Depoedu.com – Dalam waktu yang hampir bersamaan muncul kasus perilaku seks menyimpang di banyak tempat di Indonesia. Pelakunya mulai dari orang dewasa hingga anak di bawah umur. Bulan Februari yang lalu muncul kasus incest di Lampung, seorang ayah memperkosa anak perempuannya berusia 18 tahun, bersama dua anak laki-lakinya, berusia 24 dan 15 tahun.
Bulan ini, seperti dilansir di detik.com, siswa SMP dan siswa SD di Probolinggo berusia 18 dan 13 tahun, memperkosa siswa SMA hingga hamil. Pada waktu yang bersamaan, dilansir di detik.com pula kasus kecanduan seks sejenis dari 19 bocah berusia 12 tahun di Garut. Sesungguhnya kasus-kasus ini hanya fenomena gunung es, karena sesungguhnya kasus yang tidak terpantau media jauh lebih banyak. Banyak pihak membaca gejala ini sebagai krisis keluarga dan sekolah, krisis lembaga pendidikan kita.
Faktor Pemicu
Ketika ditelusuri lebih jauh, faktor pemicunya adalah kebiasaan mengakses dan menonton video porno. Pada kasus Lampung misalnya, dua bersaudara SA dan YF memperkosa korban yang berkelainan mental karena dipicu oleh seringnya dua bersaudara ini menonton film porno di handphone milik SA. Korban bahkan kerap dipaksa menonton film porno bersama.
Faktor pemicu yang sama juga terjadi pada kasus Probolinggo dan kasus Garut. Pada kasus Probolinggo, kedua pelaku kecanduan film porno yang mereka akses pada handphone mereka. Sedangkan pada kasus Garut, anak-anak bersama-sama menonton film porno, bahkan di antara mereka ada yang terbiasa menonton film porno sejak masih di kelas 3 SD hingga sekarang telah berada di kelas 6 SD.
Dampak Psikologis
Jika terpapar pornografi, anak-anak yang terpapar akan sulit fokus dan berkonsentrasi karena tidak berhenti membayangkan adegan seks yang mereka saksikan. Oleh karena itu, aktivitas sehari-hari seperti bersekolah, akan terganggu. Demikian pula halnya dalam bersosialisasi. Di samping itu, dalam banyak kasus juga muncul symptom seperti gelisah dan mudah terangsang secara seksual. Sementara itu, pada usia remaja, mereka belum memiliki pengendalian diri yang baik dan pegangan nilai di satu pihak. Di pihak lain, mereka belum memiliki pasangan hidup, suami atau istri. Inilah yang menjelaskan mengapa muncul kasus pemerkosaan dan seks menyimpang di kalangan remaja. Situasi ini tentunya menginterupsi pertumbuhan yang normal pada mereka sebagai remaja.
Apa Antisipasi Kita?
Memperhatikan situasi ini, langkah antisipasi perlu segera diambil oleh pihak-pihak terkait.
Pertama, orang tua perlu mempunyai waktu untuk mendampingi anak dan remaja. Setiap hari orang tua menjadwalkan waktu untuk berkoneksi dengan anak dan remaja. Simpan gawai kita. Dengarkan mereka. Berempati terhadap keprihatinan dan harapan mereka, lihat dari sisi pandang mereka. Mereka lebih membutuhkan telinga kita daripada nasehat kita.
Kedua, sekolah-sekolah kita hendaknya lebih berorientasi pada pertumbuhan peserta didik sebagai pribadi, bukan pada pengembangan lembaga, mengejar target kurikulum. Pengajaran guru hendaknya lebih menantang dan menginspirasi peserta didik untuk mengejar mimpi masa depan. Program pendampingan hendaknya lebih berorientasi pada pencegahan daripada penyembuhan. Oleh karena itu maka guru-guru hendaknya terus belajar mengembangkan diri.
Ketiga, stake holder yang lain seperti Kementrian Pendidikan, lembaga-lembaga di bawahnya, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan lembaga-lembaga terkait, agar segera berhenti menjadi pemadam kebakaran. Lembaga-lembaga ini diharapkan lebih proaktif mendorong program-program pencegahan. Membangun dan mendorong budaya mendidik di sekolah-sekolah dan keluarga kita.
Inilah cara menghentikan krisis lembaga pendidikan kita. Jika tidak dilakukan, krisis ini akan menghancurkan satu generasi kita. Padahal masa depan bangsa ini ada di tangan mereka. (Foto: wecare4them,com)