#Belajar Dari Kangguru 2: Arti Weekend Yang Sesungguhnya

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Waktu itu kami tiba hari Sabtu. Weekend pertama kami di negeri orang. Staf dari Universitas Griffith, setelah memberikan kami informasi awal nan lengkap dan komplit, kemudian membebaskan kami untuk mengeksplorasi lingkungan sekitar secara mandiri sebelum hari senin nanti memulai kegiatan di kampus.

Kepada masing-masing kami, mereka berikan GoCard alat pembayaran elektronik utama untuk penggunaan semua jenis transportasi public di Gold Coast (dan seluruh wilayah Queensland). Di dalamnya sudah disediakan uang elektronik sejumlah 100 dollar Australia untuk bisa langsung dipakai. Jika di kemudian hari kami membutuhkan saldo tambahan, ujarnya, kami bisa melakukan top up di mesin-mesin yang tersedia di stasiun-stasiun pemberhentian.

Di Gold Coast, ada dua jenis transportasi umum yang paling popular, yakni trem dan bus. Keduanya selalu ada hampir sepanjang hari dan sepanjang minggu. Kita bisa memilih mau menggunakan yang mana, tergantung tujuan dan pilihan kenyamanan.

Trem menerapkan biaya yang sedikit lebih mahal. Rata-rata pengguna dikenakan 3,28 AUD untuk sekali jalan. Sedangkan bus hanya menarik rata-rata 1,8 AUD untuk satu kali perjalanan. Tetapi jika pengguna kemudian kembali menggunakan trem atau bus ke rute lanjutan atau rute arah balik, biaya tidak ditarik lagi, alias gratis.

Untuk pelajar, sebenarnya ada ketentuan potongan harga hingga 50% per satu kali perjalanan. Sayangnya, kami tidak bisa mendapatkan fasilitas seperti itu karena kami datang dengan menggunakan visa pengunjung atau visitor, bukan pelajar (student).

Sebelum pergi, staf dari Griffith juga memberikan secarik kertas berisikan daftar tempat-tempat yang bisa kami kunjungi selama weekend yang tersisa. Mereka menggunakan istilah spots hunter. Kami harus berusaha mngunjungi sebanyak mungkin tempat wisata sekitar tempat tinggal kami sepanjang weekend.

Sayangnya bagi saya hari itu terasa panjang dan melelahkan. Belum lagi dengan suhu udara yang buat saya masih terasa asing dan cenderung terlalu dingin. Beberapa teman sejawat memilih langsung berpetualang. Sementara saya memilih meringkuk di dalam selimut penghangat sepanjang siang sampai sore.

Saya butuh waktu beradaptasi dahulu dengan suhu dan situasinya. Juga, kami perlu duduk bersama dan membicarakan tentang hal paling penting dalam hajat hidup manusia; yang juga menjadi salah satu kecemasan saya ketika bersiap berangkat ke benua lain; makanan!

Saya terbangun waktu jam menunjukkan pukul 5 sore. Teman seapartemen sudah nampak bersiap-siap. Sesuai rencana kami akan ke luar sebentar, mencoba menemukan tempat jual bahan makanan. Kami harus mulai mengatur menyoal makanan. Beruntung keempat teman kamar saya sangat kompromis.

Mereka tidak berkeberatan untuk mengumpulkan sejumlah uang yang kami sepakati bersama, kemudian membelanjakan bahan makanan untuk semua. Giliran masak kami bagi di antara kami. Semua nampak puas dengan pengaturan macam ini. Konon, hanya anak kos yang lihai dan pandai mengatur menyoal begini. Jadi, berbahagialah para anak kos.

Sore itu kami berlima pergi berbelanja bersama-sama. Tentu saja setelah mengadakan konferensi meja bundar untuk menentukan menu-menu apa saja yang bisa kami siapkan untuk seminggu ke depan dengan sejumlah uang yang telah kami kumpulkan bersama.

Beruntung sekali kami menemukan mini-market tidak jauh dari tempat tinggal. Sebenarnya kami diarahkan untuk selalu berkonsultasi pada aplikasi Google. Hampir untuk urusan apapun. Tetapi, seperti biasa kami belum begitu percaya. Maklum.

Well, di sana kami lalu membeli beberapa pack daging sapi (yang ternyata cukup murah) juga 2 pack keju serta roti (saya sangat suka keju, dan harganya sangat murah. Puji Tuhan!). Beruntung juga mereka menjual beras. Meski mahal, setidaknya kami (baca: orang NTT) ada harapan hidup (hahaha).

