Depoedu.com-Penilaian dalam proses belajar mengajar adalah upaya guru untuk memperoleh umpan balik dari proses belajar mengajar yang diselenggarakan oleh guru. Apakah proses belajar mengajar sudah dapat menghasilkan perubahan kompetensi; pengetahuan, sikap dan keterampilan, dan menyebabkan murid menjadi lebih kompeten?
Agar hasil penilaian sungguh menggambarkan kondisi perubahan kompetensi yang sesungguhnya, maka dalam penilaian tersebut, guru harus menilai secara objektif. Artinya dalam menilai guru harus menggunakan kriteria yang sama bagi semua murid.
Guru tidak boleh melakukan intervensi dengan memasukkan unsur-unsur subjektivitasnya sendiri; kepentingannya, perasaan dan emosinya, sehingga hasil penilaiannya menjadi tidak menggambarkan kondisi perubahan kompetensi yang sesungguhnya dialami oleh para murid.
Selain itu, penilaian yang subjektif hanya menguntungkan segelintir murid, tidak adil, bahkan diskriminatif bagi kebanyakan murid lainnya. Ternyata praktik penilaian yang subjektif ini sangat umum terjadi di dunia pendidikan, seperti dilaporkan oleh Latifah Hanum dari Universitas Indonesia dan Rian Mantasa dari The University of Queensland.
Dua peneliti ini melaporkan hasil kajian mereka pada Theconversation.com edisi 3 Mei 2024. Pada edisi tersebut, mereka mengutip hasil studi tahun 2017, 2022, dan 2023. Studi tersebut menyimpulkan bahwa penampilan fisik murid atau mahasiswa/i memiliki peran besar dalam mempengaruhi penilaian hasil studi.
Laporan tersebut memaparkan hasil riset di seluruh dunia, terkait hubungan antara nilai akademis dengan tingkat ketampanan dan kecantikan peserta didik. Penelitian di 11 wilayah di Eropa dan Amerika tersebut menyimpulkan bahwa kegantengan dan kecantikan peserta didik rentan membuat guru atau dosen menilai mereka secara lebih positif.
Baca juga: Empat Hal Ini, Harus Dilakukan Oleh Orang Tua Dalam Mendampingi Remaja
Studi tersebut menyimpulkan bahwa peserta didik yang berparas ganteng dan cantik berpeluang cenderung dinilai memiliki performa lebih baik, lebih tinggi daripada performa akademis mereka yang sesungguhnya. Oleh guru dan dosen, mereka dianggap lebih cerdas dan memiliki kinerja akademis lebih baik. Padahal sesungguhnya tidak demikian.
Bagaimana kondisi subjektivitas, diskriminasi di Indonesia?
Karena Indonesia belum memiliki publikasi hasil kajian mengenai subjektivitas dan diskriminasi guru dan dosen terhadap peserta didik yang cantik dan ganteng, maka Latifah dan Rian melakukan wawancara untuk mengetahui bagaimana kondisi subjektivitas dan diskriminasi ini.
Setelah melakukan wawancara secara terstruktur terhadap 3 narasumber lulusan jurusan teknik sipil, teknik industri, teknik mesin dari kampus ternama di Indonesia, narasumber pertama, seorang perempuan, mengatakan bahwa salah satu dosennya (laki-laki) hanya memberikan nilai A pada mahasiswi yang cantik saja.
Sementara mahasiswa yang lain, hanya mendapat nilai C, D dan E. Narasumber lain( juga perempuan), mengungkap bahwa pada salah satu tahun ajaran, pernah ada situasi di mana di kelas tersebut hanya ada satu mahasiswi cantik. Dia saja yang aktif di kelas dan dapat nilai A di akhir kuliah.
Pada saat proses belajar mengajar, dosen hanya berinteraksi dengan mahasiswi yang cantik, dan mahasiswa lain tidak ikut aktif berdiskusi. Yang mencolok adalah ketika take-home exam, yang biasanya mahasiswa menjawab dengan sumber yang sama di mana jawaban mereka seragam, namun hanya mahasiswi cantik tersebut yang dapat nilai A.
Narasumber juga mengungkap bahwa semua kesempatan seperti proyek penelitian, yang dapat kesempatan menjadi asisten peneliti adalah mahasiswi cantik. Dosen tidak membuka kesempatan bagi mahasiswa lain. Oleh karena itu mereka merasa dosen ini tidak transparan dalam memberi kesempatan memperoleh pengalaman akademis.
Baca juga : Mari Mengurai Sampah; Mulai Dari Rumah
Narasumber terakhir (laki-laki) juga mengeluhkan soal transparansi nilai. Ia dan rekannya bahkan melaporkan masalah ini pada ketua program studi, namun tidak mendapatkan tanggapan yang memuaskan.
Pada mata kuliah nonkuantitatif di mana terjadi interaksi antara dosen dan mahasiswa, mahasiswa yang ganteng dan cantik yang mendapat kesempatan untuk berinteraksi lebih intens dengan dosen, memperoleh nilai lebih tinggi.
Namun pada masa covid-19, di mana pembelajaran dilakukan secara daring dan tidak ada interaksi karena pandemi, mahasiswa ganteng tetap memperoleh nilai tinggi sedangkan mahasiswi cantik perolehan nilainya menurun.
Studi di Indonesia ternyata menggambarkan situasi subjektivitas, diskriminasi guru dan dosen di Indonesia dalam pendidikan dan pengajaran juga sangat lazim terjadi. Ini jelas merugikan semua peserta didik, termasuk peserta didik yang ganteng dan cantik.
Kenapa? Karena nilai yang mereka peroleh tidak mencerminkan capaian kompetensi dan potensi mereka yang sesungguhnya. Oleh karena itu, mendesak didorong sikap objektif guru dan dosen dalam proses belajar mengajar, agar semua peserta didik mendapat kesempatan yang sama untuk bertumbuh ke arah yang lebih baik.
Foto: Trueid