Dealing with Differences

EDU Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Kata ‘perbedaan’ akhir-akhir ini kerap muncul dalam berbagai perbincangan dan pemberitaan. Keprihatinan tentang fenomena intoleransi yang menguat, tampaknya menjadi kondisi yang melatar belakangi.

Ketika kata ‘perbedaan’ menjadi topik yang diangkat oleh seorang native speaker dalam sessi pembelajaran Bahasa Inggris, tidak mudah menyimpulkan bahwa pilihan ini diambil dengan alasan serupa. Tetapi yang tidak mudah ternyata tetap bisa, kita akan temukan pada akhirnya. Ini adalah reportase lanjutan dari kelas pembelajaran Bahasa Inggris rutin untuk guru, yang  dibawakan oleh Mr. Ezekiel Hattingh.

Setelah menuliskan kata different di white board kelas, kami, para muridnya, diminta mengungkapkan apapun yang kami ketahui berkaitan dengan makna kata ini. Langkah berikutnya, menggambarkan perbedaan dalam kalimat, menggunakan ungkapan more than atau less than. The way we describe difference tersebut, digambarkan dalam sebuah skema.

Terdapat sejumlah rumusan alternatif cara bertanya untuk mengungkap fakta perbedaan. Berlanjut dengan melatih pengunaannya melalui tugas merumuskan lima pertanyaan untuk menggambarkan perbedaan. Do you eat less than before? Are you more playful than your brother? Have you got brighter eyes than your sister?.. dan banyak pertanyaan lain kami rumuskan dengan pantauan dan koreksinya.

Tidak berhenti di situ, we have to do mingle, move around and ask our questions to other friends in class. Pada akhirnya, secara bergantian kami melaporkan fakta perbedaan yang kami peroleh melalui proses perbincangan one-to-one yang kami lakukan sebelumnya.

Demikian rangkaian tahapan pembelajaran yang terjadi untuk topik different. Sebuah proses yang utuh untuk peristiwa pembelajaran bahasa : memahami konsep, mengenali struktur pembentukan kalimat, berlatih merumuskannya, memfungsikannya dalam komunikasi, mendokumentasi hasil komunikasi, dan melaporkannya.

Dalam seluruh proses itu terdapat variasi metode, variasi aktivitas kelas yang sangat praktis dan melibatkan. Sudahkah ini menginspirasi? Bila belum, masih ada bagian berikut yang berpeluang untuk itu.

Kepada kami diperlihatkan sebuah tayangan singkat, masih bertema perbedaan. Pada kesempatan pertama, tayangan ditampilkan tanpa suara, kami diminta menebak isi percakapan mereka. Tokohnya adalah anak-anak, tampil bergantian, pasangan demi pasangan yang secara fisik memperlihatkan perbedaan.

Seorang anak perempuan berambut pirang dan seorang anak laki-laki berkulit gelap; dua orang anak laki-laki, yang seorang berwajah Asia dan yang lainnya berwajah Eropa; seorang anak perempuan berkulit gelap dan seorang anak laki-laki berkulit putih; dua orang anak perempuan, seorang di antaranya duduk di kursi roda; dua orang anak laki-laki kulit putih, yang seorang bertubuh lebih tinggi dari pasangannya; dan seterusnya.

Maka yang kami duga menjadi isi percakapan mereka adalah tentang warna kulit, tentang kebangsaan atau asal daerah, tentang tinggi badan, lalu hobby atau kegemaran, juga kondisi kesehatan.

Mengejutkan bahwa ternyata hampir tak ada tebakan kami yang mendekati benar. Kepada anak-anak itu diajukan sebuah pertanyaan “What makes you two different from each other?”

Ini jawaban mereka : “Saya makan lebih banyak selada daripada dia”, “Jari kaki saya lebih kecil daripada kepunyaan dia”, “Saya tinggal di kaki bukit, dia di ketinggiannya”, “Saya suka saus tomat, sedangkan ia tidak”, “Saya kurang bisa menari, tidak seperti dia”, “Di atap rumah saya ada binatang, di rumah dia tidak”.

Dua anak laki-laki berbeda warna kulit tampak sangat kesulitan menemukan perbedaan di antara mereka, Baru setelah pengambilan gambar yang ketiga mereka bisa menemukan jawaban, “Saya jago gym, dia jago berenang”.

