Depoedu.com – Mengejutkan. Katadata.co.id (11.09.2020) yang mengutip bbc.com, menyebutkan bahwa dalam hanya 6 bulan pertama selama tahun 2020 ini, terdapat permohonan dispensasi pernikahan di bawah usia 19 tahun sebanyak 34.000.
Angka ini melonjak jauh jika dibandingkan dengan jumlah permohonan yang sama di sepanjang tahun 2019, yang ‘’hanya”sebesar 23.700.
Masih dari katadata.co.id, berdasarkan penelitian pada tahun 2018, ada lebih dari 1 juta perempuan berusia 20 – 24 tahun telah menikah pada usia 18 tahun. Tepatnya ada 1.184.100, dan jumlah terbesar ada di pulau Jawa yaitu sebanyak 668.900 kasus.
Ayo Baca Juga: Lebih Mengenal Remaja melalui Beberapa Kasus
Bahkan kompas.com (27.07.2020) menyebutkan bahwa ada 20 propinsi di Indonesia yang memiliki kasus pernikahan anak lebih tinggi dari rata-rata nasional. Lebih mengejutkan kasus pernikahan usia anak kebanyakan terjadi di pedesaan.
Jika mau ditelusuri lebih jauh, ada tiga persoalan dasar yang mengakibatkan masih tingginya angka pernikahan anak di Indonesia.
Pertama, Kemiskinan. Persoalan kemiskinan masih merupakan faktor yang dominan penyebab pernikahan dini di masyarakat.
Perempuan masih dianggap sebagai beban oleh banyak keluarga miskin, sehingga semakin cepat anak perempuan dinikahkan, semakin berkurang beban yang ditanggung keluarga tersebut.
Kedua, adat istiadat dan agama. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Puspayoga seperti dikutip kompas.com (72.07.2020) menungkapkan bahwa masyarakat masih menerima perkawinan anak sebagai bagian dari tradisi atau keyakinan agama.
Ayo Baca Juga: Kasus Live Show Remaja Tuban dan Krisis Lembaga Pendidikan Kita
Menteri PPPA Bintang Puspayoga mencontohkan praktek perkawinan anak di Sulawesi Selatan. Di sana, perempuan yang terlambat menikah dikatakan sebagai perawan tua, padahal usia mereka bahkan belum genap 18 tahun.
Ketiga, Pendidikan. Minimnya pendidikan terutama tentang kesehatan reproduksi serta psikologi perkembangan anak mengakibatkan masih banyaknya kasus pernikahan dini di Indonesia.
Baik pasangan yang menikah maupun orang tua belum sepenuhnya tahu akan resiko perkawinan usia dini bagi kesehatan reproduksi maupun psikologis.
Walaupun Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mensyaratkan batas bawah usia pasangan menikah adalah 19 tahun namun Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) mengkampanyekan batas bawah usia ideal yang berbeda untuk menikah.
Untuk alasan kesehatan, baik fisik maupun mental, BKKBN mengkampanyekan usia aman pasangan menikah adalah 21 tahun untuk perempuan sedangkan untuk laki-laki minimal berusia 25 tahun.
Perkawinan pada usia dini memiliki resiko yang sangat kompleks. Tidak hanya dari sisi kesehatan, terlebih berdampak buruk pada psikologis kedua pasangan dan juga dapat berpengaruh buruk pada persoalan sosial kemasyarakatan.
Ayo Baca Juga: Peringatan Untuk Para Orang Tua, Remajamu Bukan Komoditi
Perkawinan di bawah usia 21 tahun mengakibatkan persoalan kesehatan serius terutama pada perempuan. Organ reproduksi perempuan belum matang sebelum usia 21 tahun.
Perempuan yang sudah melakukan aktivitas seksual sebelum usia 21 tahun rentan terserang kangker serviks dan kangker payudara. Akibat belum matangnya organ reproduksi, kehamilan pada usia dini beresiko pada terhambatnya tumbuh kembang anak.
Tingkat kelahiran prematur, lahir dengan berat badan rendah serta memiliki cacat bawaan lahir hingga resiko kematian janin dan ibu paska melahirkan.
Pasangan yang menikah sebelum laki-laki berusia 25 tahun dan perempuan berusia 21 tahun juga memiliki dampak negatif terhadap kesehatan mental. Belum matangnya psikologis pasangan beresiko terhadap tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga angka perceraian yang tinggi.
Pasangan yang belum matang secara psikologis akan mempengaruhi tumbuh kembang anak. Secara fisik maupun mental.
Ayo Baca Juga: Apa yang Dilakukan oleh Ayah Termuda di Dunia Ini Ketika Anaknya Diakui oleh Laki-laki lain?
Pernikahan usia dini juga menghambat pendidikan kedua pasangan. Tidak hanya itu, persoalan ini juga memicu tingginya pekerja anak. Sebab untuk menghidupi keluarga, pasangan usia muda ini harus bekerja.
Dengan tingkat pendidikan yang seadanya, sementara kebutuhan akan penghasilan dari pekerjaan yang tidak bisa ditunda, bisa mengakibatkan eksploitasi pada mereka.
Keluarga sebagai dasar terbentuknya masyarakat yang mengalami berbagai persoalan karena pernikahan usia dini akan berpengaruh terhadap masyarakat secara umum.
Tentu kita tidak bisa berharap banyak jika masyarakat kita banyak diisi oleh rumah tangga – rumah tangga yang memiliki banyak persoalan karena pernikahan dini.
Oleh karena itu, momen perayaan Hari Anak Sedunia pada pada 20 November setiap tahun, menghapus pernikahan usia dini harus menjadi komitmen bersama.
Di mulai dari pendidikan. Kurikulum tentang pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi harus menjadi kurikulum wajib sesuai porsi pada setiap tingkatan pendidikan formal.
Dengan pendidikan yang baik, diikuti oleh masyarakat luas memiliki komitmen menghilangkan kasus pernikahan dini maka perlahan namun pasti kita bisa menghapus kasus pernikahan dini berkedok tradisi adat dan agama.
Ayo Baca Juga: Bagaimana Menjadi Orang Tua yang Sabar Untuk Anak?
Selain lembaga pendidikan formal, penghapusan pernikahan usia dini juga harus menjadi komitmen lembaga-lembaga keagamaan, organisasi kepemerintahan dan LSM. Jika menjadi gerakan bersama maka niscahya kita akan segera menuju titik nol angka pernikahan usia dini.
Setelah pendidikan, penegakan aturan yang tegas terutama oleh pemerintah. Moratorium pemberian kompensasi pernikahan usia dini bisa menekan angka pernikahan usia dini. Bagi yang melanggar perlu ada sangsi social dan hukum yang tegas.
Namun tanpa kesadaran dari Anda dan saya, baik sebagai masing-masing pribadi maupun menjadi gerakan bersama untuk menghapus pernikahan usia anak, maka cita-cita membentuk tatanan masyarakat tanpa pernikahan usia dini masih membentang jauh.
Selamat merayakan Hari Anak Sedunia. Mari bersama-sama Hapus Pernikahan Usia Anak.
Artikel ini sebelumnya tayang di eposdigi.com dengan judul “Mengejutkan, Membaca Data Pernikahan Anak Di Indonesia”/ Foto: ANTARA