Pedagogi Reflektif Sebagai Pendekatan Pendidikan Karakter

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Buah pencarian setelah mengikuti Pelatihan Pedagogi Santa Angela dengan Bapak Sarkim (Universitas Sanata Dharma):

 

Depoedu.com – Telah banyak dirasakan bahwa pendidikan yang ada saat ini sudah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Mengapa demikian ? Karena perkembangan zaman yang nampak dari indikasi  berkembangnya teknologi. Tentunya perkembangan ini membawa dampak juga pada dunia pendidikan.

Pendidikan yang ada pada putra-putri bangsa ini bukan hanya tanggung jawab dari pemerintah saja, akan tetapi juga sekolah, masyarakat, dan tentunya agen sosial primer yaitu keluarga juga turut andil dalam proses berjalannya pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang bagaimana yang seharusnya berkembang sekarang di negri kita tercinta ini? tentu saja pendidikan yang memuat budi pekrti yang luhur yang secara jelas tertanam dalam amalan pancasila pada kehidupan bermasyarakat sehari-hari.

Agar bangsa kita menjadi bangsa yang bermoral dan berakhlak baik, pendidikan karakter perlu diterapkan sejak dini. Proses  pembentukan  karakter  ini dapat dilakukan melalui pendidikan yakni proses penyadaran akan jati diri kemanusiaannya dan pada akhirnya akan dihasilkan kualitas manusia yang memiliki kehalusan budi dan jiwa, kecemerlangan berpikir, kecekatan raga dan kesadaran akan penciptaan dirinya.

Pendidikan karakter pada dasarnya adalah upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Sang Pencipta, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat yang berlaku di tempat dia hidup. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung!

Pendekatan Pedagogi Reflektif

Pendidikan reflektif dijadikan salah satu pendekatan untuk mewujudkan pendidikan karakter tersebut. Seperti apakah pedagogi reflektif tersebut?

Berpikir reflektif (reflective thinking) merupakan bagian dari metode penelitan yang dikemukakan oleh John Dewey. Pendapat Dewey menyatakan bahwa pendidikan merupakan proses sosial saat anggota masyarakat yang belum matang (terutama anak-anak) diajak ikut berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan pendidikan adalah memberikan kontribusi dalam perkembangan pribadi secara individula dan sosial seseorang melalui pengalaman dan pemecahan masalah yang berlangsung secara reflektif (Reflective Thinking).

Menurut John Dewey metode reflektif di dalam memecahkan masalah, yaitu suatu proses berpikir aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berpikir ke arah kesimpulan-kesimpulan yang definitif melalui lima langkah yaitu :

  1. Siswa mengenali masalah, masalah itu datang dari luar diri siswa itu sendiri.
  2. Selanjutnya siswa akan menyelidiki dan menganalisa kesulitannya dan menentukan masalah yang dihadapinya.
  3. Lalu dia menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya itu atau satu sama lain, dan mengumpulkan berbagai kemungkinan guna memecahkan masalah tersebut. Dalam bertindak ia dipimpin oleh pengalamannya sendiri.
  4. Kemudian ia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis dengan akibatnya masing-masing.
  5. Selajutnya ia mencoba mempraktekkan salah satu kemungkinan pemecahan yang dipandangnya terbaik. Hasilnya akan membuktikan betul-tidaknya pemecahan masalah itu. Bilamana pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat, maka akan di cobanya kemungkinan yang lain sampai ditemukan pemecahan masalah yang tepat.

Konsep reflektif dari John Dewey berkenaan dengan kemampuan berfikir reflektif dan bersikap reflektif. Kemampuan berfikir reflektif terdiri atas lima komponen yaitu:

  1. recognize or felt difficulty/problem, merasakan dan mengidentifikasikan masalah;
  2. location and definition of the problem, membatasi dan merumuskan masalah;
  3. suggestion of posible solution, mengajukan beberapa kemungkinan alternatif solusi pemecahan masalah;
  4. rational elaboration of an idea, mengembangkan ide untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan data yang dibutuhkan;
  5. test and formation of conclusion, melakukan tes untuk menguji solusi pemecahan masalah dan menggunakannya sebagai bahan pertimbangan membuat kesimpulan.

Dalam artikel jurnal Teaching and Teacher Education (vol.12.no.1, Januari 1996), Helen L. Harrington cs mengemukakan dan mengembangkan tiga komponen sikap reflektif yaitu:

  1. openmindedness atau keterbukaan, sebagai refleksi mengenai apa yang diketahui, dalam pembelajaran ada tiga pola dasar yaitu pola berfokus pada guru, siswa, dan inklusif;
  2. responsibility atau tanggung jawab, sebagai sikap moral dan komitmen profesional berkenaan dengan dampak pembelajaran pada siswa saja, siswa dan guru, serta siswa, guru dan orang lainnya;
  3. wholeheartedness atau kesungguhan dalam bertindak dan melaksanakan tugas, dengan cara pembelajaran langsung guru, proses interaktif, dan proses interaktif yang kompleks.

