta didik tentu berada pada fase kebosanan yang sama.

Frustrasi adalah suatu kondisi real yang banyak dialami baik oleh guru maupun peserta didik itu sendiri. Dalam kenyataan seperti inilah, baik guru maupun peserta didik, secara kolaboratif membangun iklim kreativitas dan inovatif yang bisa menghasilkan model dialog dan metode pembelajaran yang menyenangkan.

Kerja kreativitas dan inovasi ini tidak bisa hanya melibatkan salah satu pihak saja misalnya hanya guru atau hanya peserta didik saja. Tetapi keduanya harus bersinergi.

Baca Juga: Formal Setengah Normal

Selain daya kreativitas dan inovatif, pola dialektika dan dialog pada ruang virtual tak bisa absen dari etika dan moralitas berkomunikasi. Meskipun perjumpaan dimediasi oleh teknologi/ gawai, tetapi tidak bisa kemudian mereduksi nilai-nilai etika sebagai panduan moral dalam berinteraksi.

Guru dan peserta didik terus-menerus mengasah karakter untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai kemanusiaan (humanis) sebagai salah satu tujuan dari pendidikan itu sendiri.

Dialektika juga tak cukup dibangun atas wadah etika dan moralitas, melainkan juga harus dihidupkan sebagai tanda nyata kelahiran insan-insan yang kritis dan selalu haus akan pengetahuan.

Para siswa dan juga guru terus aktif dan reaktif dalam merespon setiap perubahan. Akhirnya, terus berdialektika meskipun pada ruang virtual. Karena di sanalah letak kecerdasan, kebijaksanaan dan kebajikan seseorang akan diuji.

Selamat berdialektika pada ruang virtual, sembari terus berharap agar pandemi segera berlalu, sehingga ruang kelas (fisik) di sekolah segera diramaikan oleh suara-suara anak bangsa yang sedang meniti karir menjemput masa depan yang cerah dan cemerlang.

Penulis adalah Alumni Sosiologi Universitas Atma Jaya Jogjakarta

0 0 votes
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments