Depoedu.com – Ada dua kategori hal yang dikomunikasikan setiap kali kita berkomunikasi. Kategori pertama berasal dari alam pemikiran, dan kategori yang kedua berasal dari alam perasaan. Dua-duanya selalu muncul bersamaan dan saling mewarnai. Kadang–kadang kita hanya berhasil menangkap dan memahami pesan–pesan pikiran karena sarana untuk mengkomunikasikannya adalah bahasa verbal. Sedangkan kita sering keliru menangkap pesan–pesan perasaan karena 90% atau lebih ungkapan emosional dikomunikasikan melalui ungkapan–ungkapan non verbal.
Pesan–pesan ini, (baik pikiran maupun perasaan) sama–sama menentukan reaksi kita atas aksi dalam interaksi sosial. Oleh karena itu, dua–duanya harus dimengerti sebagaimana adanya. Kesalahan interprestasi, terutama terhadap pesan emosional, mempersulit bahkan memperburuk interaksi secara keseluruhan.
Mengerti pesan pikiran relatif jauh lebih mudah. Kita tinggal mengerahkan kemauan untuk melihat lawan komunikasi kita, kesabaran untuk mendengar penuturannya. Namun menangkap pesan perasaan jauh lebih sulit dan rumit. Karena pada saat yang bersamaan banyak emosi bercampur-baur, sementara batas antar perasaaan terkadang sangat tipis. Lagi pula perasaan yang sama dapat diungkap dengan ungkapan non verbal yang berbeda. Karenanya orang harus mendengarkan secara aktif.
Kemampuan mendengarkan aktif ini, hanya dimiliki oleh orang yang berkemampuan empati; kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain. Sering kali muncul berbagai persoalan komunikasi antar pribadi karena kita kurang memiliki komponen kecerdasan emosional yang satu ini. Padahal, empati sangat berperan dalam semua bentuk hubungan sosial.
Perkembangan Empati
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (yang tidak dapat diubah, dan hanya dapat berkembang sejauh potensi memungkinkan), kecerdasan emosional dapat diubah dan dikembangkan. Pada seorang bayi, pengembangan empati, bahkan telah dimulai pada saat kelahiran. Pada saat itu, amigdala sebagai pusat kehidupan alam perasaan sudah selesai terbentuk dalam jaringan otak bayi. Oleh karena itu, interaksi tahun–tahun awal antara ibu dan bayi, serta tokoh–tokoh pengganti ibu yang lain, menjadi dasar dari serangkaian pembelajaran dan perkembangan emosi termasuk empati yang sangat penting.
Empati muncul dan mulai berkembang ketika kemunculan perasaan dan emosi bayi diakui dan diteguhkan oleh tokoh–tokoh yang penting dan berpengaruh pada bayi. Pada masa bayi hanya terdapat kehidupan emosional, karena kehidupan rasio belum sungguh terbentuk. Ungkapan individu pada masa bayi yang semata–mata merupakan ungkapan emosional ini, sejak awal harus ditanggapi secara asertif, sehingga bayi mengetahui bahwa emosinya ditanggapi, dikuatkan, dibalas dengan empati. Proses komunikasi seperti ini oleh Daniel Stern disebut sebagai penyetalaan. Melalui proses penyetalaan, tokoh yang dekat dengan bayi, mengakui, dan menguatkan ungkapan emosional bayi ketika ungkapan tersebut muncul, dengan ungkapan verbal maupun non verbal.
