Depoedu.com-Publik Indonesia tersentak oleh beberapa pernyataan awal Wakil Menteri Pendidikan dan Ristek, Stella Christie, antara lain tentang “long term memory”.
Sebuah informasi, positif atau negatif, jika sangat membekas dan bernilai akan tersimpan dalam “laci” memori jangka panjang. “Laci” itu bernama “long term memory”. Contoh: ingatan siswa tentang cara guru matematika menjelaskan penggunaan konsep trigonometri untuk mengukur tinggi pohon di halaman sekolah tanpa harus membawa tali meteran memanjat pohon tersebut.
Konsep trigonometri yang abstrak menjadi nyata, mudah dipahami dan diterapkan, dan karena itu berkesan, terus diingat, tak mudah dilupakan.
Informasi yang tidak terlalu penting akan masuk ke dalam ”laci” short term memory. Sementara informasi yang cuma numpang lewat sekilas, tidak terlalu penting karena itu tidak menjadi pusat perhatian, akan singgah sebentar dalam ultra-short term memory.
Tetapi poin saya dalam tulisan ini tidak tentang psikologi kognitif, melainkan tentang lambannya perjalanan sebuah ilmu pengetahuan hingga masuk ke Indonesia.
Baca juga : Lagi, Siswa Kelas 3 SD Korban Perundungan di Subang Akhirnya Meninggal
Apa yang diangkat oleh Prof. Stella Christie adalah materi kurikulum wajib pendidikan guru di Jerman sejak akhir tahun 70-an hingga 80-an. Jadi dibutuhkan waktu sekitar 50 tahun untuk masuk ke Indonesia sekadar untuk dikenal (dan semoga bisa dipelajari).
Adalah Frederic Vester (1925-2003), seorang ahli biochemist Jerman melalui bukunya “Denken, Lernen, Vergessen“ (Berpikir, Belajar, Lupa) maupun melalui tayangan serial televisi Jerman berbicara tentang bagaimana otak manusia menerima, menyimpan dan me-recall informasi dalam memori (otak).
Tiga kategori “laci” memory di atas dalam konsep Fester disebut Langzeitgedächtnis (LG – long term memory), Kurzzeitgedächtnis (KG – short term memory), dan Ultrakurzzeitgedächtnis (UG – ultra short term memory).
Mungkin kelompok kami mahasiswa Indonesia dari berbagai IKIP & FKIP di Indonesia yang menjadi orang Indonesia pertama yang belajar tentang tema ini di Ludwig-Maximilian Universität München pada tahun 1985, masih dengan nama mata kuliah Biopsychology.
Mahasiswa Indonesia pada umumnya pada waktu itu (juga sekarang) cenderung belajar di berbagai bidang sains dan teknologi. Yang belajar filsafat, teologi, dan ilmu-ilmu sosial lain adalah manusia-manusia pengecualian yang entah dikirim oleh Gereja atau lembaga lain untuk alasan dan tujuan lain.
Baca juga : Tiga Peserta Didik di Rembang Dikeluarkan dari Sekolah, karena Pilihan Politik Orang Tuanya
Konsep Biopsychology Fester tentang proses masuknya informasi ke dalam otak manusia, disortir, disimpan, dan di-recall kembali sangat membantu saya ketika bertemu dengan tema-tema abad 21 seperti neuroscience, learning machine, big data, dan terakhir artificial intelligence.
Pertanyaan dasar: mengapa sebuah bidang ilmu yang sangat mendasar untuk bidang pendidikan ini begitu lama masuk dan memperkenalkan diri di Indonesia.
Jawaban atas hal ini tidak mudah dan tidak tunggal. Secara hipotesis, salah satu penyebab lambatnya kita berkenalan dengan konsep-konsep dasar psikologi kognitif ini terutama karena kiblat kurikulum kita pada model Amerika dengan Taksonomi Bloom yang gencar dikenalkan sejak kurikulum tahun 1975.
Kita seperti tersandera pada titik ini, titik taksonomi bloom, yang tidak sederhana dan sampai sekarang tidak pernah tuntas.
Nasib taksonomi bloom, diferensiasi usia belajar ala Jean Piaget, Montessori, atau Lev Vygotsky baru sekadar menjadi matakuliah pengenalan, sekadar meramaikan koleksi pengetahuan tentang learning theory, belum menjadi praksis pengajaran di kelas.
Foto: DZNE
Tulisan ini pernah tayang di eposdigi.com, ditayangkan kembali dengan seizin penulis.