Depoedu.com – Pembagian hasil belajar selama satu tahun pelajaran sudah dilaksanakan. Apakah masih ada keluhan dengan proses pembelajaran daring di masa pandemi? Ataukah sudah mulai berdamai dengan kenyataan?
Lalu, bagaimana dengan para pendidik? Apakah juga sudah mulai berdamai dengan situasi sulit ini? Apakah sudah mampu mengemas pembelajaran daring yang menarik dan tidak merepotkan (baik bagi diri sendiri, peserta didik, maupun orangtua)?

Kita semua menyadari pandemi ini menyebabkan adanya perubahan. Perubahan ini memaksa semua manusia untuk beradaptasi. Siapa tau tidak, kehidupan harus terus berjalan. Suka atau tidak suka, adaptasi memang harus dilakukan.
Di bidang pendidikan, perubahan terasa meski pembelajaran di era industri 4.0 sudah didengungkan sejak beberapa waktu lalu. Perkembangan di bidang teknologi dan informasi menjadi salah satu daya dukung yang harus dimaksimalkan.
Situasi pandemi ini menjadi pelontar yang sangat baik di dunia pendidikan Indonesia. Pembelajaran jarak jauh, yang semula hanya digunakan untuk menjangkau tempat terpencil saja atau melayani kebutuhan khusus, kini menjadi bentuk pembelajaran yang dilaksanakan secara serempak di semua tingkatan pendidikan.
Baca Juga : Pendidikan Nasional dan Revolusi Industri 4.0
Namun, sebagaimana dikemukakan Pelaksana tugas Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Hamid Muhammad, di Indonesia terdapat tiga kelompok dalam pembelajaran daring [1].
Kelompok pertama, peserta didik yang sudah siap dengan pembelajaran daring karena sekolah sudah menerapkan sebelum pandemi terjadi. Kelompok kedua, kelompok peserta didik yang selama ini sudah melaksanakan pembelajaran semi daring. Kelompok ketiga, kelompok yang tidak memiliki akses internet, listrik, dan televisi.
Dengan kondisi sarana dan prasarana yang tidak merata inilah, terjadi kegagapan dalam pelaksanaan pembelajaran daring [2].
Kita dengan mudah menemukan berbagai keluhan orangtua yang tersebar di media sosial. Keluhan tersebut dimulai dari sulitnya mengatur waktu, bentuk dan jenis tugas yang diberikan, hingga sarana prasarana yang tidak mendukung.
Hal tersebut wajar terjadi. Harus diakui, pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya didukung dengan ketersediaan infrastruktur digital yang merata sebagai prasyarat utama pembelajaran jarak jauh [3].
Namun, kita tetap tidak bisa diam menunggu. Tentu saja kita juga tidak bisa hanya saling menyalahkan. Oleh sebab itu, beberapa perubahan harus dilaksanakan bersama-sama.
Salah satu yang bisa melakukan perubahan itu adalah pendidik. Ada beberapa hal yang bisa dilaksanakan oleh pendidik dalam menyikapi situasi ini.
Pertama, pendidik bisa mulai melaksanakan pembelajaran yang fleksibel [4]. Pembelajaran ini memiliki tiga karakteristik yaitu, menawarkan beragam pilihan yang melibatkan berbagai dimensi pembelajaran, memusatkan kegiatan pembelajaran pada peserta didik, dan memberi tanggung jawab lebih pada peserta didik untuk pengaturan diri.
Dari uraian diatas, pendidik dapat mengemas kegiatan pembelajaran yang mengajak peserta didik untuk lebih aktif. Tidak hanya itu, peserta didik dapat memanfaatkan berbagai hal di sekitarnya untuk menjadi bahan pembelajaran.
Sebagai contoh, pada materi penulisan paragraf argumentasi di pembelajaran Bahasa Indonesia. Pendidik dapat meminta peserta didik mengamati lingkungan sekitar. Apakah masyarakat di sekitarnya sudah melaksanakan protokol kesehatan secara optimal atau belum?