Empati pada masa–masa berikutnya, tidak hanya terhadap ungkapan non verbal, tetapi juga terhadap ungkapan–ungkapan verbal. Ungkapan–ungkapan baik verbal maupun non verbal sejauh berkaitan dengan perasaan, disampaikan melalui sinyal-sinyal perasaan yang halus. Oleh karena itu, menurut Goleman, empati membutuhkan cukup banyak ketenangan dan kesediaan untuk menerima (147). Dengan demikian orang tua harus asertif menanggapi ungkapan–ungkapan bayi tersebut. Asertivitas hanya muncul dalam komunikasi dengan bayi, jika orang tua mempunyai kemampuan mendengarkan aktif. Ini hanya mungkin terjadi jika secara fisik dan emosional, orang tua sehat dan seimbang. Mereka mempunyai kemampuan untuk memikul dan menyelesaikan semua persoalan rumah tangga. Ini hanya mungkin dicapai, jika sejak dari awal rumah tangga dibentuk, cinta kasih menjadi alasan dan tujuan. Sehingga orang tua tidak mempunyai hambatan untuk mencintai anak–anak mereka. Cinta terhadap anak dalam situasi seperti ini, menjadi aktual dalam bentuk perhatian yang seimbang, pandangan yang positif terhadap anak, penghargaan anak sebagai pribadi, dan kesabaran mendampingi yang panjang.
Dalam situasi ini, anak menjadi apa adanya. Mereka merasa ungkapan emosinya diakui, oleh orang–orang yang dekat. Perasaan diakui membuat anak semakin terbuka pada perasaannya sendiri : mengenali kencenderungan–kencenderungan perasaannya, bahkan menjadi pemegang kendali atas perasaannya sendiri. Dengan keterbukaan semacam ini, anak dan remaja pun semakin terbuka dan terampil membaca, serta mengakui perasaan orang lain. Dan empati pun terbentuk dalam situasi humanis semacam ini.
Betapa pentingnya masa pembentukan dan pengembangan dasar–dasar kehidupan emosional semacam ini dalam keluarga dan sekolah, sehingga Stren melukiskan bahwa kekeliruan atau ketepatan dalam pendampingan emosional (termasuk dalam pembentukan empati) terhadap anak dan remaja, menjadi peristiwa yang jauh lebih dramatis dari peristiwa–peristiwa dramatis yang lain, pada masa bayi, kanak–kanak dan remaja (Goleman, 1996:141).
Humaniora dan Empati
Pembentukan empati tidak lantas berhenti hingga pada masa batita. Ketika memasuki usia prasekolah dan usia sekolah, proses pembentukan empati perlu terus dilanjutkan seiring dengan perkembangan struktur jaringan dalam otak anak. Para ahli Neurologi membagi otak manusia dalam dua bagian, otak kiri dan otak kanan. otak, baik kiri maupun kanan sama-sama penting. Keduanya sungguh dua paruh otak yang dirancang untuk bekerja bersama, tunggal dan terintegrasi, meskipun memiliki fungsi yang berbeda.
Meskipun demikian, dalam hampir semua tradisi pendidikan, juga di Indonesia, otak kiri lebih disentuh, lebih dirangsang, perkembangannya lebih diberi tempat melalui proses belajar mengajar akademis. Keterampilan berorientasi otak kanan kerap direndahkan, padahal selain fungsi penciptaan, kreativitas yang sangat mendorong dinamika peradaban umat manusia, berawal dari otak kanan. Fungsi lain yang berawal dari sini adalah kelanjutan pembentukan empati dan kepekaan sosial, yang sangat diperlukan dalam hidup sosial umat manusia.
Indikatornya adalah terpinggirkannya pengajaran humaniora seperti bahasa, sastra, dan seni, dari arena pengajaran dan kegiatan pendidikan di sekolah dasar hingga sekolah menengah atas kita. Oleh karena itu, sangat diperlukan penataan kembali untuk memberi tempat pada pengajaran bidang humaniora di satu pihak dan kelanjutan pembentukan empati serta kepekaan sosial di pihak lain.
