Depoedu.com – Belum lama ini, dari Polsek Legok, Tangerang, Banten, beredar melalui pesan Whatsapp, informasi tentang tiga orang anak, satu anak perempuan dan dua anak laki-laki. Anak laki-laki yang paling besar usianya sekitar belasan tahun. Adiknya yang perempuan usianya sekitar sepuluh tahun, sedangkan laki-laki yang paling kecil berusia sekitar delapan tahun.
Tiga anak ini, saat pesan Whatsapp tersebut beredar, sudah menginap dua hari di Polsek Legok lantaran belum ada yang tahu dan tidak diketahui keberadaan orang tua anak tersebut. Mereka tidak tahu arah pulang, apalagi alamat rumah.
Secara fisik anak-anak tersebut kelihatan sehat, terawat. Yang mengherankan, kenapa mereka tidak dapat memberikan informasi penting tentang identitas. Pola asuh seperti apa yang dijalani oleh anak-anak ini sehingga hal mendasar menyangkut identitas saja tidak dapat mereka berikan. Apakah anak-anak ini bersekolah? Jika bersekolah, praktek pengajarannya seperti apa?
Karena keterbatasan informasi terkait kasus di atas, saya tidak bahas lebih lanjut. Kasus di atas cukup dijadikan titik tolak untuk membahas topik pendidikan kemandirian.
Tentang Kemandirian
Orang yang mandiri adalah orang yang tidak bergantung pada orang lain, baik ketika mengambil keputusan, maupun ketika melakukan apa yang ia putuskan. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ketika ia berada dalam kesulitan, ketika dalam tekanan, ataupun ketika sedang berhasil. Orang yang mandiri adalah pengambil keputusan yang baik ketika berada dalam berbagai situasi. Ia membutuhkan orang lain, tetapi tidak membebani. Orang yang mandiri adalah orang yang kreatif, maka ia tahu bagaimana menyelesaikan masalah secara proaktif. Ia memiliki semua soft skills termasuk skills untuk mengurus dirinya sendiri.
Kemandirian adalah kualitas kepribadian yang dikembangkan tahap demi tahap, bahkan sejak masa balita. Caranya adalah dengan memberi ruang bagi anak untuk bertindak mandiri. Apakah tersedia ruang tersebut di rumah dan sekolah-sekolah kita?
Kemandirian di Rumah Kita
Konsep dasarnya adalah tentang kematangan, setiap tahap perkembangan menghasilkan kematangan, kematangan menuntut orang tua memberi ruang bagi perilaku tertentu, untuk menumbuhkan kemandirian anak. Jika seorang anak balita sudah matang untuk belajar berjalan, tetapi digendong terus karena orang tuanya takut anaknya jatuh, maka ia tidak sedang menyediakan ruang untuk berlatih mandiri bagi anaknya. Jika seorang anak sudah matang untuk makan sendiri tetapi orang tua terus menyuapi, untuk memastikan rumah terjaga bersih dari makanan yang berceceran, maka orang tua tidak menyediakan ruang untuk mandiri.
Anak harusnya mengerjakan PRnya sendiri, tetapi dikerjakan oleh orang tua karena mengasihani anaknya yang terbebani oleh banyaknya PR, atau karena hendak memastikan PR diselesaikan dengan standar kualitas yang ditetapkan orang tua, maka orang tua sering merampas ruang untuk mandiri untuk anak. Atau orang tua mengambil alih tugas anaknya, agar pada tugas tersebut anak memperoleh nilai yang bagus, yang akan menyumbang perolehan nilai akhir. Atau “Daripada susah-susah dorong anak mengerjakan sendiri, mending dikerjakan oleh orang tua, beres”.
Pada banyak keluarga menengah, anak dilayani habis-habisan, bahkan hingga usia remaja. Kamar remaja dibersihkan dan dirapikan oleh pembantu. Pergi ke sekolah diantar, pintu mobil dibukakan, tas dibawakan, padahal sejak masuk SD harusnya anak-anak sudah matang secara fisik dan psikis untuk melakukan banyak hal sendiri. Praktek seperti ini jelas menumpas kemandirian anak kita.
Kemandirian di Sekolah
Sekolah juga menyiapkan banyak ruang untuk mengembangkan kemandirian, namun ruang tersebut dipersempit atau hilang sama sekali oleh berbagai praktek seperti, banyak orang tua, ketika anaknya bermasalah, tidak mendorong dan mengajari anak untuk menyelesaikan masalah sendiri. Dalam banyak kasus, orang tua datang ke sekolah, bertemu guru atau murid yang bermasalah dengan anaknya, untuk menyelesaikan masalah tersebut. Mereka tidak mengajari anak, mendampingi anak untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Praktek lain, berasal dari orang tua yang mengejar kemampuan akademis semata-mata. Sekarang ini ada banyak sekolah menginisiasi kegiatan di luar kegiatan akademis, karena merasa perlu membekali para murid dengan soft skills seperti kemandirian. Saya ingat pengalaman ketika masih menjadi Kepala Sekolah. Banyak orang tua menentang kegiatan orientasi jurnalistik, kegiatan live in, atau kegiatan pekan enterpreuneurship, ketika pertama kali di-launching. Menurut mereka kegiatan itu tidak ada kaitannya dengan perolehan nilai secara akademis. Padahal melalui kegiatan tersebut anak belajar banyak hal, termasuk melatih kemandirian. Justru melalui kegiatan seperti itulah murid mempraktekkan pengetahuan akademis mereka, sekaligus belajar hidup.
Dalam pembelajaran secara akademispun praktek mengajar tertentu dapat menghambat latihan kemandirian para murid. Misalnya guru, ketika mengajar dengan sistem transfer. Pada sistem ini, murid tidak dilatih melakukan analisis, evaluasi, merumuskan kesimpulan dan mempertanggungjawabkan kesimpulan sendiri. Ini sangat tipikal pengajaran dari sekolah di Indonesia. Jika dalam pikiran saja murid-murid tidak dilatih mandiri, apalagi mandiri dalam tindakan? Karena tindakan mandiri adalah kelanjutan dari kemandirian berpikir.
Belajar dari Jepang
Negara di Asia yang indeks pembangunan manusianya tinggi adalah Jepang. Pencapaian tersebut diraih berkat sinergi antara praktek pendidikan di rumah dan sekolah. Beberapa praktek berikut ini mudah-mudahan dapat menginspirasi kita berdasarkan penuturan Weedy Koshino dalam bukunya Amazing Japan.
Ketika anak beranjak besar dan mulai masuk Taman Kanak-kanak, suaminya sudah memberi tugas kepada si sulung untuk menyiram tanaman di balkon rumah setiap hari. Tugas lainnya adalah menutup jendela dan mengunci pintu pada malam hari. Sedangkan tugas si bungsu adalah membantu Ibunya melipat jemuran yang sudah kering, dan mengambil koran dari pintu depan untuk Ayahnya setiap pagi. Tapi tugas tersebut tidak untuk anak-anak saja, Weedy dan suaminya pun mendapat tugas misalnyamembawa peralatan makan yang habis dipakai, untuk diletakkan di dapur..
Praktek lain yang diyakini menyumbang pembentukan kemandirian adalah ketika memasuki Sekolah Dasar, anak-anak di Jepang tidak boleh diantar oleh orang tuanya ke sekolah. Setiap hari anak harus berangkat sendiri ke sekolah. Oleh karena itu, orang tua murid baru di Jepang selalu melatih anaknya sebelum hari masuk sekolah tiba. Anak dibiasakan menyeberang jalan, dilatih mengindari bahaya, menggunakan alat penanda bahaya dan dilatih menggunakannya. Anak-anak di back up dengan patroli orang tua. Sekolah mengatur orang tua secara bergiliran melakukan patroli. Anak-anak juga ditandai dengan topi khusus, dan ketika mereka menyeberang di tempat-tempat penyeberangan, semua pengendara berhenti memberi kesempatan anak-anak tersebut lewat.
Ketika memasuki usia remaja, anak muda Jepang biasanya mengisi waktu senggang mereka dengan bekerja part time, karena pada umumnya orang tua Jepang hanya menyediakan uang untuk biaya sekolah. Remaja Jepang seperti remaja pada umumnya, memiliki kebutuhan yang lain. Hasil kerja part time digunakan untuk membiayai kebutuhan yang lain tersebut. Ini adalah salah satu tahap belajar mandiri yang penting bagi pemuda Jepang.
Dengan alasan kemandirian pula, para pemuda Jepang yang telah lulus kuliah dan bekerja, ‘diusir’ orang tua ke luar dari rumah. Alasannya agar anak benar-benar belajar mandiri. Mereka perlu mengelola keuangan sendiri, membeli apartemen sendiri, mengurus rumah sendiri, sebagai persiapan dalam membangun keluarga sendiri. Bagi keluarga Jepang, hidup anak-anak harus lebih baik dari hidup mereka, dan anak-anak harus bisa meraihnya sendiri, keluar dari rumah adalah caranya. Maka orang tua Jepang visioner, mereka itu pendidik sejati, dan yang mereka lakukan adalah mendidik sejati.
Kita masih memerlukan transformasi untuk menuju ke sana. Intinya sederhana, jika menghendaki anak-anak kita tumbuh menjadi orang dewasa yang mandiri, maka orang tua harus memberi ruang untuk bertindak mandiri tahap demi tahap, bagi anak. Berhenti kuatir berlebihan dan lebih percaya pada kemampuan mereka untuk menyelesaikan masalah. Praktek mempersempit ruang mandiri seperti dibahas di atas mesti dikurangi, agar anak siap mandiri, ketika masa itu menghampiri.
Foto: Twitter.com
[…] Baca Juga: Iklim Keluarga dan Sekolah Kita Tidak Mendidik Anak Kita Mandiri […]
[…] Baca Juga: Iklim Keluarga dan Sekolah Kita Tidak Mendidik Anak Kita Mandiri […]
[…] Baca Juga: Iklim Keluarga Dan Sekolah Kita Tidak Mendidik Anak Kita Mandiri […]