Kasus Live Show Remaja Tuban dan Krisis Lembaga Pendidikan Kita

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Publik dikagetkan oleh beredarnya video pasangan pelajar SMK di Tuban, seperti dilansir pada laman surya.co.id. Kejadian tersebut dibenarkan oleh pihak kepolisian Tuban. Terjadi di kamar kost oknum siswi berinisial C yang adalah pelajar pada SMK TJP. Ia berada di kamar tersebut bersama dua laki-laki berinisial E dan P. Keduanya berasal dari SMK yang sama.

Perbuatan mereka direkam dan disiarkan secara live kepada 4 rekan mereka, pelajar dari SMK Negeri Tuban. Keempat rekan mereka adalah perempuan. Dari 7 orang yang terlibat, 4 orang telah ditetapkan oleh polisi sebagai tersangka, atau anak yang berkonflik dengan hukum.

Gejala baru

Pelajar melakukan hubungan seks, direkam, kemudian beredar, bukanlah hal yang baru. Namun, pelajar melakukan hubungan seks, lalu merekam dan disiarkan secara live kepada teman perempuan mereka, merupakan gejala yang baru.

“Gejala baru” juga tampak dari kenyataan pada kasus ini telah menjadi aktivitas yang bersifat nonprivat, di-share secara sosial, oleh remaja di bawah umur, untuk menjadi konsumsi publik. Padahal semestinya, hubungan seks adalah kegiatan privat antara pria dan wanita berstatus pasangan sah.

Para remaja pelaku dalam kejadian ini, tidak hanya melanggar nilai moral dalam masyarakat, tetapi juga melanggar kaidah-kaidah hukum positif. Jika tindakan sharing video secara live ini, dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah sekalipun, tetap merupakan pelanggaran nilai moral dan pelanggaran hukum positif, karena hubungan seks merupakan aktivitas privat.

Pelanggaran nilai moral, apalagi pelanggaran hukum positif adalah bentuk penyimpangan sosial. Semua bentuk penyimpangan sosial pada gilirannya akan menginterupsi proses pertumbuhan pribadi remaja ke tingkat yang lebih baik.

Oleh karena itu, gejala ini harus dibaca dengan cermat, didalami secara bijak oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab. Siapakah pihak yang bertanggung jawab tersebut?

Pihak-pihak tersebut adalah orang dewasa yang mendapat tugas mendidik, baik secara domestik maupun secara publik. Mereka adalah orang tua, para guru, dan para pejabat publik yang menangani pendidikan anak dan remaja.

Pihak-pihak ini harus menelusuri akar masalahnya. Selanjutnya, mereka bertanggung jawab merancang agenda, tidak hanya untuk mengatasi masalah, tetapi terutama untuk membekali remaja dengan keterampilan mengatasi masalah.

Akar masalah

Tiga remaja melakukan hubungan seks, merekam, dan menyiarkannya secara live pada teman mereka di tempat lain, hanyalah gejala. Seringkali, ketika menghadapi sebuah kasus, alih-alih menyelesaikan masalah, kita hanya sibuk menangani gejala. Kita tidak menyentuh akar masalah. Oleh karena itu, penanganan kasus jauh dari upaya menyelesaikan masalah.

Pada kasus ini, pihak-pihak yang bertanggung jawab diharapkan serius menangani, dengan menelusuri akar masalah terlebih dahulu. Dengan demikian, dapat ditemukan solusi yang lebih tepat dan menyeluruh, tidak hanya menyentuh gejalanya saja.

Menurut hemat kami, berikut adalah akar masalah dari kasus ini. Pertama, remaja, baik sebagai individu maupun kelompok belum mapan memegang nilai-nilai hidup. Sementara, dengan penguasaan terhadap teknologi informasi, mereka mampu mengakses berbagai konten yang menawarkan aneka nilai moral baru yang berbeda dengan nilai moral yang dianut masyarakatnya. Mereka rentan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang mereka akses tersebut.

Dalam kasus ini, remaja masih labil dalam memegang nilai moral, pertimbangannya belum menyeluruh dan matang, karena keterbatasan pengalaman dan pengetahuan, mereka kemudian mudah melakukan hal yang bertentangan dengan nilai moral masyarakatnya.

Kedua, sedang terjadi krisis pada lembaga keluarga, sehingga lembaga penting ini tidak lagi dapat melakukan tugasnya dengan baik dalam pewarisan nilai-nilai moral. Saat ini banyak orang tua gagap dalam mendidik anaknya, baik dalam cara maupun dalam hal tawaran nilainya.