Namun demikian, sebetulnya tidak terjadi kekosongan sama sekali terkait pengajaran bidang humaniora, karena dalam struktur kurikulum nasional telah tercantum bidang pengajaran humaniora sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya. Persoalannya terletak pada arah orientasi praktik pengajarannyaa, di mana pengajaran humaniora menjadi sangat akademis untuk mengejar penguasaan pengetahuan semata-mata, sehingga lebih bermanfaat untuk pengembangan otak kiri. Oleh karena itu diperlukan reorientasi arah bidang pengajaran humaniora.
Sebagai salah satu bidang humaniora, bidang seperti bahasa harusnya diajarkan sebagai alat komunikasi. Maka tekanan dalam pengajaran bahasa harus digeser dari penguasaan teori tata bahasa dan struktur tata bahasa ke usaha untuk secara intensif menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, alat untuk mengekspresikan diri. Ini tidak hanya berlaku dalam pengajaran Bahasa Indonesia, tetapi juga pengajaran bahasa asing. Reorientasi yang sama juga ditunggu dalam pengajaran sastra dan seni. Dalam pengajaran sastra dan seni, hendaknya guru tidak hanya berkutat pada penguasaan materi sastra dan seni. Pengajaran harus sampai pada apresiasi. Karena melalui apresiasi sastra dan seni, empati, cita rasa, dan kepekaan murid diperhalus.
Bidang studi Sejarah pun sama. Murid harus dibantu untuk melihat relasi antara peristiwa, tokoh, sehingga diperoleh kausalitas. Melalui pengajaran Sejarah, murid bukan hanya menangkap hal-hal yang tersurat, tetapi juga yang tersirat dari fakta sejarah. Melalui pengajaran Sejarah murid diarahkan sedemikian rupa agar memahami peristiwa dan menemukan makna serta nilai di balik semua peristiwa sejarah. Hanya melalui perubahan orientasi seperti ini, bidang humaniora dapat kembali menjadi arena bagi upaya menumbuhkan empati.
Empati dan Solidaritas Sosial
Di depan telah disinggung bahwa empati sangat berperan dalam berbagai bentuk hubungan sosial. Studi terhadap 7.000 orang Amerika serta 18 negara yang lain tentang manfaat empati dalam interaksi sosial, seperti dilaporkan oleh Daniel Goleman, menegaskan bahwa orang yang memiliki empati baik, lebih efektif beradaptasi, lebih populer, lebih peka, serta lebih bahagia dalam kehidupan asmara. Mereka juga lebih sukses dalam studi dan karier (1996 : 136).
Martin Hofman bahkan berpendapat bahwa akar dari moralitas adalah empati. Menurutnya, dorongan untuk menolong kemalangan sesama muncul dari kemampuan empati ini. Bahkan para penganut dan pembela prinsip-prinsip moral tertentu juga muncul dari orang-orang yang kuat kemampuan empatinya. Dengan demikian kohesi dan solidaritas sosial, harmoni kehidupan bersama juga dibentuk oleh kemampuan empati masyarakatnya.
Pusat Kajian Islam dan Masyarakat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta belum lama ini melansir hasil survey terkait tingkat intoleransi di kalangan guru. Survey tersebut dilakukan terhadap 2.237 guru baik dari sekolah negeri maupun sekolah swasta di 34 propinsi di Indonesia. Data hasil survey tersebut menggambarkan bahwa 53,06% guru memiliki pemikiran intoleransi. Data ini tidak hanya menggambarkan perenggangan kohesi sosial, namun juga mengkhawatirkan karena perenggangan tersebut justru terjadi pada orang-orang yang berprofesi guru, profesi yang banyak diharapkan upayanya menjadi perekat kohesi sosial dan solidaritas sosial.
Oleh karena itu, diperlukan upaya serius dari negara, kembali memberi tempat bagi pendidikan humaniora dalam struktur kurikulumnya, hingga pada praktik pengajarannya. Pendidikan humaniora untuk pengembangan empati adalah cara yang paling murah ongkosnya demi mempertahankan Indonesia yang bhinneka tunggal ika. (Oleh: Sipri Peren / Foto: ikadi.or.id)