Depoedu.com-Sejak satu hingga satu setengah dekade yang lalu, sekolah-sekolah di banyak negara, terutama negara-negara Eropa menggunakan perangkat digital berupa laptop, tablet, bahkan smartphone dalam proses belajar mengajar mereka. Hingga kemudian banyak sekolah memberikan laptop gratis pada semua murid berusia 11 tahun.
Ini terjadi juga di negara seperti Finlandia. Negara kecil dengan sistem pendidikan publik terbaik yang telah diakui secara global ini, ikut mempelopori penggunaan perangkat digital dalam proses belajar mengajar, untuk dapat menerapkan teknik-teknik pembelajaran terbaru.
Kini, setelah satu hingga satu setengah dekade berjalan, dengan penerapan pembelajaran yang menggunakan perangkat digital, dunia pendidikan; guru dan orang tua murid, sudah mulai menyadari dampak negatif dari penggunaan perangkat digital tersebut, yang tidak dapat mereka kendalikan.
Mulai dari buruknya dampak dari screen time yang berlebih bagi perkembangan otak anak sekolah. Sebuah studi misalnya melaporkan ada perbedaan signifikan pada otak anak yang menggunakan laptop, ponsel pintar, video game dan tablet lebih dari 7 jam sehari, dibandingkan dengan yang tidak demikian.
Penelitian tersebut melaporkan bahwa pada anak-anak dengan screen time yang berlebih tersebut terjadi penipisan dini pada korteks frontal. Korteks frontal adalah lapisan terluar dari otak yang berfungsi memproses berbagai informasi melalui indra manusia. Dalam kondisi normal, proses ini biasanya terjadi seiring proses pendewasaan individu.
Baca juga : Desa Belajar : Lompatan Jauh Untuk Mendidik Mulai dari Desa
Para peneliti memang masih berusaha menjawab pertanyaan seputar; apa dampaknya dalam pertumbuhan anak jika struktur otak anak berubah lebih cepat menuju struktur otak orang dewasa? Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa anak yang memiliki screen time lebih dari 2 jam sehari memiliki prestasi lebih rendah secara akademis.
Guru-guru di Finlandia mengamati, kebanyakan anak berusaha mengerjakan latihan lebih cepat, untuk dapat beralih bermain game atau mengobrol dengan orang lain melalui media sosial. Dan mereka dengan cepat mengalihkan tab di browser jika didatangi guru. Mereka pura-pura sedang mengerjakan latihan.
Hal ini diakui seorang murid, Elle Sokka, 14 tahun seperti dilansir pada laman inilah.com. Ia mengatakan, dia tidak selalu fokus pada mata pelajaran, saat belajar secara digital. Ia mengaku sering beralih ke situs web lain atau media sosial.
Di Finlandia dilaporkan para murid tidak sungguh-sungguh mengerjakan latihan. Dilaporkan pula bahwa intensitas proses belajar mengajar dan keterlibatan anak-anak dalam proses belajar mengajar menurun. Ini menyebabkan hasil belajar mereka terus menerus menurun.
Sekolah Mulai Kembali Pada Buku
Situasi ini telah membuat orang tua dan guru semakin mengkhawatirkan dampak screen time berlebih pada perkembangan anak-anak mereka. Situasi ini mendorong wali kota Riihimaki, sebuah kota berpenduduk sekitar 30.000 jiwa di utara Helsinki, sejak tahun 2018 telah berangsur berhenti menyelenggarakan proses belajar dengan perangkat digital.
Baca juga : Dampak Screen Time Tinggi Terhadap Perkembangan Otak Anak
Mulai tahun ini, murid-murid di kota Riihimaki Finland, kembali ke sekolah dengan ransel penuh buku setelah satu dekade gencar menggunakan perangkat digital di ruang kelas, dengan dukungan penuh dari negara.
Setelah proses ini berjalan, dilaporkan bahwa para murid mulai mengalami peningkatan konsentrasi dalam belajar sejak mereka mulai menggunakan buku tulis, buku bacaan, dan pena dalam proses belajar mengajar.
Dua orang murid kelas VIII Miko Mantilla dan Inka Warro, keduanya berusia 14 tahun, seperti dikutip inilah.com mengatakan konsentrasi mereka meningkat sejak buku kembali tersedia. “Membaca misalnya jauh lebih mudah dan saya dapat membaca lebih cepat dari buku,” kata Mantilla. Tapi menurutnya, menulis lebih mudah dengan perangkat digital.
“Jika saya mengerjakan pekerjaan rumah larut malam, akan lebih mudah untuk tidur, jika saya tidak menggunakan perangkat digital. Ketika kami masih menggunakan perangkat digital dalam mencari bahan, tidak menggunakan buku, saya selalu susah tidur malam selepas mengerjakan tugas,” kata Warro.
Bagaimana dengan kita di Indonesia? Banyak studi sudah melaporkan dampak buruk screen time yang berlebih. Namun belum muncul gelagat dari pemerintah untuk mengantisipasi ini. Padahal kita yakin, Menteri Pendidikan dan Birokrasi Pendidikan di bawahnya sangat paham dampak buruk dari semua ini.
Foto: Okezonenews