Dalam hal cara, banyak orang tua mendidik anaknya dengan cara yang mereka alami ketika remaja, dari orang tua mereka. Bagi remaja milenial, cara ini sudah ketinggalan zaman.

Dalam hal nilai, nilai yang ditawarkan orang tua pun dianggap telah ketinggalan zaman. Sementara, dengan penguasaan teknologi informasi, remaja dapat mengakses aneka nilai global yang ditawarkan melalui sajian yang lebih menarik, sehingga lebih memiliki daya internalisasi.

Ini membuat banyak orang tua kehilangan otonominya dalam mendidik anak mereka sendiri. Oleh karena itu, remaja lebih dibentuk oleh tokoh, yang mereka akses melalui media. Ini adalah krisis yang serius.

Ketiga, krisis yang lain juga sedang menimpa sekolah sebagai lembaga pendidikan. Sekolah tidak mampu melakukan transformasi dalam cara mendidik dan orientasi pendidikan, ketika dunia sekelilingnya mengalami perubahan. Padahal, perubahan dunia sekelilingnya tersebut mengubah peserta didik secara drastis.

Dalam hal cara mendidik, hingga kini, cara mengajar kita hanya berkutat pada kemampuan berpikir tingkat rendah menurut taksonomi Bloom. Itupun cenderung berada pada kategori paling rendah, yakni mengingat.

Dua kategori low order thinking skills (LOTS) lainnya, yakni memahami dan mengaplikasikan, jarang dicapai dalam pengajaran kita. Padahal, pencapaian LOTS menjadi landasan untuk memasuki ranah high order thinking skills (HOTS).

Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa remaja di Tuban yang kita bicarakan di awal tulisan ini, begitu mudah mengambil keputusan untuk melakukan tindakan keliru. Dalam hal ini, cara berpikir kritis yang berujung pada sikap bertanggung jawab, tidak terbentuk dengan baik di sekolah.

Dalam hal orientasi pendidikan pun, banyak sekolah kita tidak mengalami transformasi. Pendidikan dan pengajaran masih berkutat dan mandek pada penguasaan konten. Itupun berada pada ranah berpikir tingkat rendah. Padahal, dengan penguasaan remaja terhadap teknologi informasi, banyak konten dapat mereka akses dan pelajari sendiri, atau bahkan sudah mereka ketahui.

Oleh karena itu, pengajaran sering remaja alami sebagai tidak inspiratif dan membosankan. Karena hal yang dibicarakan bukan merupakan hal baru bagi mereka. Seharusnya, orientasi pengajaran tidak lagi ke arah penguasaan konten dan mandek di situ, melainkan menjadi sarana untuk pembentukan soft skills. Soft skills perlu terus menerus dilatih karena penguasaannya tidak pernah tiba-tiba. Selain itu, soft skills semakin diperlukan remaja dalam menghadapi tantangan masa depannya.

Keempat, karena kondisi pendidikan seperti itu, proses pendidikan tidak membantu remaja dalam membentuk visi masa depannya sendiri. Orang yang tidak memiliki visi masa depan, bukan hanya tidak mempunyai gambaran masa depannya, tetapi juga serampangan menjalani hidup kekiniannya. Karena masa depan yang visioner sesungguhnya sudah dimulai sejak sekarang.

Jika semua krisis ini tidak ditangani, maka hasil dari pendidikan yang seharusnya berupa pembudayaan, yang ditandai oleh munculnya humanisasi pada  peserta didik, malah muncul dehumanisasi. Kasus remaja Tuban adalah dehumanisasi yang ditunjang oleh teknologi. Mari kita lebih serius membaca tanda-tanda zaman. (Foto: kompasiana.com)

5 1 vote
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
3 Comments
oldest
newest most voted
Inline Feedbacks
View all comments
Senuken
5 years ago

Benar. Memang telah terjadi krisis pada kembangan keluarga. Tapi menurut saya bukan semata2 hal itu. Krisis juga sudah terjadi ditengah masyarakat kita. Terutama karena ia di bentuk oleh media. Popularitas seolah jadi nilai baru. Semua mengejarnya. Semua menganggap itu hebat. Akibatnya banyak orang lebih senang menjdi populer apapun caranya.
Memang sangat mengganggu.

Fransiskus Berek
Fransiskus Berek
5 years ago

Keluarga menjadi penangkal pertama dalam menyaring pengaruh2 luar ✊✊

trackback

[…] Baca Juga: Kasus Live Show Remaja Tuban dan Krisis Lembaga Pendidikan Kita […]