 Dalam berpikir reflektif di dalamnya termasuk dari kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif. Menurut Ennis (1996), berpikir kritis sesungguhnya adalah suatu proses berpikir yang terjadi pada seseorang serta bertujuan untuk membuat keputusan-keputusan yang masuk akal mengenai sesuatu yang dapat ia yakini kebenarannya serta yang akan dilakukan nanti. Seseorang pada suatu saat tertentu akan selalu harus membuat keputusan, oleh karena itu kemampuan berpikir kritis harus dikembangkan, terutama ketika dalam membuat keputusan itu ia sedang berhadapan dengan suatu situasi kritis, terdesak oleh waktu serta apa yang dihadapi itu tidaklah begitu jelas dan rumit. Hal ini biasanya terjadi jika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan keputusan yang mungkin, dan dia harus memilih manakah yang terbaik dari sekian pilihan tersebut. Demikian juga dalam hal berpikir kritis, keputusan yang akan diambil itu haruslah didasarkan pada informasi yang akurat serta pemahaman yang jelas terhadap situasi yang dihadapi.

Berpikir kreatif adalah suatu kemampuan berpikir yang berawal dari adanya kepekaan terhadap situasi yang yang sedang dihadapi, bahwa di dalam situasi itu terlihat atau teridentifikasi adanya masalah yang ingin atau harus diselesaikan. Selanjutnya ada unsur originalitas gagasan yang muncul dalam benak seseorang terkait dengan apa yang teridentifikasi. Hasil yang dimunculkan dari berpikir kreatif itu sesungguhnya merupakan suatu yang baru bagi yang bersangkutan serta merupakan sesuatu yang berbeda dari yang biasanya dia lakukan. Untuk mencapai hal ini orang harus melakukan sesuatu terhadap permasalahan yang dihadapi, dan tidak tinggal diam saja menunggu. Dalam keadaan yang ideal, manakala siswa dihadapkan (oleh guru) pada suatu situasi, siswa diminta untuk melakukan suatu observasi, eksplorasi, dengan menggunakan intuisi serta pengalaman belajar yang mereka miliki, dengan hanya sedikit panduan atau tanpa bantuan guru (Sobel, dan Maletsky, 1988). Berpikir kreatif juga nampak dalam bentuk kemampuan untuk menemukan hubungan-hubungan yang baru, serta memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dari yang biasanya (Evans, 1999).

Tujuan tertinggi hidup manusia adalah mencapai kebijaksanaan. Di dalam kebijaksanaan orang juga bisa mendapatkan kebahagiaan. Namun perlu diingat bahwa satu-satunya jalan mencapai kebijaksanaan dan kebahagiaan adalah dengan belajar seumur hidup, tanpa kenal lelah. Orang perlu menjadi mahluk pembelajar, supaya ia bisa mencecap kebahagiaan dan kebijaksanaan di dalam hidupnya.

Pedagogi reflektif tepat berkebalikan dengan pola menghafal. Yang diutamakan bukanlah banyaknya informasi, tetapi sedalam apakah informasi yang telah ada dianalisis dan dimaknai untuk sampai pada nilai-nilai luhur kehidupan. Inilah jalan yang perlu ditempuh, supaya pendidikan bisa membawa peserta didik menuju pada hikmat-kebijaksanaan.

Langkah yang terpenting, yakni proses refleksi diri. Pada langkah analisis orang masih menggunakan kekuatan intelektual untuk memahami gejala yang dialami. Ia menjadi seorang ilmuwan yang hendak berusaha memahami alam, natural maupun sosial, yang memang penuh teka teki. Namun pada level refleksi, pertanyaan berubah dari “mengapa” menjadi “apa makna peristiwa ini bagi perkembangan pribadi saya sebagai manusia?”

Pertanyaan tentang makna mengajak orang untuk mendalami pengalaman hidupnya. Pengalaman tidak lagi tinggal menjadi pengalaman, tetapi berubah menjadi nilai-nilai hidup yang menggerakan dirinya untuk menjadi semakin bijaksana. Ia mengalami perubahan hati dan pikiran di dalam hidupnya. Ia menjadi manusia baru yang juga melihat dunia dengan cara yang baru.

Proses refleksi adalah jantung hati pendidikan. Di dalam proses refleksi, pengalaman dan informasi yang diperoleh diubah menjadi nilai-nilai kehidupan yang menggerakan hati, pikiran, dan tindakan. Di dalam proses refleksi, seluruh proses pendidikan berubah menjadi proses yang penuh inspirasi dan kebijaksanaan. Kepekaan hati bertambah, daya analisis meningkat tajam, dan proses pembuatan keputusan menjadi jauh lebih tercerahkan. Itulah buah-buah proses refleksi di dalam pendidikan.

Refleksi akan mendorong aksi. Aksi bisa berupa macam-macam hal, mulai dari perubahan hati, sampai proses kreasi. Ia akan mencipta sesuatu sebagai ekspresi dari kedalaman refleksi diri. Hasil ciptaannya biasanya terkait dengan profesinya, atau kemampuan yang tertanam di dalam dirinya.

Refleksi akan mendorong lahirnya tindakan. Tindakan akan menciptakan pengalaman. Pengalaman itu kemudian dianalisis, direfleksikan, dan akan melahirkan tindakan mencipta yang baru. Tindakan mencipta akan melahirkan pengalaman, dan begitu seterusnya. Inilah proses belajar reflektif yang perlu diterapkan di Indonesia tercintah! Niscaya anak bangsa akan semakin cemerlang dan cahayanya bersinar menembus hingga ke ujung bumi. Demikian pula Negara dan bangsanya makin cerdas, maju, damai, sejahtera, dan berhikmat! (Oleh: Ch. Enung Martina)

0 0 votes
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
oldest
newest most voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Baca Juga : Pedagogi Reflektif Sebagai Pendekatan Pendidikan Karakter […]