The Power of Thought (Kekuatan Pikiran)

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Dr. Joe Dispenza is an international lecturer, researcher, corporate consultant, author, and educator. He believes that each of us has the potential for unlimited abilities. However, when we adopt the wrong models of reality in living our lives, then our potential abilities will be limited.

(Dr. Joe Dispenza adalah seorang dosen, peneliti, penasihat perusahaan, penulis dan pendidik berkelas internasional. Dia percaya bahwa masing-masing dari kita punya potensi untuk kemampuan yang tak terbatas. Tetapi, ketika kita menganut model realita yang salah dalam menjalani hidup kita, maka potensi kemampuan kita akan menjadi terbatas.)

According to Dr. Dispenza, there are two models of reality, which are called the old model and the new model. The old model (or the Newtonian Model) believes that something outside of us is the cause for the way we feel inside of us. In other words, it is the theory of ‘cause and effect’. On the other hand, the new model (or the Quantum World) believes that we are the creators of our lives. In other words, it is the theory of ‘causing an effect’.

(Menurut Dr. Dispenza, ada dua model realita yang disebut model lama dan model baru. Model lama (atau Model Newton) percaya bahwa ada sesuatu di luar kita yang merupakan sebab dari perasaan kita. Dengan kata lain, ini adalah teori ‘sebab akibat’. Sebaliknya, model yang baru (atau Model Quantum), percaya bahwa kita adalah pencipta kehidupan kita sendiri. Dengan kata lain, ini adalah teori ‘menyebabkan akibat’.)

To understand the difference in the application of the two models, Dr. Dispenza starts his discussion by stating the fact that most of us are not happy in life because we keep on living in the  past. We wake up in the morning and start to think about our past negative experiences, and we just feel unhappy.

(Untuk memahami perbedaan dalam aplikasi dari kedua model itu, Dr. Dispenza memulai diskusinya dengan menyatakan fakta bahwa mayoritas dari kita tidak bahagia karena kita terus-menerus hidup di masa lalu. Kita bangun di pagi hari dan memulai hari dengan memikirkan pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu, dan kita jadi merasa tidak bahagia.)

Baca Juga: Pikiran Anda Adalah Sumber Kekuatan Yang Tidak Terbatas

Yet, we do it again and again by keeping on having the same thoughts and feeling the same emotions, until they become our habits that exist on our subconscious level.

(Tetapi, toh kita tetap melakukannya lagi dan lagi dengan terus-menerus memelihara pikiran dan perasaan yang sama, sampai akhirnya semua itu menjadi kebiasaan yang selalu ada di alam bawah sadar kita.)

Those habits are becoming harder to change by the time we are 35 years old, and they manifest in our beliefs and perceptions, behaviors, and emotional reactions. The habits have become like a computer program so that we can do them subconsciously.

(Kebiasaan-kebiasaan itu akan menjadi sangat sulit untuk diubah saat kita sudah memasuki usia 35 tahun, di mana semua kebiasaan itu sudah terwujud dalam kepercayaan dan persepsi kita, tingkah laku, dan reaksi emosi kita. Kebiasaan itu sudah menjadi seperti program komputer sehingga kita bisa melakukannya bahkan secara tidak sadar.)

In other words, our body knows how to do the habits better than our mind. In the end, our body cannot differentiate between the actual event that is taking place in our life, or the imagined event that only exist in our mind.

(Dengan kata lain, tubuh kita tahu cara melakukan semua kebiasaan itu melampaui pikiran kita. Pada akhirnya, tubuh kita tidak bisa membedakan antara kejadian yang benar-benar sedang kita alami, atau kejadian yang sekedar kita bayangkan.)

That is why we can say with our conscious mind, “I want to be happy”, but somehow it is easier to say than do. It is because on our subconscious level, we still think and live in the past.

(Itulah sebabnya, kita bisa dengan sadar berkata, “Saya ingin bahagia”, tapi ternyata untuk menjalaninya tidak semudah mengatakannya. Itu terjadi karena di alam bawah sadar kita, kita masih berpikir dan hidup di masa lalu.)

