Depoedu.com-Dalam pertemuannya dengan pemimpin media, pada 5 November yang lalu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menyampaikan; “Buat apa ganti Menteri tetapi kebijakannya masih sama?” katanya sebagaimana dikutip Tempo.co.
Pernyataan ini tampaknya menggambarkan, akan ada berbagai kebijakan baru di zaman Abdul Mu’ti menjabat sebagai Mendikdasmen. Jika ada banyak kebijakan baru, kita berharap kehadiran kebijakan tersebut didahului dengan evaluasi kebijakan yang berlaku sebelumnya, terlebih dahulu.
Jika kebijakan dari periode sebelumnya berdasarkan hasil evaluasi tersebut ternyata berdampak baik maka kebijakan tersebut perlu dipertahankan. Sedangkan jika kebijakan tersebut ternyata berdampak buruk maka perlu diperbaiki, bahkan diganti dengan kebijakan yang baru.
Hal tersebut diperlukan untuk memelihara kesinambungan pembangunan pendidikan dan tidak sekedar mengambil langkah yang mudah, bongkar pasang kebijakan. Asal pejabat baru, kebijakan baru, tidak peduli pada proses dan nilai-nilai baik sebelumnya.
Baca juga : AI dan Hilangnya Kemampuan Berpikir
Atau kebijakan yang dibatalkan pada periode sebelumnya karena pertimbangan objektif tertentu oleh kepemimpinan periode sebelumnya, diberlakukan kembali dengan mengabaikan pertimbangan objektif, karena kepentingan kelompok tertentu, sehingga kepentingan publik diabaikan.
Kita berharap proses bongkar pasang kebijakan pendidikan yang tidak berdasarkan hasil evaluasi objektif, termasuk bongkar pasang karena kepentingan sempit kelompok tertentu, dihindari oleh Kemendikdasmen sekarang. Karena proses bongkar pasang seperti itu akan berdampak buruk terhadap perkembangan pendidikan itu sendiri.
Jika pendidikan dikelola secara tidak berkesinambungan dan ahistoris seperti itu, akan berdampak buruk pada dunia pendidikan seperti dikatakan oleh Prof. Dr. Haedar Nashir Ketua Umum PP Muhammadiyah pada kesempatan pelantikan Rektor Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. .
Mengutip rilis WordTop20.org, Prof. Haedar mengatakan kualitas pendidikan di Indonesia masih berada di urutan 67 dari 209 negara di dunia. Menurut Prof Haedar, hal ini terjadi karena para elit selalu bongkar pasang kebijakan pendidikan sehingga pengembangan pendidikan tidak berkesinambungan.
“Kita berharap agar elit yang terpilih saat ini tidak lagi membongkar pasang kebijakan pendidikan hanya berdasarkan kepentingan kelompok dan bukan berdasarkan hasil evaluasi objektif. Praktik ini menyebabkan pekerjaan perbaikan mutu pendidikan di Indonesia menjadi tidak tuntas,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah dua periode ini.
Kita berharap himbauan seperti ini didengar oleh Prof. Abdul Mu’ti yang adalah politisi dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, yang merupakan kader kandung yang lahir dari rahim Muhammadiyah. Selama ini, kelemahan pejabat politisi adalah lebih mengabdi pada kepentingan kelompok dan bukan kepentingan publik.
Kita setuju pada perubahan, tapi perubahan yang berkesinambungan, berdasarkan hasil evaluasi yang objektif. Karena dari sanalah mutu pendidikan di Indonesia dapat tumbuh. Berhentilah mengelola pendidikan secara ahistoris dan tidak berkesinambungan.
Foto: Tempo.co