Depoedu.com – Ada kewajiban menjadi guru piket untuk setiap guru di tempat saya mengajar. Pengecualian terjadi pada guru yang setiap harinya mengajar penuh. Tugas guru piket bervariasi, mulai dari menggantikan guru yang tidak hadir di dalam kelas, menunggu kelas ketika ada guru yang tidak masuk, menjaga ketertiban saat istirahat, menangani kasus anak yang sakit, menangani bila ada kasus yang terjadi pada hari itu, dan yang paling penting adalah menyambut siswa di pintu gerbang untuk melihat kelengkapan dan ketertiban siswa dari ujung kaki sampai ujung rambut. Saat berdiri menyambut, guru piket harus melakukan kode etik: salam, sapa, dan senyum.
Dengan demikian guru piket harus datang lebih pagi daripada biasanya. Sekolah menetapkan guru piket maksimal datang pukul 06.30 bertepatan dengan siswa masuk ke kelas. Bila melihat situasinya alangkah lebih baiknya seorang guru piket datang sebelum jam 06.30.
Sebetulnya saya mengalami berganti pasangan guru piket untuk setiap tahun pelajaran. Biasanya setiap harinya guru piket yang ditugaskan ada 3 orang. Saya berpasangan dengan beberapa teman guru piket dengan berbagai karakter dan kebiasaan. Saya pernah berpasangan dengan teman guru yang penuh tanggung jawab dan mudah diajak bekerja sama. Saya juga pernah berpasangan dengan guru yang agak santai , suka menghindari tugas menjaga kelas, dan lebih suka melakukan kegiatan untuk dirinya sendiri. Pernah juga saya berpasangan dengan guru yang sepanjang piket terus mengeluh tentang kelehannya menjadi guru piket, ketidaksukaannya tentang sistem piket, dan aneka keluhan lainnya. Ada juga guru piket yang sangat suka datang telat.
Nah, kali ini saya akan berbagi tentang kejadian pada saat saya suatu hari saya piket. Kejadian itu tepatnya hari Selasa, 11 September 2011. Salah satu guru yang menjadi pasangan piket kali ini adalah seorang ibu yang mempunyai hobi datang telat. Dia datang seperti kalau dia tidak menjadi guru piket, yaitu jam 06.45. Selama dua bulan saya berpasangan dengan dia , belum pernah ia datang jam 06.30 atau di bawah itu. Lama- kelamaan saya kesal dan mulut saya gatal untuk mengingatkan dia. Padahal saya tahu Ibu Guru ini bukan ibu yang punya anak yang harus menyiapkan aneka kebutuhan anak layaknya para ibu yang dikaruniai anak. Saya berpikir cara yang paling tepat untuk menyampaikannya. Akhirnya ketika dia selesai mengantri untuk presensi, saya mulai melancarkan aksi saya.
Saya berkata dengan penuh keramahan, “ Bu, saya yakin Selasa depan, Ibu akan datang lebih pagi lagi.”
Saya sungguh tak menduga ternyata jawabannya berbeda dengan yang saya harapkan. Dia mejwab, “Aku tidak apa-apa dipecat juga. Sanma laporkan saja!”
Saya ternganga dan terbata, “ ya, nggak begitu maksud saya, Bu. Saya tak akan melaporkan Ibu karena saya bukan tukang lapor.”
Dengan ketus dia berkata, “ Ibu nggak ngerti alasannya.”
“ Betul, Bu, saya nggak ngerti karena Ibu tidak bercerita. Saya menyampaikan hal ini langsung pada Ibu daripada saya gerundelan di belakang.”
Percakapan terhenti karena ada anak yang harus dilayani.
Saya merasa teguran tadi akan sampai dengan baik dan diterima dengan baik pula. Rupanya saya salah duga. Dari peristiwa ini saya belajar bahwa ketika kita memberi feedback pada seseorang harus memperhatikan berbagai faktor. Menurut Ibu Ratih Ibrahim dalam pelajaran Personal Growth feedback yang baik adalah: diberikan dengan jujur, serius, langsung, dan tulus.
Kemudian saya berpikir dan melihat feedback yang baru saya berikan kepada pasangan guru piket tadi apakah sudah sesuai dengan ciri-ciri di atas. Saya memberi feedback pada teman saya sebagai sesama guru piket dengan tulus dengan tujuan di baliknya untuk perbaikan dia agar tidak datang telat saat piket. Saya juga menyatakannya dengan jujur apa adanya tanpa mencari-cari permasalahan. Ketika saya menyampaikannya juga dengan langsung pada orangnya. Jadi letak kesalahan saya ada di mana, ya?
