Mencapai Integritas Pribadi Adalah Pergumulan Sepanjang Usia

Family Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Pernah saksikan pengemudi motor ataupun mobil nekat menerabas lampu merah yang menyala di hadapan mata? Atau begitu saja memotong jalur kendaraan lain tanpa memberikan sign apa-apa?

Tampaknya bukan fenomena yang langka terjadi di Indonesia. Bahkan konon katanya, untuk melatih kesabaran para pengendara, ruas-ruas jalan Indonesia adalah arenanya.

Di dunia kerja Indonesia, fenomena “pelanggaran” bisa dijumpai dalam bentuk tindakan memperpanjang jam istirahat sesukanya, atau sembunyi-sembunyi melakukan aktivitas untuk kepentingan pribadi pada jam kerja.

Kecenderungan ini menjadi kentara di tengah karyawan yang setia hadir pada waktunya, dan menjalankan tugas sepanjang jam kerja.

Hal serupa pada kedua fenomena di atas adalah bahwa para pelaku tindakan yang tidak semestinya ini berada pada usia dewasa. Setidaknya demikian bila kita berasumsi bahwa setiap pengendara Indonesia membutuhkan SIM yang mensyaratkan usia minimal 17 tahun.

Juga bahwa pekerja kantor atau karyawan sebuah lembaga di Indonesia umumnya telah melewati pendidikan minimal setara SMA.

Tanpa bermaksud menggeneralisasi, penggunaan kata Indonesia di atas merujuk pada hasil survei Digital Civility Indeks tentang perilaku Netizen Indonesia dalam ber-sosial media. Ulasan mengenai hal ini diangkat dalam tulisan di rubrik family talk pada portal pendidikan depoedu.com edisi 26 Februari 2021 lalu.

Baca Juga: Survey Digital Civillity Indeks; Kesopanan Neitizen Indonesia Paling Buruk Se-Asia Tenggara

Tulisan berjudul Survei Digital Civility Indeks; Kesopanan Netizen Indonesia Paling Buruk se-Asia Tenggara tersebut mengungkap data bahwa pelaku dominan dalam hal ini adalah orang dewasa.

Fakta tentang kematangan orang dewasa yang tidak terepresentasi dalam kebiasaan bermedia dan perjumpaan di dunia maya ini menjadi pertanyaan yang dapat memantik diskusi lebih lanjut.

Bagaimana tidak? Ironis bahwa orang Indonesia yang sama, melalui sebuah survey yang berbeda, menempatkan Indonesia pada urutan ke-6 dari 62 negara, di daftar negara-negara dengan penduduk lokal ter-ramah pada turis. Dengan demikian tulisan tersebut memberikan gambaran berbedanya perilaku orang dewasa Indonesia di dunia nyata dan di dunia maya.

Mengawali diskusi tentang hasil survey tersebut, tulisan ini mengangkat dua fenomena di atas. Pelaku tindakan tidak semestinya pada kedua situasi tersebut adalah orang dewasa. Selain itu, pada kedua situasi tersebut, ada sosok berwenang yang menjadi penentu tampak dan hilangnya fenomena.

Saat polisi lalu lintas berjaga, kondisi jalan relatif aman dari tindakan pelanggaran. Demikian pula ketika pimpinan unit kerja hadir dan mengawasi, tata tertib yang berlaku bagi karyawan cenderung akan dipatuhi.

Bagi sebagian kita, fenomena di atas sudah menjadi hal biasa, terlalu banyak dijumpai di mana-mana, mempersoalkannya justru menjadi mengada-ada. Namun ketika keprihatinan yang dimaklumi ini tampil di pentas dunia sebagai wajah Indonesia, apakah kita bersedia terima?

Usia dewasa memang melahirkan peluang lebih besar dalam hidup. Lebih banyak kategori novel yang boleh dibaca, lebih ragam pilihan film yang bisa disaksikan, bisa membuka akun pribadi untuk berbagai kepentingan, dan banyak lagi.

Baca Juga: Dunia Maya Vs Dunia Nyata

Tak heran bila sejumlah kalangan menandai kehadiran usia dewasa secara istimewa. Banyak remaja muda menantikan datangnya usia ini sedemikian rupa, dan punya kebanggaan tersendiri setelah mencapainya.

Padahal, semua yang dianggap sebagai privilege usia dewasa tersebut bisa ada karena asumsi bahwa pada usia itu kematangan seluruh aspek kepribadian sudah diraih. Sudah ada kematangan intelektual untuk menilai sesuatu baik atau buruk, benar atau salah.

Ada kematangan moral untuk mengambil keputusan berdasarkan kebenaran dan kebaikan. Kemudian ada kekuatan untuk mendorong diri atau justru mengendalikan diri, saat mengeksekusi keputusan dalam bentuk tindakan.

Menjadi persoalan ketika ternyata asumsi tidak sepenuhnya terjadi. Keberadaan polisi lalu lintas sebagai penjamin dipatuhinya aturan jalan raya, menjadi bukti pernyataan ini pada sejumlah orang dewasa. Demikian juga kehadiran pimpinan unit kerja sebagai figur otoritas bagi para karyawan.

