Depoedu.com-Pandemi SARS COV-2 ini sangat mengacak-acak berbagai sendi kehidupan. Meskipun demikian ada berkat keajaiban yang masih bisa kita rasakan. Pandemi ini mempercepat perubahan perilaku digital.
Seperti halnya petuah Charles Darwin, “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent; it is the one most adaptable to change.” Perubahan perilaku digital yang sangat cepat ini akan memunculkan 2 hal: survive atau extinct.
Siapakah yang akan “punah” karena mengalami ketertinggalan? Lalu siapakah yang akan tetap “bertahan hidup” di era digital yang VUCA: penuh gejolak (Volatility), tidak pasti (Uncertainty), rumit (Complexity), dan serba kabur (Ambiguity)?
Seperti nasihat Darwin tadi, yang bisa survive adalah yang mampu beradaptasi terhadap perubahan zaman tersebut.
Kemampuan beradaptasi manusia bukanlah gawan bayi (bawaan lahir) seperti halnya materi pelajaran biologi di SD, bunglon yang bisa berubah warna sesuai dengan warna yang ditempati atau aceng gondok yang memiliki batang berongga sehingga bisa mengapung di permukaan air.
Adaptasi manusia bisa dilatihkan dengan membiasakan berpikir dalam mengambil setiap tindakan. Cara berpikir adaptif inilah yang kita kenal dengan HOTS (Higher Order Thinking Skills).
Mengenalkan dan membiasakan HOTS harus didesain dengan matang. HOTS tidak bisa muncul secara tiba-tiba dan bukanlah seperangkat soal untuk mengukur lalu menilai siswa. HOTS harus dimulai dengan desain pembelajaran yang tepat. Prinsip sederhana dalam mendesain pemeblajaran HOTS adalah real world situation.
Entah dengan model, metode, pendekatan, atau strategi pembelajaran apapun; mengenalkan situasi atau fenomena dunia nyata menjadi kunci utamanya. Para siswa harus dikenalkan berbagai hal kontekstual. Maka ada beberapa desain pembejaran yang bisa dilakukan:
- Inkuiri; inkuiri berarti pertanyaan atau penyelidikan untuk menemukan sendiri jawaban suatu Martin, et al. (2005) menyatakan bahwa “inquiry is more than hands-on”. Pembelajaran inkuiri lebih dari sekadar kegiatan yang dilakukan tangan.
Inkuiri merupakan kegiatan berpikir yang menampakkan proses hubungan timbal balik antara suatu objek dengan siswa. Proses yang dilakukan dalam inkuiri digunakan untuk mengeksplorasi pertanyaaan, ide, dan fenomena.
Hosnan (2014) lebih menegaskan lagi cara berpikir yang digunakan dalam pembelajaran inkuiri, yaitu menekankan proses berpikir kritis dan analitis.
Proses berpikir tersebut bertujuan mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang ditanyakan.
Pembelajaran inkuiri yang cocok digunakan untuk mengasah keterampilan HOTS adalah open-ended (terbuka) dan berbasis problem-solving (pemecahan masalah).
Pada inkuiri terbuka, guru berfungsi sebagai fasilitator. Siswa bisa mengajukan pertanyaan yang mendasar dari suatu permasalahan dan siswa menemukan sendiri jawabannya melalui penalaran yang benar.
Guru mengarahkan cara berpikir, alternatif sudut pandang, dan merumuskan pertanyaan baru sebagai hasil pengembangan masalah sebelumnya. Dari proses ini siswa dilatih berpikr secara kompleks dan networking.
Proses pemecahan masalah yang dilakukan siswa akan melibatkan berbagai level kognisi. Siswa memulainya dengan mengidentifikasi dan memahami suatu masalah.
Proses dilanjutkan dengan merumuskan masalah, membuat rencana atau metodologi guna menyelesaikan permasalahan, membuat suatu keputusan, dan mengimplentasikan keputusan atau kesimpulan tersebut.
Baca Juga : Antara Literasi, HOTS, Dan Assesment Kompetensi Minimum
Stobaugh (2013) menawarkan sebuah desain berpikir. Model yang ia sampaikan mampu memberi jalan siswa dalam menyusun suatu struktur pemikiran dan desain solusi permasalahan. Dengan desain ini, siswa melakukan proses kognitif pada level kreasi. Desain yang ditawarkan Stobaugh adalah:
Mengidentifikasi peluang: mengidentifikasi masalah sekolah atau masyarakat dan mengumpulkan informasi tentang masalah
- Desain: brainstorming solusi untuk masalah dan ide penelitian
- Prototipe: mengidentifikasi bagaimana solusinya akan bekerja dengan cara membuat sketsa atau
- Mendapatkan umpan balik: meminta ahli untuk meninjau pekerjaan dan memberikan umpan balik demi
- Skala dan penyebaran: merencanakan pelaksanaannya, termasuk memperhatikan kemungkinan dibentuknya subkelompok kerja untuk menyelesaikan-
- Presentasi: mempresentasikan ide dalam seting otentik, misalnya melalui skype atau tatap muka langsung dengan siswa
2. Model 5W+1H; model ini sudah jamak dilakukan dalam proses pembelajaran di berbagai belahan Tidak hanya pembelajaran, analisis ekonomi, jurnalistik, dan berbagai bidang lainnya banyak menggunakan model tersebut.
Konsep 5 W adalah mengajukan pertanyaan terhadap suatu masalah dengan kata tanya What (apa), Why (mengapa), When (kapan), Where (dimana), Who (siapa), dan How (bagaimana).
Dalam pembelajaran ilmu sosial, kita bisa mengambil contoh kasus merebaknya kebiasaan menyontek diantara para siswa.
