Depoedu.com – Saya berusaha agar tulisan ini tidak jadi ‘cocoklogi’. Berusaha mendekatkan peristiwa Natal dengan momen kampanye politik saat ini. Dalam konteks tertentu, peristiwa Natal bersinggungan erat dengan momen tahun politik.
Minimal, dalam tulisan ini, saya berupaya menjadikan pesan Natal sebagai pendekatan untuk membangun harapan baik di tahun politik.
Saya membatasi diri untuk tidak menulis tentang peristiwa Natal dari sudut pandang keyakinan saya. Saya merasa masih jauh dari kapasitas untuk itu.
Tulisan ini sedikit banyak terinspirasi dari kotbah Romo Yosef Natalis Kurnianto, Pr. pada Misa Natal pagi di Gereja St Ambrosius Villa Melati Mas. Tentu Romo Natalis tidak berbicara tentang politik pada khotbahnya tersebut.
Dari Kotbah Romo Natalis tersebut, saya membangun harapan bahwasanya peristiwa Natal bisa menginspirasi siapa saja dalam tahun politik ini untuk mendekatkan diri pada calon konstituennya.
Pertama; Natal adalah wujud solidaritas keluar.
Romo Natalis melukiskan konteks palungan Natal tempat kelahiran Yesus di Betlehem saat itu sebagai semacam tempat persinggahan para peziarah. Mereka yang tidak kebagian penginapan, atau mereka yang memang tidak mencari penginapan melainkan mencari tempat-tempat persinggahan yang tentu saja gratis untuk mereka tinggali semalam.
Mereka yang singgah ke palungan di Betlehem itu tentu berasal dari berbagai golongan orang. Tentu dengan latar belakang yang beragam juga.
Baca juga : Isu Kesehatan Mental Mahasiswa, Belum Menjadi Isu Penting Dalam Pengelolaan Universitas Di Indonesia
Pun keluarga Bapa Yosef dan istrinya Maria yang sedang hamil besar. Palungan di Betlehem itu adalah tempat singgah murah meriah oleh orang-orang biasa. Bukan pejabat politik, bukan orang penting.
Tentang orang-orang biasa ini, sekali lagi dalam kitab suci digambarkan dengan jelas bahwa kabar kelahiran di Betlehem justru lebih awal diberitakan oleh para malaikat kepada para gembala. Bukan kepada penguasa, bukan kepada orang-orang penting.
Peristiwa Betlehem justru jauh dari pusat kekuasaan, jauh dari orang-orang penting. Natal barangkali ditujukan kepada orang-orang biasa. Golongan jelata.
Maka kekuasaan yang sesungguhnya sedang diperebutkan hari ini seharusnya menjadi tanda solidaritas pemegang kekuasaan kepada rakyat jelata. Kekuasaan bukan tujuan. Kekuasaan adalah jalan untuk mendekatkan kesejahteraan dari negara kepada seluruh rakyat tanpa kecuali.
Kekuasaan yang hanya jalan ini, tentu membuat kita semua sadar bahwa memperebutkan kekuasaan tidak harus dengan gontok-gontokan. Berselisih apalagi sampai berkelahi.
Peristiwa Betlehem adalah solidaritas puncak Allah – Manusia. Politik adalah jalan solidaritas penguasa kepada rakyat, kaya ataupun miskin, pendukung maupun lawan politik. Bonum Commune.
Kedua: Natal juga Solidaritas ke dalam.
Kelahiran adalah peristiwa alamiah keluarga. Sesuatu yang wajar terjadi. Natal menjadikan kelahiran yang alamiah dan biasa ini menjadi sebuah wacana. Bahwa Yang Illahi juga hadir dalam kemanusiaan fana kita.
Baca juga : Guru Dan Tenaga Kesehatan Jadi Prioritas MenPAN RB Dalam Rekrutmen CPNS Tahun 2024
Yang Ilahi, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Kasih juga mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi, lewat peristiwa Natal.
Karena itu Natal juga menjadi tanda solidaritas ke dalam, sebuah panggilan untuk menghadirkan Kerahiman Ilahi kepada siapapun yang ada di sekeliling kita.
Panggilan yang sama kepada para politisi kita, bahwa seharusnya kehadiran mereka di tengah-tengah konstituennya juga membawa serta panggilan Natal agar dalam setiap perjumpaan dengan masyarakat mereka membawa harapan perubahan ke arah yang lebih baik, bukan perselisihan dengan lawan politik.
Panggilan Natal yang sama juga ditujukan kepada siapa saja, agar kehadiran Kerahiman Ilahi dalam pengalaman manusiawi itu, boleh dialami oleh siapa saja di sekitar kita.
Karena orang lain bisa saja mengalami pengalaman Kerahiman Ilahi lewat kehadiran Anda maka setiap tindakan, setiap tutur dan laku, harus dapat mewakili Kerahiman Ilahi sendiri.
Barangkali ini pesan yang teramat ideal, jika disematkan pada politisi kita. Namun pesan Natal seharusnya menjadi pegangan dari setiap anggota keluarga, bahwa kita harus menghadirkan pengalaman Kerahiman Ilahi kepada siapapun mulai dari keluarga terkecil kita.
Jadi benar apa yang disampaikan oleh Ibu Teresa dari Kalkuta bahwa “Jika Ingin mewujudkan Perdamaian Dunia, Pulanglah dan Cintai Keluarga kita masing-masing. Familia Bonita.
Foto: Suara Surabaya
Tulisan ini pernah tayang di eposdigi.com, ditayangkan kembali dengan seizin penulis.