Naturally, humans feel uncomfortable or even scared to uncertainty. People who adopt the Newtonian model prefer to live in the past habits and memories, simply because they have experienced them and know for certain how they feel. They do not dare to change because they fear the uncertainty of the new and unfamiliar situation.

(Secara alami, manusia memang merasa tidak nyaman atau bahkan takut pada ketidakpastian. Orang-orang yang menjalani hidup dengan pola Newtonian memilih hidup dalam bayang-bayang masa lalu, hanya karena mereka sudah pernah mengalaminya dan tahu pasti bagaimana rasanya. Mereka tidak berani berubah karena mereka takut akan ketidakpastian dari situasi yang baru di mana mereka tidak terbiasa.)

Baca Juga: Kekuatan Kata Kata; Anda Bisa Membunuh Anak Anda dengan Lidah Anda

They prefer to play victims in living their lives, and always blame others for everything that goes wrong in their lives by saying, “I feel or become like this because of this person or that experience.” In other words, instead of changing something inside themselves, they prefer to wait for something out there to change their lives.

(Mereka lebih suka menjalani hidup dengan berperan sebagai korban, dan selalu menyalahkan orang lain untuk segala hal yang tidak berjalan dengan baik dalam hidup mereka, dengan mengatakan, “Saya merasa atau menjadi seperti ini gara-gara orang ini atau peristiwa itu.” Dengan kata lain, daripada melakukan perubahan di dalam diri mereka, mereka lebih suka selalu menunggu sesuatu di luar diri mereka yang akan merubah hidup mereka.)

People who adopt the Quantum model understand that they need to take responsibility and be the creators of their lives. They understand that there is no certainty in life, and the best way to make the future certain, is by creating it through thoughts.  That is why it is important to be able to control thoughts, because thoughts materialize.

(Orang yang menganut model Quantum mengerti bahwa mereka bertanggung jawab untuk menciptakan kehidupan mereka. Mereka mengerti bahwa memang tidak ada kepastian dalam hidup ini, dan cara terbaik untuk memastikan masa depan adalah dengan cara menciptakannya sendiri melalui pemikiran kita. Itulah sebabnya adalah penting untuk bisa mengendalikan pikiran, karena pikiran akan terwujud menjadi kenyataan.)

Many people cannot control their thoughts and keep on dwelling on their past sad experiences, and that is why sometimes we hear people say things like :

  • I’m sad because I had this thing that happened to me five days ago.
  • I’m bitter because I had this thing that happened to me five months ago.
  • I’m this way because I had this thing that happened to me five years ago.

(Banyak orang tidak bisa mengendalikan pikiran mereka dan terus bergumul dengan bayang-bayang masa lalu yang menyedihkan, dan itulah sebabnya terkadang kita mendengar orang berkata :

  • Saya sedih gara-gara kejadian 5 hari yang lalu.
  • Saya getir gara-gara kejadian 5 bulan yang lalu.
  • Saya jadi begini gara-gara kejadian 5 tahun yang lalu.)

Based on the length of time for the emotional reactions to last, Dr. Dispenza defines emotional reactions as the following :

  • If it lasts for hours or days, it is called a mood.
  • If it lasts for weeks or months, it is called a temperament.
  • If it lasts for years on end, it is called a personality trait.

(Berdasarkan lamanya waktu reaksi emosi itu berlangsung, Dr. Dispenza menamai reaksi emosi itu sebagai berikut :

  • Jika bertahan dalam hitungan jam / hari, itu namanya suasana hati.
  • Jika bertahan dalam hitungan minggu / bulan, itu namanya temperamen.
  • Jika berlarut-larut bahkan dalam hitungan tahun, itu namanya watak.)

We need to understand that as a human, it is normal to feel certain emotions, including negative emotions. However, the control on how long the emotional reaction lasts, should be in our hands. We can live our lives better if we can shorten the periods of the emotional reactions as short as possible so we can move forward with our lives.