Dengan menggunakan pertanyaan awal itu, pendidik mengajak peserta didik untuk berdiskusi. Proses diskusi menjadi dasar peserta didik dalam menyampaikan argumentasi. Hasil diskusi atau hasil pemikiran setiap peserta didik kemudian dituangkan dalam bentuk paragraf argumentasi.
Kedua, melakukan peningkatan peran teknologi dalam pembelajaran [4]. Perkembangan teknologi informasi memungkinkan pengajar melaksanakan pembelajaran dalam berbagai format. Dengan demikian, pendidik dapat mengemas materi dan juga tes, sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditetapkan.
Dengan berbagai fitur yang mendukung, pendidik dapat memprogram suatu kegiatan pembelajaran dalam beberapa waktu atau melibatkan proses pengerjaan yang lebih kompleks. Artinya dalam satu waktu pembelajaran, pendidik tidak harus melaksanakan tes atau memberikan ujian.
Kendala sinyal atau hal lain bisa menyebabkan pembelajaran yang tadinya dirancang mencapai beberapa tujuan, pada akhirnya hanya bisa mencapai setengahnya saja. Jadi, pelaksanaan pembelajaran daring ini menjadi mirip dengan pembelajaran tatap muka.
Tidak setiap pertemuan harus diakhiri dengan tes untuk mengukur pengetahuan atau keterampilan peserta didik. Dengan kata lain, tidak perlu memaksakan diri untuk melaksanakan evaluasi (yang mempengaruhi nilai akhir).
Pada contoh yang telah dipaparkan diatas, peserta didik dapat menetapkan target kerja yang jelas. Misalnya, waktu pengamatan dilaksanakan selama satu hari.
Kemudian, pada waktu pembelajaran, pendidik membuka sessi diskusi. Sessi diskusi ini dapat difasilitasi dengan berbagai aplikasi seperti zoom meeting bahkan diskusi menggunakan whatsapp group (WAG).
Hal ini mungkin akan sulit dilakukan di awal. Sebagaimana kita ketahui, para pendidik sudah membuat rencana pembelajaran. Perubahan proses pembelajaran di tengah tahun ajaran ini mungkin menyebabkan adanya gegar budaya.
Baca Juga : Jika Buah Hati Mengalami Cyber Bullying, Bagaimana Membantunya?
Pada interaksi langsung di kelas, pendidik terdorong menjadi pusat informasi. Peraturan di sekolah, seperti tidak membawa gadget di kelas, mendorong peserta didik mendapatkan informasi hanya dari pendidik atau buku teks.
Ketika pelaksanaan pembelajaran dilakukan secara daring, peserta didik memiliki kesempatan untuk mengakses sumber informasi lain. Hal ini baiknya tidak menjadi ganjalan melainkan dimanfaatkan untuk mendukung proses pembelajaran.
Jadi, bukan hanya tujuan pembelajarannya yang disesuaikan, tetapi proses mencapai tujuan tersebut juga perlu direncanakan ulang. Artinya, semua lini harus bersinergi mencapai tujuan yang sama.
Jangan sampai anak-anak bangsa dikorbankan karena semua pihak terlalu nyaman di perannya masing-masing. Pendidik sudah terlalu nyaman menjadi satu-satunya pusat informasi dan mewujud dalam proses pembelajaran daring yang tidak disesuaikan.
Peserta didik terlalu nyaman mendapat curahan informasi dari satu pihak lalu menjadi malas mencari literatur lain untuk mengomparasikan ide dan informasi yang diterimanya. Juga orangtua terlalu nyaman karena merasa sudah membayar sehingga tidak terlibat dalam proses pembelajaran.
Situasi ini harus dihadapi bersama-sama. Tidak perlu saling menyerang dan mengeluh. Ini saatnya kita melakukan berbagai upaya untuk memenangkan situasi ini termasuk di bidang pendidikan.
Sebab, istilah zona nyaman di segala lini kehidupan termasuk pendidikan sebenarnya bersifat nisbi. Pilihannya hanya terus bergerak tidak hanya sekadar optimis maju.
* Penulis adalah Dosen Universitas Katolik Musi Charitas Palembang.
Referensi
[3]https://kolom.tempo.co/read/1342106/pembelajaran-jarak-jauh-di-masa-pandemi/full&view=ok