Depoedu.com – Hidup selalu dipenuhi dengan kebutuhan-kebutuhan. Proses pemenuhan kebutuhan inilah yang akan mendorong manusia untuk terus tumbuh dan berkembang, hingga mencapai pada tahap puncak, yakni aktualisasi diri. Ketika kebutuhan-kebutuhan dalam hidup tidak terpenuhi, kita tentu akan mengalami hambatan dalam perkembangan untuk menuju pada proses aktualisasi diri.
Menurut Abraham Maslow, kita mempunyai lima kebutuhan dalam hidup. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah kebutuhan fisiologi yang merupakan kebutuhan paling dasar, (makanan, minuman, pakaian, tidur, dll), kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan cinta atau kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Kelima hal ini selalu kita butuhkan dalam kehidupan sehari-sehari.
Kebutuhan di tahap selanjutnya tidak akan terpenuhi ketika, kebutuhan sebelumnya tidak terpenuhi. Dengan kata lain bahwa untuk bisa memenuhi kebutuhan akan rasa aman, seseorang perlu memenuhi terlebih dahulu kebutuhan fisiologi.
Rasa lapar dan kantuk yang tidak terpenuhi akan memunculkan kecemasan pada diri kita masing-masing. Kita akan merasa lebih baik, merasa lebih tenang ketika rasa lapar dan haus ini sudah terpenuhi kebutuhannya.
Kebutuhan yang lain pun demikian. Kebutuhan akan cinta dan kasih sayang akan terpenuhi ketika seseorang sudah memenuhi kebutuhan akan rasa aman. Artinya ketika seseorang belum selesai atau berdamai dengan dirinya (dengan masalah-masalah yang ada dalam hidupnya), ia akan sulit untuk mendapatkan atau merasakan yang namanya cinta atau kasih sayang.
Baca Juga: Berdamai Dengan Memeluk Perubahan
Begitupun pemenuhan kebutuhan selanjutnya, sehingga terdapat kelekatan hubungan antara kebutuhan yang satu dengan kebutuhan yang lainnya.
Masing-masing kita dalam berelasi dengan orang lain, terkadang kita hanya diukur sejauh batas keberfungsian kita masing-masing. Ketika kita tidak berfungsi dengan baik dalam memenuhi sesuatu, atau apa yang diharapkan orang lain terhadap diri kita, tentu hal ini akan turut berpengaruh terhadap kondisi psikis dan perilaku kita sehari-hari.
Sesuai dengan judul yang ada, tulisan ini mencoba membidik sebab mengapa dalam dunia pendidikan, anak-anak atau para siswa lebih cenderung menekankan pada metode menghafal ketimbang memahami. Belajar seolah-seolah hanya berakhir dalam ruang ujian dan target yang dikejar hanya berupa akumulasi angka.
Baca Juga: Paradoks Harapan; Harapan Itu Bisa Menghidupkan Dan Bisa Menghancurkan
Ketika keluar dari ruang ujian, atau menjelang beberapa minggu setelah ujian, materi-materi yang kiranya sudah dipelajari menjadi seperti bayangan. Samar-samar dalam ingatan atau bahkan luput secara total.
Anak-anak akan dipuji, akan diberi perhatian lebih dan sangat dihargai ketika ia memenuhi atau bahkan melampaui target (nilai). Tentu hal ini sangat berkaitan dalam pemenuhan kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan cinta dan kebutuhan akan penghargaan.
Anak-anak mendapatkan ketiga kebutuhan tersebut lewat prestasi yang diperoleh. Anak akan merasa bahagia dan rasa percaya dirinya akan semakin meningkat karena mendapatkan pengakuan dari lingkungan. Hal ini tentu akan meningkatkan self esteem anak.