Kami berbelanja tidak lama. Segera setelah membayar, kami bergegas pulang. Selain karena udara sudah semakin dingin, juga kami ingin segera merasakan nasi di tanah orang.

Di apartemen tempat kami tinggal, segala sesuatu tersedia lengkap sekali. Dan semuanya dikerjakan oleh ‘mesin’. Malam itu kami duduk mengelilingi meja, menyantap sepiring nasi dengan sayur brokoli yang ditumis tanpa penyedap rasa seperti biasa.

Jujur saja, makan malam pertama kami di Gold Coast tidak istimewa. Tetapi kami seolah sudah saling mengerti. Duduk makan dengan tenang. Separuh hati bersyukur satu hari sudah terlewati dengan baik, sebagian yang lain mulai gelisah dengan apa yang akan terjadi esok hari, dan sebagian yang lain melompat kegirangan karena penasaran dan ingin merasakan pengalaman baru apa lagi yang menanti di depan.

Satu hal yang masih kaku bagi kami adalah kebiasaan mengecek ramalan cuaca setiap hari. Di kampung halaman, entah kenapa ramalan cuaca seolah tidak penting. Yang jelas kalau langit nampak mendung, pasti akan hujan. Kalau tidak, maka panas.

Di rantau kali ini, kami harus terbiasa mengecek ramalan cuaca. Karena cuaca bisa berubah drastis dari panas yang terik menjadi mendung dan hujan. Bedanya, semuanya sudah bisa diprediksi. Dari jam ke jam, aplikasi di ponsel kami bisa menunjukkan suhu dan ramalan cuaca yang cukup akurat. Ini satu hal lagi yang kami pelajari.

Kalau di kampung halaman, kami reaktif. Kalau di sini, kami diajarkan untuk menjadi antisipatif.

Pagi itu cuaca diramalkan akan cerah di pagi hari sampai siang, dan akan agak mendung tetapi tidak hujan menjelang sore. Dan suhu akan semakin dingin di atas jam 3 sore. Perfect. Berlima dengan teman seapartemen kami memutuskan untuk terlebih dahulu mencari gereja terdekat dan beribadah.

Karena ini di negeri orang, saya berusaha untuk tidak terlalu tinggi berekspektasi. Google maps di kampung halaman jarang bisa jadi teman baik di saat seperti ini. Dan saya masih berpikiran seperti itu. Jadi ketika saya bertanya kepada tim Griffith yang mengurus kedatangan kami tentang di mana letak gereja, mereka dengan lugasnya mengarahkan kami untuk bisa menelusuri Google map.

You can find it in the Googlemaps, somewhere around here there’s a church,” kata mereka.

Bersyukur. Tetapi juga cemas. Really?

Tetapi dasar anak NTT memang selalu mukut. Nekat. Pagi itu berangkat saja. Bersama satu teman yang kebetulan sudah selesai bersiap duluan, kami berjalan kaki. Karena menurut Googlemaps, memang ada sebuah gereja Katolik dekat situ yang bisa ditemput dengan 10 menit jalan kaki.

Saya ingat betul, pagi itu memang benar-benar cerah. Matahari bersinar dan memberikan rasa hangat tepat pukul 7. Tetapi entah mengapa, saya merasa dinginnya tetap menusuk. Maka berjalanlah saya dengan jaket tebal dan syal penghangat badan. Sesekali saya berharap orang-orang setempat tidak menatap saya dengan tatapan aneh dan heran.

Dan (syukurlah) mereka memang nampak tidak begitu peduli. Beberapa orang yang kami temui sepanjang perjalanan hanya mengenakan pakaian seadanya, yang sungguh-sungguh seadanya, tanpa begitu peduli pada saya yang sudah mirip beruang kutub.

Untuk beberapa saat kami sempat ragu karena berbeda dengan di kampung halaman, semua bangunan tampak sama, dan tidak ada tanda-tanda kehadiran sebuah gereja. Tetapi Google dengan mantap menunjukan arah. Dan voila! kami tiba.

Hari minggu pagi itu kami lewati dengan penuh sukacita, terlebih karena bisa mengambil bagian dalam perayaan misa hari minggu di paroki Surfers Paradise. Selama perayaan saya terdiam, dan mengucap syukur. Hari baru memberikan kami pelajaran-pelajaran baru. Percaya pada aplikasi dan ramalan cuaca adalah satu di antaranya.

Bersambung …

*Penulis adalah Alumni 2019 Sustainable Tourism Short Course Griffith University, Queensland, Australia

0 0 votes
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments