Depoedu.com – Ia berbaring tak bergerak. Dikerumuni oleh beberapa orang. Semua berdiri. Dari ukuran tubuh dan seragam yang dikenakannya, kemungkinan ia masih anak-anak. Di hari yang lain. Sesaat setelah dikagetkan oleh bunyi tabrakan, terlihat seorang berusaha keluar dari kolong mobil bagian depan. Namun susah karena kakinya terhimpit oleh motor. Bagian depan mobil sedikit terangkat. Melindas separoh motor. Pengendara motor berada paling bawah.
Di tempat itu lalu lintas memang ramai. Terutama pada jam berangkat dan pulang kerja. Beberapa petugas dari dinas perhubungan bergegas mendatangi. Sebagian kemudian mengatur kendaraan. Agar tetap tertib dan lancar. Seseorang mengambil helem pengendara motor yang terlibat kecelakkan. Helem yang terlepas dari kepala pemotor tersebut. Sementara sopir yang kaget gergegas keluar. Kemudian berjongkok memeriksa. Mobil dibiarkan hidup. Di tengah jalan. Dengan korban tetap dikolong depan. Tergencet sepeda motornya sendiri.
Di Indonesia, angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas sebanyak 120 jiwa setiap hari. 1,24 juta jiwa secara global setiap tahun. Dengan semakin meningkatnya populasi baik orang maupun kendaraan, diperkirakan menjadi 3,6 juta jiwa pertahun pada tahun 2030. Demikian ditulis oleh Republika.co.id, 07 November 2014.
Kompas.com, 07 Desember 2018 menulis bahwa satu orang meninggal setiap 24 detik akibat kecelakaan di seluruh dunia. Dimana 28 persen dari seluruh korban meninggal adalah pengendara dan pembonceng sepeda motor. Data lain oleh Merdeka.com, 27 Desember 2018. Dari 103.672 kejadian, ada 27.910 korban tewas akibat kecelakaan. Sepeda motor terlibat dalam 73 persen kecelakaan tersebut. Penyebab utamanya adalah kelalaian pengendara.
Data-data ini menunjukan bahwa angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas begitu tinggi. Liputan6.com pada 14 Oktober 2018 menulis bahwa kecelakkan lalu lintas adalah mesin pembunuh nomor 2 setelah penyakit jantung. Dimana korban kecelakkan rata-rata berusia produktif. Bahkan tidak sedikit dari para korban adalah anak-anak. Kompas.com pada 18 Januari 2019 menulis bahwa dalam 4 tahun belakangan ini, korban kecelakaan berusia 15 – 38 tahun sebesar 57 persen. 25 persen diantaranya adalah pelajar dan mahasiswa.
Mengingat besarnya jumlah korban dan rentang usia korban tentu kecelakkan lalu lintas harus menjadi salah satu prioritas untuk segera ditangani. Terutama berbagai upaya untuk menekan jumlah kejadian maupun jumlah korban.
Memang diakui bahwa sudah banyak program dan kegiatan yang telah dilakukan oleh POLRI untuk menekan angka kecelakkan lalu lintas. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah cukup jika kecelakkam lalu lintas hanya menjadi tanggungjawab POLRI?
Bagaimana dengan institusi pendidikan?
Apakah kurikulum kita juga sudah terisi dengan konten-konten terkait kecelakkan lalu lintas? Apakah konten kurikulum kita juga berisi bagaimana berperilaku aman di jalan? Entah sebagai pejalan kaki. Atau ketika membawa kendaraan. Bagaimana bereaksi ketika terlibat langsung atau hanya sekedar menyaksikan sebuah peristiwa kecelakaan? Begaimana mengamankan diri? Bagaimana menolong korban? Kontak darurat mana saja yang harus segera dihubungi untuk menangani kecelakkan lalu lintas?
Ketika membuat tulisan ini, saya baru mencari secara on line bahwa kontak darurat POLRI terkait kecelakkan lalu lintas adalah 110. Sementara ambulans adalah 118 dan 119.
Ada banyak pertanyaan yang hingga saat ini belum saya yakini jawabannya. Apakah korban harus segera diangkat dari tengah jalan? Bagaimana menanganinya? Bagaimana jika dengan dipindahkan itu justru memperparah cedera akibat kecelakaan? Apakah jika memindahkan korban berarti “mencemari” TKP dalam urusan yang seharusnya ditangani polisi? Bagaimana bertindak sebagai saksi? Siapkah dimintai keterangan oleh Polisi?
Pengalaman melihat supir yang turun kemudian memeriksa kendaraannya, sementara korban berteriak meminta mobil dimundurkan agar ia segera keluar dari kolong mobil memberi saya sedikit gambaran. Bahwa banyak dari kita tidak tahu bagaimana bereaksi, ketika kecelakaan.
Petugas dinas perhubungan yang sibuk mengejar helem yang menggelinding jatuh. Supir yang keluar memeriksa mobil bukan segera memundurkan mobilnya agar korban segera bisa ditolong, jangan sampai menggambarkan pengetahuan kita tentang menangani kecelakkan. Prioritas kita sebenarnya adalah korban atau?
Tidak hanya institusi pendidikan. Institusi penjaga moralitas pun harus memiliki kewajiban moral untuk mencegah sebuah peristiwa kecelakkan menjadi semakin parah? Institusi agama dan keluarga harusnya menjadi yang pertama dan utama sebagai pencegah dan menangani korban kecelakaan.
Sebuah peristiwa kecelakkan cepat menjadi viral. Banyak dari kita begitu niat mengambil video, foto dan memviralkannya pada kesempatan pertama. Alih-alih menolong korban terlebi dahulu.
Apakah orang tua sungguh memahami dan terlibat dalam upaya mencegah kecelakkan lalu lintas? Seberapa sering kita para orang tua melanggar lalu lintas pada saat berkendaraan bersama anak? Bukankah saat melanggar lalu lintas kita sedang mengajari mereka berperilaku yang sama? Seberapa kita kuat melarang anak-anak kita berkendaraan sebelum usia mereka cukup? Apakah kita justru membiarkan mereka membawa kendaraan padahal belum boleh memiliki SIM?
Ada lagi yang lebih parah. Bukan lagi rahasia. Ketika ada kecelakaan. Yang pertama “ditolong” adalah dompet, HP dan barang-barang pribadi korban. Tidak sulit menemukan pemberitaan mengenai korban kecelakaan yang kehilangan barang-barang pribadinya. Jangan sampai ini menunjukan moralitas kita.
Tulisan ini sengaja dibuat karena kegelisahan saya ketika melihat berbagai peristiwa kecelakkaan lalu lintas. Entah melihat secara langsung maupun menyaksikannnya lewat berbagai media. Anak kecil yang menjadi korban kecelakkan pada paragraf pembuka tulisan ini, terlihat “dibiarkan” tergeletak di tengah jalan. Sementara lalu lintas sedang ramai-ramainya. Tidak ada seorang pun yang dalam keadaan berjongkok sekedar “menemani”.
Harapannya adalah menekan sebanyak mungkin angka kecelakkan lalu lintas. Dan hal ini harus menjadi gerakan bersama. Semua institusi harus terlibat aktif. Keluarga di rumah, kurikulum sekolah, institusi agama, aparat negara, rumah sakit, semua harus bekerja sama dalam menekan angka kecelakkan lalu lintas. Terutama dalam mencegah. Namun jika tidak terhindarkan, semoga menangani korban kecelakkan menjadi prioritas kita semua. (Foto: beritatrans.com)