Kata tanya | Contoh fokus pertanyaan |
What
(apa) |
Apa yang dapat kita gunakan sebagai bukti bahwa saat ini semakin banyak siswa menyontek?
Apa yang dapat kita lakukan untuk mengatasi masalah tersebut? |
Why (mengapa) | Mengapa semakin banyak siswa menyontek?
Mengapa mengatasi kebiasaan siswa menyontek sangat mendesak dilakukan? |
When
(kapan) |
Kapan siswa mulai menyontek?
Kapan siswa merasa tidak perlu menyontek? |
Where (dimana) | Dimana siswa menyimpan contekannya? |
Dimana kita bisa belajar atau mencari sumber informasi tentang dampak buruk
menyontek? |
|
Who
(siapa) |
Siapa yang biasanya menyontek?
Siapa yang membuat catatan terlebih dulu untuk bahan menyontek? |
How
(bagaimana) |
Bagaimana kita bisa membuktikan bahwa program yang kita buat bisa mengurangi kebiasaan menyontek siswa?
Bagaimana cara mengumpulkan data kebiasaan menyontek siswa? |
3. Solusi; model solusi biasa kita kenal dengan problem based learning atau project based learning. Banyak sekali modifikasi dari konsep pembelajaran “solusi”, misalnya Case-based learning, Challenge-based learning, Community- based learning, Design-based learning, Game-based learning, Inquiry-based learning, Land-based learning, Place-based learning, Problem-based learning, Service-based learning, Studio-based learning, Team-based learning, Work- based learning, dan bahkan Zombie-based learning.
Baca Juga : Kejengahan Literasi Sekolah
Meskipun demikian, ada ciri mendasar semua pembelajaran tersebut yaitu adanya kegiatan merancang, kinerja atau sebuah kegiatan, terjadi proses investigasi topik atau isu untuk mengembangkan jawaban untuk pertanyaan terbuka.
Pada akhirnya semua proses tersebut berujung pada pemecahan masalah dunia nyata (dapat disimulasikan atau sepenuhnya otentik), baik berupa produk baru maupun solusi baru.
Hal yang membedakan dari berbagai jenis pembelajaran “solusi” tersebut hanya pada konteks waktu, tempat, dan tipe aktivitas. Problems had to do with support of student learning, assessment, time and classroom management and the use of technology.
Projects can often take longer than anticipated and can pose problems when looking at curriculum content delivery over a single term.
Another challenge of project-based learning is that there is often a poor fit between the activities that form the day-to-day tasks of the project and the underlying subject matter concepts that gave rise to the project.
4. Kolaborasi; Secara sederhana, berkolaborasi berarti bekerja bersama-sama dengan orang lain. Dalam praktiknya, pembelajaran kolaboratif berarti siswa bekerja secara berpasangan atau dalam kelompok kecil untuk mencapai tujuan pembelajaran bersama (Barkeley, Cross, & Major, 2014: 4).
Pembelajaran ini dilakukan dengan membentuk kelompok yang terdiri dari berbagai karakter dan kecerdasan siswa untuk meningkatkan pemahaman bersama, mencari solusi, dan atau membuat sebuah proyek akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis (Bok, 2006: 118; Maesin, et al.. 2009: 74; Gokhale, 1995: 30; Khoo Yin Yin, Abdul Ghani, & Naser Jamil, 2011: 60-61; Fung & Howe, 2014: 262; Nezami, Asgari, & Dinarvard, 2013: 2513).
Selain itu, terdapat sejumlah bukti dari Aronson, et al. (1998), Cranton (1998), Johnson, et al.. (1991), dan Sharan & Sharan (1992), bahwa kelompok yang bersifat heterogen atau beragam akan lebih produktif dibanding kelompok yang homogen. Kelompok yang bersifat heterogen juga lebih cocok untuk menyelesaikan tugas-tugas multidisipliner (Barkeley, Cross, & Major, 2014: 68).
Baca Juga : Bagaimana Bisa Memberdayakan Murid Jika Gurunya Tidak Berdaya?
Jika mengarah ke pembelajaran HOTS, maka definisi kolaborasi harus ditambah dengan desian multidisipliner atau yang biasa kita kenal dengan pembelajaran terpadu. Kita mengenal IPS Terpadu, IPA Terpadu, STEM, STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, Mathematics), dan lain-lain.
Itu semua didesain agar para siswa semakin berpikir kritis dan kreatif. Melalui pembelajaran terpadu-kolaboratif, para siswa akan terbiasa berpikir kompleks dan membentuk cara berpikir networking (tidak hanya linear).
Yang lebih penting lagi adalah membangun kesadaran para siswa bahwa sebuah fenomena tidak muncul dari sebab tunggal; pun bisa dirumuskan berbagai solusi dari sudut pandang berbeda.
Sebagai contoh, fenomena pandemi COVID-19 ini bisa dianalisis, didekati, dan dirumuskan solusi dari pengetahuan biologi, fisika, kimia, matematika, ekonomi, sosiologi, agama, dan bahkan antropologi.
Berbagai kisah alkitab dari zaman Yesus pun bisa dianalisis tidak hanya dari sudut pandang pelajaran agama, tapi juga sosiologi dan sejarah.
Terima kasih. Salam mendidik … Salam bahagia … Tuhan memberkati!
*) disampaikan dalam rangka pelatihan guru Candle Tree School, Serpong Utara, Tangerang; Sabtu, 24 April 2021
**) guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta; penulis buku HOTS: Konsep, Pembelajaran, Penilaian, Penyusunan Soal Sesuai HOTS (2021, ed. Revisi., Grasindo) dan beberapa buku lainnya
Foto: mindautama.com