Depoedu.com – Pada edisi kemarin, Eduers telah membaca tentang kebijakan Merdeka Belajar yang meliputi USBN, UN, RPP, dan PPDB Zonasi. Kebijakan ini terkait sekolah Dasar dan menengah. Sedangkan pada edisi hari ini, seluruhnya terkait kebijakan tentang perguruan tinggi, yang disebut Kampus Merdeka.
Kampus Merdeka
Kebijakan Kampus Merdeka adalah kelanjutan kebijakan Merdeka Belajar untuk mendorong transformasi dalam pengelolaan perguruan tinggi.
Kebijakan yang pertama adalah otonomi bagi peguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dalam membuka program studi yang baru.
Sejumlah kriteria diberlakukan bagi perguruan tinggi yang diberi otonomi untuk membuka program studi baru yakni, perguruan tinggi yang memiliki akreditasi A dan B.
Otonomi membuka program studi baru juga diberikan pada perguruan tinggi yang telah melakukan kerja sama dengan organisasi seperti PBB, Bank Dunia, USAID, atau dengan BUMN. Selain itu otonomi untuk mendirikan program studi baru juga diberikan pada perguruan tinggi yang termasuk dalam QS Top 100 World University.
Program studi baru yang dibuka, secara otomatis akan berakreditasi C. Ketentuan otonomi pendirian program studi baru ini tidak berlaku untuk Fakultas Kesehatan dan Fakultas Pendidikan.
Pelibatan organisasi dan universitas dalam peringkat QS Top 100 University dalam proses pendirian program studi baru tersebut diharapkan mencakup penyusunan kurikulum, praktek kerja magang, dan penempatan kerja bagi calon alumni. Kemendikbud akan bekerja sama dengan perguruan tinggi dan organisasi mitra untuk mengawasi proses pengelolaan program studi tersebut.
Kebijakan ini diluncurkan agar perguruan tinggi sebagai ujung tombak penting penyiapan SDM, lebih cepat berinovasi, lebih lincah beradaptasi dengan kebutuhan dunia kerja.
Baca Juga : Gebrakan Nadiem Makarim di 100 Hari Pertama Memimpin Kemdikbud (bagian pertama dari dua tulisan)
Kebijakan Kampus Merdeka yang kedua adalah program reakreditasi yang bersifat otomatis, untuk seluruh peringkat, dan bersifat suka rela, bagi perguruan tinggi dan program studi yang sudah siap naik peringkat.
Proses reakreditasi dapat diajukan paling cepat setelah dua tahun akreditasi baru diterbitkan. Pengajuannya dapat dilakukan kapanpun, bagi perguruan tinggi dengan akreditasi B dan C.
Bagi perguruan tinggi yang berhasil mendapatkan akreditasi dari lembaga akreditasi internasional, akan secara otomatis diberi akreditasi A oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN).
Namun akan dilakukan evaluasi oleh BAN Perguruan Tinggi, jika ditemukan penurunan kualitas. Hal terakhir dapat diketahui melalui pengaduan masyarakat, tentu dengan bukti-bukti konkrit. Atau jika terjadi penurunan tajam jumlah mahasiswa baru yang mendaftar. Atau menurunnya jumlah lulusan dari program studi atau universitas.
Kebijakan Kampus Merdeka yang ketiga terkait kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU), dan Satuan kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum, tanpa terikat status badan akreditasi.
Saat ini, PTN BLU harus mendapat akreditasi A untuk memperoleh status PTN BH. Selain itu, PTN BLU dan Satker, kurang memiliki fleksibilitas dalam financial dan kurikulum.
Kebijakan ini memberi PTN BLU kemudaha untuk menjadi PTN BH. Ini diperuntukkan bagi PTN BLU yang mau, tidak ada paksaan.
Dengan demikian, setelah menjadi PTN BH, mereka masih didanai oleh pemerintah, tetapi bisa beroperasi seperti perguruan tinggi swasta.
Kebijakan Kampus Merdeka yang keempat terkait redefinisi pengertian Satuan Kredit Semester (SKS), serta pemberian hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar program studinya.
Perguruan tinggi wajib memberikan hak bagi mahasiswa untuk secara sukarela mengikuti program magang di luar kampus sebanyak 2 semester atau setara 40 SKS.
Di samping itu, mahasiswa juga diizinkan untuk mengambil SKS di program studi lain di dalam kampusnya, sebanyak 1 semester dari total semester yang harus ditempuh. Ini tidak berlaku bagi program studi kesehatan.
Terkait kebijakan redefinisi tentang SKS, kebijakan ini mengubah pengertian SKS sebagai jam kegiatan, bukan lagi jam belajar.
Maka kegiatan dapat berarti belajar di kelas, magang, atau praktek kerja industri atau organisasi, pertukaran mahasiswa, pengabdian masyarakat, wirausaha, riset, studi independen, maupun kegiatan mengajar di daerah terpencil.
Kegiatan-kegiatan yang dipilih mahasiswa tersebut, dalam pelaksanaannya didampingi oleh seorang dosen yang ditentukan oleh kampusnya. Kegiatan yang dijalani oleh mahasiswa tersebut dapat berasal dari program pemerintah, atau program yang disetujui oleh rektor.
Empat kebijakan ini merupakan langkah awal dari rangkaian kebijakan untuk perguruan tinggi. Nadiem Makarim menegaskan, kebijakan ini didorong untuk melepaskan belenggu yang selama ini membatasi perguruan tinggi. Dengan demikian, perguruan tinggi bisa menjadi lebih fleksibel dan adaptif dalam mengantisipasi perubahan. Meskipun demikian, Nadiem menegaskan bahwa kebijakan ini memang belum menyentuh upaya pengembangan kualitas.
Seperti kebijakan terkait pendidikan dasar dan menengah, kebijakan ini langsung ditanggapi beragam oleh publik. Namun jika dicermati, lebih banyak pihak menyambut antusias kebijakan ini. Bahkan para rektor perguruan tinggi negeri dan swasta, termasuk di antaranya.
Peluncuran dua kebijakan ini membuktikan bahwa Nadiem Makarim melampaui apa yang ia janjikan. Setelah dilantik, ia meminta publik untuk memberi kesempatan menggunakan 100 hari pertamanya. Namun sebelum 100 hari itu datang, ia telah merilis dua kebijakan penting bagi dunia pendidikann kita. Kebijakan ini membuat dunia pendidikan kita lebih adaptif dalam meghadapi perubahan zaman.
Kita menunggu gebrakan berikutnya yang lebih terkait pengembangan mutu pendidikan, pengembangan mutu sumber daya manusia. Salah satu kuncinya terletak pada bagaimana melakukan transformasi mentalitas birokrasi pendidikan dan mentalitas insan pendidikan. Kita harapkan agar mereka berproses menjadi lebih visioner, lebih adaptif, antisipatif, dan bertanggung jawab. (Foto: kemendikbud.go.id)
[…] Baca Juga: Gebrakan Nadiem Makarim di 100 Hari Pertama Memimpin Kemendikbud (bagian kedua dari dua tulisan) […]