O, rupanya saya mengatakannya tidak dengan serius. Situasi saat saya menyampaikan feedback seolah saya sedang bercanda mungkin. Oleh karena itu, teman tadi tersinggung. Maksud hati sih saya menyampaikannya dengan cara lunak, tidak terlalu formal, dan lebih santai. Eh, ternyata cara saya dianggap meledek atau menghinanya sehingga feedback yang saya sampaikan tidak tepat sasaran malah akhirnya mental.
Rupanya, saya masih harus banyak belajar tentang cara menyampaikan feedback pada orang lain. Berkomunikasi itu ternyata tidak mudah. Komunikasi saya kurang asertif. Ada beberapa faktor yang sering meleset dari dugaan kita sehingga tujuan tidak sampai pada sasarannya.
Komunikasi asertif adalah kemampuan seseorang untuk berkomunikasi secara efektif tanpa terlalu banyak terganggu dengan apa yang orang lain mungkin pikirkan atau katakan.
Orang asertif berani menyuarakan sesuatu yang menjadi pendapatnya dengan tetap menghargai orang lain. Komunikasi asertif juga akan menuntun seseorang untuk memutuskan antara mengatakan ‘ya’ atau ‘tidak’ untuk situasi tertentu.
Sebaliknya, orang yang kurang asertif cenderung selalu berkata ‘ya’ meskipun sebenarnya dia tidak berada dalam mood untuk melakukan hal tersebut. Tidak bisa mengatakan apa yang idealnya ingin dikatakan dapat menyebabkan perilaku agresif pasif dan konflik internal serta masalah mental.
Manfaat Menjadi Asertif
1. Bebas dari konflik internal,
Sikap asertif akan membuat seseorang terhindar dari stres dan tekanan yang tidak perlu dari lingkungan.
2. Meningkatkan percaya diri.
Orang yang asertif berarti tidak ragu dalam menyuarakan pendapatnya. Orang lain juga akan cenderung menghargai orang yang asertif karena berani menyuarakan pikiran dan memilih memberikan jawaban yang jujur. Apresiasi dan penghargaan dari orang lain pada akhirnya akan meningkatkan rasa percaya diri Anda yang telah bersikap asertif.
3. Membantu mengelola stress.
Bersikap asertif membuat seseorang lebih mudah mengelola stres. Orang yang asertif tidak akan menyesali apa yang dilakukan karena telah menyuarakan apa yang menjadi pendapat dan keyakinannya
4. Hidup yang lebih bebas.
Orang asertif selalu percaya dengan prinsipnya tanpa terlalu banyak terganggu dengan apa yang dikatakan orang lain. Orang asertif umumnya bahagia dan percaya diri karena mampu menentukan pilihan dan tujuan hidupnya sendiri. Orang lain tidak akan bisa memanfaatkan orang yang asertif karena perilaku asertif membuat seseorang tetap kukuh dengan prinsipnya.
Sebaliknya, orang yang tidak bisa berkata ‘tidak’ cenderung dimanfaatkan orang lain karena ketidakmampuannya untuk menolak.
Dari cara saya di atas yang saya gunakan sebenarnya sudah cukup asertif. Saya merasa bebas ketika mengungkapkan hal tersebut pada rekan saya. Saya melakukan yang benar. Saya melakukan untuk kemajuan pribadi orang ini. Namun, ia tak menerimanya. Itu masalah dia. Bukan masalah saya. Saya independen untuk menyatakan pendapat dan harapan saya pada rekan saya. Saya tak perlu terlalu memikirkan bahwa saya menyinggung dia. Tersinggung itu hal yang biasa dalam berkomunikasi. Ketika dia tersinggung sebenarnya saya menyatakan yang benar. Ia merasa bahwa dia bertindak salah karena menyalahi peraturan sebagai guru piket yang harus dating awal.
Menjadi seorang guru, kita harus berani untuk menyatakan mana yang benar dan salah. Menjadi seorang guru harus berani mengatakan ya dan tidak pada saatnya diperlukan. Guru tidak boleh ragu dalam menyatakan kebenaran. Kalau guru ragu lantas dunia mau dibawa ke mana?
[…] Baca Juga: Guru Yang Berkomunikasi Dengan Asertif […]
[…] Baca Juga :Guru Yang Berkomunikasi Dengan Asertif […]
[…] Baca Juga : Guru Yang Berkomunikasi Dengan Asertif […]
[…] Baca Juga: Guru Yang Berkomunikasi Dengan Asertif […]