(Kita perlu memahami bahwa sebagai seorang manusia, adalah wajar untuk merasakan suatu emosi, termasuk emosi negatif. Tapi, seberapa lama kita bisa berlarut-larut dalam emosi itu seharusnya kontrolnya ada di tangan kita. Kita akan bisa menjalani hidup dengan lebih baik jika kita bisa memangkas rentang waktu reaksi emosi kita sependek mungkin, dan kemudian bergerak maju dalam hidup kita.)

Baca Juga: The Power of Belief

We also need to understand that where we focus our attention is where we place our energy. So, by focusing our attention to the sad past, we are basically syphoning our energy out of the present moment into the past, and thus we will always create the same lives again and again.

(Kita juga perlu memahami bahwa di mana kita memfokuskan perhatian kita, di situlah kita meletakkan energi kita. Jadi, dengan memfokuskan perhatian kita pada masa lalu yang menyedihkan, pada dasarnya kita sedang memindahkan energi kita dari masa kini ke masa lalu, dan pada akhirnya kita akan terus menerus selalu  menciptakan kehidupan yang sama.)

That is why, we need to change . Yet, many people fail to change because as mentioned earlier, it is not easy to make changes as our body will tell us to stay in our comfort zone. And when we feel uncomfortable, we think that the change is not suitable for us.

(Itulah sebabnya, kita perlu berubah. Tapi, banyak orang gagal berubah, karena seperti sudah disebutkan sebelumnya, tidaklah mudah untuk berubah karena tubuh kita akan selalu menyuruh kita tetap tinggal di zona nyaman kita. Dan saat kita merasa tidak nyaman, kita berpendapat bahwa perubahan ini tidak sesuai bagi kita).

Whether we can change or not, depends on the way we respond to the thought that tells us to stay in the comfort zone. If we agree that it is true, then we will go back to our past habits and create the same experience again and again.

(Apakah kita akan berhasil berubah atau tidak, tergantung pada cara kita merespon pemikiran yang menggoda kita untuk tetap tinggal di zona nyaman kita. Jika kita mengiyakannya, maka kita akan kembali pada kebiasaan lama dan menciptakan pengalaman hidup yang sama lagi.)

However, if we can control our thoughts and tell our brain to obey us to leave the past, live in the present moment and look to the future, then we can start to make changes. In this case, it is no longer our thoughts that control us ; it is we that control our thoughts.

(Tetapi, jika kita bisa mengontrol pemikiran kita dan menyuruh otak kita untuk mematuhi kita dan meninggalkan bayang-bayang masa lalu untuk hidup di masa kini dan melihat ke masa depan, maka kita bisa mulai membuat perubahan. Dalam hal ini, tidak lagi pikiran kita yang mengontrol kita ; kitalah yang mengontrol pikiran kita).

To control our thoughts, we have to get beyond the analytical mind, which separates our conscious mind and our sunconscious mind. In other words, we have to learn to free ourselves from creating unreasonable perceptions. To avoid creating perceptions, we need to learn to discipline our mind. We can do that by doing meditation.

(Untuk mengontrol pikiran, kita harus bisa melampaui pikiran analisis, yang memisahkan alam sadar kita dari alam bawah sadar kita. Dengan kata lain, kita harus belajar membebaskan diri kita dari kebiasaan menciptakan persepsi yang tidak berdasar. Untuk menghindari menciptakan persepsi, kita perlu mendisiplinkan pikiran kita. Kita bisa melakukan itu melalui meditasi.)

In doing meditation, we are basically trying to be alone with our soul.  We sit down and close our eyes to disconnect from our outer environment. While doing it, we might get tempted to think about many different things, but we need to discipline our brain and make it obey us, at least for that moment.

(Dalam melakukan meditasi, pada dasarnya ktia sedang berusaha mengenali jiwa kita. Kita duduk dan menutup mata supaya kita bisa terlepas dari lingkungan di luar diri kita. Sementara melakukannya, kita akan tergoda untuk berpikir tentang berbagai hal, tapi kita perlu mendisiplinkan otak kita dan menyuruhnya patuh pada perintah kita, setidaknya untuk saat meditasi itu.)

