Penguatan Positif; Memutus Mata Rantai Kekerasan di Sekolah

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Tentu masih segar diingatan kita, sebuah video viral memperlihatkan seorang guru menampar beberapa siswanya. Video ini sengaja dibuat atas perintah sang guru yang kemudian secara sadar menyiapkan video klarifikasi. Tribunnews Surabaya pada 21 April 2018 lalu menulis “ Lukman Septiadi (27), guru SMK Kesatrian Purwokerto, Banyumas yang viral karena menampar 9 siswa ternyata memiliki masa lalu yang kelam. Lukman mengalami kekerasan dari ayah kandungnya waktu kecil karena bandel. Ia dipukul atau ditampar sang ayah agar jera dan jadi penurut”.

Menurut Lukman, jika siswanya sudah tidak bisa dinasehati maka cara berikutnya adalah dipukul agar menurut. Bahkan saat perjalanan ke kantor polisi akibat perkara ini, Lukman masih sempat mengatakan – seperti yang kami kutip dari sumber yang sama – “kamu tolong ingat ya, rasa sakit ini akan mengingatkan kamu ke saya seumur hidup”.

Cara Lukman dididik di rumah yang penuh kekerasan dengan hukuman fisik ternyata dianggap Lukman sebagai sebuah ‘kebenaran’. Perilaku kekerasan Lukman kepada siswanya bukan sesuatu yang spontan. Dari ancang-ancang yang diambil sebelum menampar siswanya boleh dibilang Lukman merencanakannya tindakan itu. Apalagi ketika ia meminta hukuman tersebut direkam. Dan Lukman secara sengaja menyiapkan video untuk mengklarifikasi – mencari pembenaran – perbuatannya. Cara didik dengan mengandalkan kekerasan fisik yang menjadi hal biasa yang diterima dari rumah seolah-olah menjadi ‘kebenaran’ bagi Lukman. Lukman menganggap wajar perbuatannya kepada para siswanya.

Persoalannya adalah apakah kita akan memilih tindakan kekerasan fisik sebagai bagian dari cara kita mendidik anak-anak kita? Sehingga kemudian cara penuh kekerasan ini melahirkan tindakan penuh kekerasan juga dari seorang yang sebelumnya adalah korban yang kemudian menjadi pelaku kekerasan dan menjadikan orang lain korbannya? Haruskah lingkaran kekerasan ini diputus?

BF Skinner dalam teori Penguatan (Reinforcement) mengatakan bahwa seseorang berperilaku berdasarkan atas fungsi konsekuensinya. Seseorang yang mendapat konsekuensi positif dari perilakunya cendrung mengulang perilaku tersebut. Pun sebaliknya, jika konsekuensi negative yang didapat seseorang atas sebuah perilaku maka perilaku tersebut cendrung tidak diulang.

Penguatan Negatif (negative reinforcement) konsekuensi negative yang sengaja diberikan kepada seseorang atas perilaku tertentu dengan tujuan agar perilaku tersebut tidak lagi terjadi di masa yang akan datang. Sanksi, teguran atau bentuk hukuman lainnya diharapkan dapat merubah perilaku seseorang. Dari pelanggar aturan menjadi penurut aturan berkat adanya hukuman.

Begitu juga harapan orang tua Lukman ketika memberikan hukuman berupa kekerasan fisik – ditampar atau dipukul – agar perilaku Lukman berubah dari pelawan menjadi penurut. Barangkali bentuk hukuman sekeras ini efektif mengubah perilaku Lukman. Persoalannya adalah bahwa hukuman berupa kekerasan fisik yang kerap diterima Lukman dianggap olehnya sebagai sesuatu yang wajar. Dan karena wajar inilah Lukman merasa bukan persoalan ketika mereproduksi cara kekerasan yang pernah diterimanya ketika menampar siswanya yang terlambat sebagai bagian dari pendisiplinan mereka.

Laman DosenPsikologi[dot]com juga menulis bahwa anak korban kekerasan dapat meniru dan melakukan tindakan kekerasan terhadap orang lain dari apa yang dialaminya sehari-hari. Anak akan belajar bahwa tindakan yang penuh kekerasan itu adalah tindakan wajar untuk merubah seseorang pelawan menjadi penurut. Ini juga direkam oleh Lukman dan menjadi sumber kebenarannya.

Sementara itu, Penguatan Positif (Positive Reinforcement) juga sama efektif member konsekuensi mengubah perilaku seseorang. Seseorang dapat mengulangi sebuah perilaku ketika perilaku tersebut diberi konsekuensi positif. Pujian, hadiah, ucapan terima kasih dan berbagai bentuk apresiasi lainnya atas sebuah tindakan sangat efektif mendorong seseorang untuk melakukan kembali tindakan tersebut.

Kita tentu tidak memberi pujian kepada seseorang karena terlambat sambil berharap orang itu datang tepat waktu pada kesempatan berikutnya. Namun mengucapkan terima kasih kepada seseorang atas sebuah bantuan kecil yang kita peroleh pasti menyenangkan hati yang memberikan bantuan.

Seseorang yang dikondisikan dalam lingkungan yang selalu mendapat apresiasi, atas prestasi sekecil apapun pencapaian itu, akan mudah mengapresiasi prestasi orang lain. Kebaikan pasti menular. Pun sebaliknya. Sama seperti Lukman yang selalu mendapat hukuman kekerasan fisik menganggap tidak masalah ketika kekerasan dilakukan kembali kepada siswanya sebagai bentuk hukuman. Kekerasanpun bisa mereproduksi diri.

Dengan demikan lingkungan rumah dan sekolah harus diupayakan sedemikian rupa untuk mendorong pembiasaan Penguatan Positif dari pada Penguatan Negatif. Bukan berarti berbagai bentuk pendisiplinan tidak boleh lagi diterapkan. Hukuman tetap saja merupakan salah satu alternatif untuk member efek jera terhadap berbagai bentuk pelanggaran aturan. Namun semua tentu sepakat bahwa baik dirumah maupun disekolah kekerasan fisik bukan cara terbaik dalam mendidik anak.

Membangun kebiasaan memberi apresiasi – baik disekolah maupun dirumah – atas prestasi atau sekecil apapun akan mendorong seseorang untuk terus berprestasi dan/atau meningkatkan prestasinya. Menghargai kebaikan–kebaikan kecil selalu berarti memberi kesempatan agar hal-hal baik itu terjadi lagi dan lagi di kemudian hari.

Hal-hal kecil bisa diterapkan. Member poin penilain atas perilaku baik seorang siswa dan pengurangan poin bagi setiap pelanggaran aturan kemudian akumulasi poin itu diapresiasi diakhir satuan waktu tertentu – entah semester atau setahun – bisa saja mendorong setiap orang terbiasa berperilaku baik dan tidak melanggar aturan. Apalagi apresiasi tersebut melibatkan lebih banyak kalangan terutama orang tua siswa maka akan menjadi kebanggaan tersendiri. Sebab semua sepakat bahwa karakter seseorang hanya terbentuk lewat kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya di masa lalu.

Adalah benar ketika hukuman berupa kekerasan fisik bisa mereproduksi diri -dari korban kemudian menjadi pelaku kekerasan- maka menghindari hukuman berupa tindakan kekerasan dan bentuk hukuman fisik lainnya adalah salah satu cara memutus mata rantai kekerasan baik di rumah maupun di sekolah. (disarikan dari berbagai sumber oleh Senuken / Foto: kompasiana.com)

5 1 vote
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
oldest
newest most voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Baca Juga: Penguatan Positif; Memutus Mata Rantai Kekerasan di Sekolah […]