Depoedu.com – Pada umumnya, kepatuhan masyarakat suatu negara hanya dapat dipastikan dibawah pengawasan langsung pemerintah. Bahkan, ada saja kasus-kasus dimana pelanggaran justru dilakukan tepat di hadapan aparat. Kondisi demikian dapat ditemui dalam relita penegakan hukum lalu lintas di Indonesia.
Selain melanggar hukum, tidak mematuhi aturan lalu lintas juga membahayakan sesama pengguna jalan. Di Jakarta, fenomena ini sudah menjadi keperihatinan masyarakat sejak lama. Jumlah petugas yang dikerahkan seakan tidak pernah cukup untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Dapat dibayangkan, jumlah pelanggaran di ruas-ruas jalan yang tidak diawasi petugas pasti jauh lebih banyak.
Berkaitan dengan masalah ini, Polda Metro Jaya akhirnya menawarkan sebuah inovasi. Dikutip dari Kompas.com, sebuah sistem penegakkan hukum lalu lintas yang dilakukan secara online telah diresmikan pada 1 November lalu. Menurut Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Kombes Yusuf, sistem yang disebut dengan Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) ini sudah beroperasi di persimpangan Patung Kuda dan Sarinah, Jakarta Pusat.
ETLE bekerja dengan memanfaatkan jaringan CCTV untuk memantau situasi lalu lintas di kedua ruas tersebut secara langsung dari kantor TMC Polda Metro Jaya. Untuk setiap pelanggaran yang teridentifikasi, petugas akan mengirimkan tagihan denda ke alamat yang bersangkutan menurut database kepolisian. Tagihan kemudian harus dilunasi di bank yang telah ditentukan.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya telah memulai masa uji coba terhadap ETLE pada 1 Oktober lalu, dengan melakukan sosialisasi melalui media sosial maupun turun langsung ke jalanan. Selain itu, sejumlah petugas juga dikerahkan untuk menjalankan simulasi serta inspeksi kelayakan operasi. Hasilnya, selama 26 hari masa uji coba, tercatat 2.438 pelanggaran tertangkap kamera CCTV. Meski demikian, pada periode tersebut belum dilakukan penindakan terhadap para pelanggar.
Pada dasarnya, kunci dari kepatuhan masyarakat terhadap aturan berlalu lintas adalah edukasi. Dalam hal ini, kepolisian merupakan instansi yang paling bertanggung jawab. Fakta bahwa terdapat ribuan pelanggar yang tertangkap sistem dalam kurun waktu kurang dari sebulan merupakan indikasi bahwa Polda Metro Jaya belum menjalankan fungsi edukasinya dengan baik.
Di satu sisi, ETLE dapat dimaknai sebagai sebuah inovasi dalam proses edukasi tersebut. Namun, perlu diingat bahwa masyarakat yang hanya patuh jika merasa diawasi tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan edukasi. Dalam hal ini, fungsi edukasi yang dijlankan kepolisian justru dapat dikatakan berhasil apabila kepatuhan masyarakat murni didasari oleh pemahaman akan esensi dari aturan-aturan yang ada. Dengan kata lain, ETLE juga dapat dimaknai sebagai indikasi bahwa Polda Metro Jaya telah “menyerah” dengan upaya konvensional untuk mengedukasi masyarakat dan beralih ke jalan pintas yang memaksa masyarakat untuk patuh hanya karena tahu sedang diawasi.
Bagaimana pendapat eduers sekalian? Apakah ETLE layak disebut sebagai sarana edukasi mutakhir atau justru merupakan langkah mundur dalam proses edukasi itu sendiri? (Oleh: Ignas Samon / Foto: Kompas.com)