Baca Juga: Depoedu.Com, “Jembatan” Bagi Penulis Dan Pembaca
Jika situasi tersebut dibalik, yang mana ketika anak tidak mendapatkan prestasi atau tidak dapat memenuhi tuntunan nilai yang ada, anak seolah-olah akan dikucilkan, dikatakan bodoh dan terus dibandingkan dengan prestasi yang diraih oleh anggota keluarganya, atau teman-temannya yang ada di sekolah.
Kondisi seperti ini membuat anak tidak mendapatkan rasa aman, cinta dan penghargaan. Sehingga dalam pemenuhan ketiga kebutuhan tersebut, anak akan melakukan berbagai cara untuk bisa memenuhinya, salah satu di antaranya adalah dengan “menghafal”.
Anak-anak akan cenderung mengejar tuntutan-tuntutan yang ada, agar bisa menyandang predikat sebagi anak yang pintar dan berprestasi, karena dengan demikian ia akan mendapatkan perlakuan yang baik dari lingkungan. Anak akan merasa aman, merasa dicintai dan dihargai.
Baca Juga: Diam Dan Dengarkan; Dahsyatnya Pemahaman Dan Penerimaan Dalam Berkomunikasi
Oleh karena itu, janganlah kita heran kalau anak-anak hanya belajar untuk menghafal ayat-ayat dalam pelajaran agama ketimbang belajar membenahi karakternya. Anak lebih cenderung menghafal pengetahuan sejarah ketimbang belajar memaknai apa yang terjadi di masa lalu.
Anak-anak akan cenderung menghafal rumus matematika ketimbang belajar bagaimana merumuskan pikiran yang logis dan mendalam dalam menganalisis sesuatu. Hal ini merupakan realita yang tidak bisa ditepis dalam iklim pendidikan saat ini. Suram dan gelap, sehingga sulit mendapatkan cahaya sebagai pengetahuan untuk mengaplikasikan dan memaknai segala proses yang ada dalam kehidupan.
Perilaku anak dalam menerapkan metode belajar mengahafal ini jelas dipengaruhi lingkungan. Bagaimana merespons keberhasilan dan kegagalan yang dialami oleh anak-anak, termasuk orang tua.
Baca Juga: Kekuatan Kata Kata; Anda Bisa Membunuh Anak Anda Dengan Lidah Anda
Anak-anak perlu diberi dukungan, perlu dibuat nyaman, dan perlu diapresiasi walaupun belum memenuhi tuntutan nilai yang ada dalam pendidikan saat ini. Sehingga proses belajar anak terus mengalir apa adanya, tanpa mengalami tekanan atau tuntuan.
Satu hal yang tidak kalah penting adalah peran dari guru. Tidak hanya orang tua, guru juga perlu adil dalam memberi perlakuan terhadap anak-anak di sekolah. Guru perlu merata dalam memberi perhatian terhadap anak, baik itu terhadap anak yang mampu menganalisis dan mengerjakan soal dengan baik maupun terhadap terhadap anak yang belum mampu.
Hal ini sederhana, namun realita sekarang terlihat berbeda dalam ikim pendidikan. Tidak sedikit guru yang memberi perhatian lebih kepada anak-anak yang dikatakan pintar ketimbang anak-anak yang kurang mampu dalam memenuhi tuntutan akademik.
Saya masih bertanya-tanya, apakah perilaku guru seperti ini hanya dikarenakan ada sesuatu yang lain, katakanlah untuk menyelamatkan ego guru. Artinya ketika memfokuskan kepada anak yang pintar, dan ketika anak ini berhasil mendapatkan nilai yang tinggi dalam ujian nasional, hal ini akan sangat membanggakan dirinya.
Padalah jika dilihat secara keseluruhan, anak-anak yang dididik olehnya lebih banyak mendapatakan nilai di bawah rata-rata. Jika hal ini terjadi demikian, patut dipertanyakan bahwa sebenarnya fokus mengajar guru lebih diarahkan kepada anak atau dirinya? Mungkin ini hanya asumsi sementara, saya akan membahasnya lebih jauh dalam tulisan yang lain.
Foto: 7catatankecil.blogspot.com