Depoedu.com – Militansi tidak sekedar berteriak dan harus menang dalam setiap pertandingan. Bukan juga soal tiap mereka bertanding kita wajib menonton.
Militansi pertama-tama adalah kecerdasan menata hati, perasaan dan emosional serta kebijaksanaan untuk menerima hasil apapun yang terjadi dari pertandingan itu.
Dalam sebuah pertandingan sepak bola yang dicari bukan hanya soal siapa yang menang dan siapa yang kalah, tapi yang paling bernilai dan bobot mutu dari sebuah pertandingan adalah kemampuan dan keberanian untuk menerima hasil pertandingan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Kalah dalam pertandingan, namun ketika kekalahan itu diterima dengan kepala dingin, tulus dan rendah hati maka sejatinya itu adalah kemenangan sejati.
Pemenang sejati adalah bukan hanya pada saat pertandingan namun yang mengedepankan nilai-nilai peradaban moral dan etika.
Baca Juga: Bima Sakti: Akhlak Pemain Sepak Bola Sangat Penting, Setelah itu Baru Ilmu Bermain Sepak Bola
Maka yang perlu ditanamkan adalah; “boleh kalah dalam pertandingan, tapi menjadi pemenang diluar lapangan maupun pertandingan, yaitu keterbukaan menerima kekalahan.”
Karena kekalahan itu bukan berarti kita bermain lebih buruk dari tim lawan, tapi kadang juga karena ketidakmampuan kita mengontrol hati, perasaan dan emosi ketika sedang mengontrol bola dalam pertandingan.
Bisa jadi, sebagai suporter merasa percaya diri bahwa timnya lebih baik daripada tim lain sehingga kepercayaan diri yang tidak sesuai dengan hasil yang diterima akhirnya menimbulkan rasa malu yang menyulut emosi, menuntut kebijaksanaan dan kecerdasaan dalam berpikir dan bertindak.
Sebuah perjuangan hingga tuntas tidak hanya membutuhkan kekuatan massa, tapi membutuhkan kecerdasan hati dan perasaan dalam mengelolah bola.
Akan tetapi juga termasuk kecerdasan hati dan perasaan dalam mengontrol mental kita untuk menerima kekalahan tanpa mempersalahkan siapapun hanya untuk membenarkan tindakan anarkis yang tidak benar dan memang tidak disetujui oleh siapapun.
Baca Juga: Son Heung-Min: Tetap Merendah Walau di Puncak
Ketika mencari penyebab dari sebuah kericuhan yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam sebuah pertandingan maka sama-sama akan mencari pembelaan dan pembenaran yang berujung pada saling mempersalahkan bahkan yang tidak terlibatpun pada akhirnya dipersalahkan.
Ketika usaha mencari pembenaran hanya didasarkan pada kepingan ataupun potongan video dan cerita bertaburan tanpa mengetahui awal mula persoalan maka masing-masing bertahan dengan pandangan dan pembelaan diri yang berujung pada sikap saling mempersalahkan dan menghakimi.
Dengan demikian maka efek dari tindakan yang merugikan pihak lain bahkan menimbulkan kerusakan dianggap wajar sebagai pelampiasan kemarahan yang semua sependapat bahwa tindakan yang merusak dan merugikan orang lain tidak dibenarkan dan pantas dikutuk.
Jika kita sependapat bahwa tindakan merusak dan merugikan orang lain adalah tidak benar dan pantas dikutuk, maka keberanian untuk mengakui salah dan meminta maaf adalah sebuah peradaban bermoral dan beretika yang memperlihatkan bahwa kita menjadi pemenang.
Namun selama itu tidak pernah ada maka kita sedang mengalami kekalahan yang paling tragis yaitu ketidakmampuan menaklukan keegoisan diri sendiri.
Yang lebih memprihatinkan bahkan menjadi sebuah tragedi nurani ketika tindakan kekerasan dan pengrusakan dibenarkan dengan melihat serta membandingkan tindakan anarkis di daerah dan negara lain saat ada pertandingan sepak bola sehingga dianggap wajar.
Jika itu yang mau dikedepankan maka kita memang tidak ada niat untuk mengubah mental dan perilaku buruk menjadi lebih baik dan benar.
Baca Juga : Tawuran sebagai Representasi dari Krisis Identitas Remaja
Artinya kita membiarkan mental dan perilaku anarkis untuk terus bertumbuh subur menjajah nurani kemanusiaan kita.
Setiap pertandingan mengajarkan kita untuk menjadi seorang pemain dan penonton yang militan namun cerdas yang tidak hanya pandai mengontrol dan menguasai bola namun juga cerdas mengontrol hati, pikiran dan perasaan.
Demikian juga yang tidak hanya ramai berteriak histeris namun juga harus berani mengatakan tidak dalam sebuah keheningan dan ketenangan ketika hasil yang kita terima tidak sesuai dengan teriakan histeris kita.
Tragedi Malang adalah gambaran jelas bahwa dalam pertandingan sepak bola yang kita kedepankan adalah euforia hasil dan bukan menjadikan sebagai sebuah seni mengolah jiwa dan rasa sampai pada kemampuan mengontrol emosi dan menerima setiap hasil dari pertandingan itu.
Singkatnya, kita semua harus berani mengatakan pada diri sendiri; “Sarungkan pedangmu (keegoisan, mental anarkis dan keburukan) kembali” (Mat 26:25) dan keluarkan mutiara kebaikan dan kebenaran untuk dinikmati bersama entah kalah maupun menang.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis. / Foto : tempo.co
[…] Baca juga : Di Indonesia: Pertandingan Bola Bukan Seni Mengolah Dan Mengontrol Emosi! […]