Ternyata pengetahuan akan tindakan benar dan baik yang sudah dimiliki sebagai orang dewasa, tidak serta merta mengarah pada kesadaran moral untuk memilihnya sebagai hal yang aktual dilakukan.

Tampaknya karena tindakan benar kerapkali lebih sulit dilakukan dan lebih tak menyenangkan, maka sejauh tidak ada pengawasan, tindakan yang lebih mudah dan menyenangkan akan lebih dipilih untuk dilakukan, meski salah sekalipun.

Tak heran, sejumlah kajian menyimpulkan bahwa perilaku orang Indonesia lebih dimotivasi oleh rasa malu daripada rasa bersalah. Rasa malu dialami dalam kaitan dengan keberadaan orang lain, saat perilaku buruk yang dilakukan dilihat dan diketahui orang lain.

Baca Juga: Semakin Sibuk, Semakin Dirimu Butuh Keheningan!

Sementara rasa bersalah dialami dalam diri, berupa kegelisahan hati saat tindakan yang dilakukan bukan tindakan benar.

Perilaku netizen Indonesia bisa dijelaskan dengan ukuran ini. Dalam perjumpaan face to face, di dunia nyata, wajah sosok lawan bicara ikut menentukan pola reaksi. Ketika tampak ekspresi kurang berkenan, kita menjadi ragu bicara, memutuskan untuk membatalkan kalimat terencana, bahkan spontan meminta maaf.

Ekspresi lawan bicara yang ditangkap secara visual bisa menjadi rem, bantu pegang kendali untuk bertindak lebih benar dan lebih bisa diterima.

Sementara di dunia maya, dalam percakapan teks, tanpa tampilan wajah lawan bicara, situasi emosi pribadi menjadi penentu satu-satunya, seperti apapun kalimatnya. Ketika emosi negatif yang dialami, pernyataan-pernyataan negatif dalam kategori tidak sopan bisa muncul tanpa kendali.

Dalam hal ini memang paparan konten negatif yang menjadi santapan sehari-hari di dunia maya, sungguh bisa menjadi pemicu, sebagaimana dijelaskan pada artikel tersebut. Namun sebagai pribadi dewasa, bukankah pilihan untuk menjadi terpapar atau tidak sepenuhnya ada di tangan kita?

Jangan-jangan kedewasaan tidak terepresentasikan dalam kebiasaan bermedia dan perjumpaan di dunia maya bukan terutama karena terpapar isu kekerasan, tetapi sebagai akibat dari pilihan untuk melepas kendali, karena toh tidak akan ketahuan.

Mengacu pada teori perkembangan moral menurut Lawrence Kohlberg, melakukan tindakan benar semata demi memperoleh pujian atau terhindar dari hukuman merupakan ciri dari tahap pra-konvensional, dengan orientasi pada kepatuhan dan takut akan hukuman.

Baca Juga: Sikap Dan Perilaku Positif, Produktif, Dan Kontributif

Ini adalah jenjang paling awal dalam tahapan perkembangan moral. Tahap ini dialami oleh anak yang belum memiliki standard moral, cenderung mengarahkan moralitasnya semata pada dampak fisik yang diterima dari tindakannya.

Berada di tahap perkembangan moral ini pada usia dewasa, membuka kemungkinan seseorang memanfaatkan semua privilege orang dewasa demi tercapainya kepentingan pribadi.

Batasannya hanya pada fakta ‘tidak ketahuan’ agar terhindar dari hukuman. Maraknya kasus korupsi yang jelas-jelas menjadi tindakan seseorang pada usia dewasa, bisa berkaitan dengan kecenderungan ini.

Idealnya, pada usia dewasa seseorang telah mencapai tahap pasca konvensional, khususnya tahap terakhir yang dikenal sebagai moralitas prinsip-prinsip individu. Pada tahap ini, kebenaran didasari oleh hati nurani yang memuat pertimbangan terhadap nilai-nilai universal.

Berada di tahap perkembangan moral ini, seseorang akan lebih ditentukan oleh suara hatinya dalam memutuskan suatu tindakan. Mengacu pada nilai-nilai hidup sebagai bahan pertimbangan, ia akan melakukan tindakan baik dan benar dengan ataupun tanpa pengawasan.

Ini adalah gambaran pribadi berintegritas, menampilkan kesatuan yang utuh, kesesuaian antara kata dan tindakan sehingga memancarkan kewibawaan dan kejujuran.

Kualitas pribadi seperti ini semestinya menjadi penanda kedewasaan manusia. Karena dewasa bukan semata ditandai oleh usia, melainkan oleh kesetiaan pada nilai-nilai hidup yang terwujud dalam pikiran, perkataan, dan tindakan.

Foto: seputarilmu.com

5 1 vote
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
oldest
newest most voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Baca juga : Mencapai Integritas Pribadi Adalah Pergumulan Sepanjang Usia […]