There are some misleading perceptions about what should happen in meditation. Many people think that in doing meditation they should be totally unaware of their surroundings, or even have a hallucination. And when neither one of those two things happens, they think that they have failed in their meditation.

(Ada banyak persepsi yang salah terkait apa yang seharusnya terjadi dalam meditasi. Banyak orang mengira bahwa mereka harus berada dalam keadaan tidak menyadari semua kejadian di sekitar mereka, atau bahkan mengalami halusinasi. Dan ketika kedua hal itu tidak ada yang terjadi, mereka mengira bahwa mereka gagal dalam bermeditasi.)

Well, we need to understand that it is normal that while doing meditation we are still aware of our surroundings and still hear sounds like when someone is opening the door. But that is OK, because basically we are learning to focus on one thing (for example our breathing) and  ignore the others.

(Yah, kita perlu memahami bahwa adalah wajar saat  melakukan meditasi kita tetap menyadari segala kejadian di sekitar kita dan tetap mendengar suara-suara seperti misalnya saat ada orang yang membuka pintu. Tapi itu tidak apa-apa, karena pada dasarnya memang kita sedang belajar untuk fokus pada satu hal saja (misalnya pernapasan kita) dan mengabaikan lain-lainnya.)

After we can focus our thoughts, next we can do visualization. We focus on our vision, and rehearse our action mentally. If we are truly present in our thoughts, our brain will not know the difference between what we are only imagining and what we are truly experiencing.

(Setelah kita bisa memfokuskan pikiran kita, selanjutnya kita bisa melakukan visualisasi. Kita fokus pada visi kita, dan berlatih membayangkan pelaksanaannya. Jika kita benar-benar menghayati bayangan itu, maka otak kita tidak akan lagi mampu membedakan apakah itu sekedar bayangan kita atau pengalaman nyata kita).

In that way, we make the brain a map to the future and not a record of the past. And if we keep doing it, we will be able to feel what the future is like, even before the actual experience happens. It means we shouldn’t wait for our success to feel empowered. We shouldn’t wait for our wealth to feel abundant and worthy.

(Dengan cara itu, kita membuat otak kita sebagai peta masa depan, dan bukan catatan masa lalu. Dan jika kita terus melakukannya, kita akan mulai bisa merasakan seperti ada gambaran di masa depan itu, bahkan sebelum gambaran itu sendiri terwujud. Artinya, kita tidak perlu lagi menunggu untuk menjadi sukses untuk mulai merasa punya daya dalam diri kita. Kita tidak perlu lagi menunggu menjadi kaya untuk mulai merasa makmur dan diri kita berharga.)

In a nutshell, we shouldn’t wait for the cause of happiness to start feeling happy. And this is the spirit of the Quantum model, which is ‘causing an effect’ in our lives.

(Singkat kata, kita tidak perlu lagi menunggu punya alasan untuk bisa mulai merasa bahagia. Dan inilah semangat dari model Quantum, yaitu menyebabkan terjadinya suatu akibat dalam hidup kita.)

The amazing thing is the fact that when our will to change is getting greater than our past habits, then we can create positive energy and free ourselves from the chains of negative emotions of the past, including our old mindset. In fact, the moment we start feeling empowered, we are moving towards success.

(Hal yang mengagumkan dari hal ini adalah kenyataan bahwa ketika kemauan kita untuk berubah bisa mengalahkan kebiasaan lama kita, maka kita bisa menciptakan energi positif dan membebaskan diri kita dari belenggu emosi negatif dari masa lalu kita, termasuk pola pikir yang usang. Pada kenyataannya, saat kita merasa punya daya dalam diri kita, maka kita sedang bergerak ke arah kesuksesan).

The moment we start feeling abundant and worthy, we are generating wealth. Just bear in mind that we are the creators of our lives, and not the victims.

(Pada saat kita merasa makmur dan berharga, maka kita sedang mengundang rejeki kita. Ingatlah selalu bahwa kita adalah pencipta kehidupan kita, dan bukan korban). (Foto: harmanmedia.com)

5 3 votes
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
oldest
newest most voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Baca juga: The Power Of Thought (Kekuatan Pikiran) […]