Lalu di akhir tayangan, tertulis sebuah pernyataan kesimpulan : when it comes to difference, children see things differently.

Kami tertegun di hadapan sebuah fakta tak teringkari. Menjadi lebih menggelisahkan saat gambaran indah ketulusan anak-anak itu disandingkan dengan gambaran kecenderungan orang dewasa, kami, dalam relasi satu sama lain.

Mr. Zeek melakukannya, dengan meminta kami membuat list topik percakapan antar orang dewasa. Ia menuliskannya di samping daftar kata selada, jari kaki, bukit, saus tomat, menari, sebagaimana diungkap para tokoh dalam tayangan. Ironis sekali.

Pada awalnya daftar kata berisi ungkapan standar : pekerjaan, penghasilan, kegemaran, sampai Mr. Zeek mendesak kami untuk lebih jujur mengungkap fakta, lalu tertulislah kata-kata ideologies, religions, cultural back grounds, beliefs… Eduers, ini adalah bukti bagaimana concern seputar fenomena intoleransi, sungguh dihadirkan di kelas kami.

Betapa pentingnya fakta ‘berbeda’ bagi kita orang dewasa. Betapa serius kita menggarisbawahi dan menegaskannya. Bahkan pada orang yang sama, perhitungan waktu tadi dan kini pun sudah dianggap membedakannya. “Tadi saya berdiri, sekarang saya duduk”.

Sepenting apakah itu kiranya? Sedemikian berartikah perbedaan antara satu aktivitas dengan aktivitas lainnya? Apakah sudah bisa dipastikan bahwa misalnya, duduk beraktivitas di hadapan laptop adalah lebih baik daripada duduk diam saja?

Fokus pada perbedaan membuat kita menjatuhkan penilaian bahwa sebuah aktivitas menjadi lebih penting daripada aktivitas yang lain. Orang dewasa always try to get something dalam setiap aktivitasnya. Nilai sebuah aktivitas semata diukur dari sesuatu  yang bisa diperoleh sebagai hasilnya.

Untuk aktivitas mengisi hari libur dalam rangka mengurai kelelahan, misalnya, kita bisa menjadi sedemikian ‘penuh’ oleh tumpukan saran tentang sebaiknya pergi ke mana, menggunakan penerbangan apa, bermalam di mana, ….. Dan kita mengikuti itu demi mendapatkan sesuatu, atau sesuatu yang lebih baik.

Padahal dengan semua itu, tidak ada jaminan kita bisa bebas dari kegagalan, dari pilihan dan keputusan salah yang memunculkan penyesalan. Tak heran bila kita justru kelelahan usai liburan.

Fokus pada perbedaan menjadi asal mula labeling bahkan judging orang lain, tentang malas atau rajin, tentang boros atau pelit, tentang pandai atau dungu. Begitu saja kita simpulkan si A lebih baik daripada si B atau sebaliknya. Tanpa kita sadari, orang lain yang sepenuhnya bukan kita, kita ukur menggunakan ukuran kita.

Lalu menjadi  sempit sekali ruang yang kita buat untuk berada bersama mereka yang kita anggap kalangan sendiri. Begitu ketat kriteria yang kita tetapkan untuk memasukkan atau mengeluarkan siapapun dari ruang itu. “Untuk saya dia terlalu lamban”, “Dia kasar sekali, saya tidak bisa dengan orang seperti itu”, “Bagaimana mungkin bisa bekerja sama dengan orang bertipe seperti itu?”

Fokus pada perbedaan membuat kita lupa betapa membahagiakannya saat boleh menjadi kita apa adanya, tanpa takut akan bagaimana orang lain menilai kita. Betapa siapapun punya hak penuh untuk menjadi dirinya dengan semua pertimbangan yang orang lain tak akan pernah cukup memahaminya.

Betapa ternyata ada jauh lebih banyak suka cita dari menemukan kesamaan antar kita, dan perbedaan menjadi mahkota di atasnya, yang kita rayakan keindahannya.

Tampaknya perlu belajar lagi dari anak-anak kita. Apa yang sulit bahkan hampir tak mungkin bagi kita, mereka lakukan dengan mudahnya.  Mereka sederhana tanpa rekayasa. Namun dengan itu saja, keterbukaan dan ketulusan ada pada mereka sedemikian kaya.

Menjadi jelas kini sebuah pesan Kitab Suci, bahwa untuk memasuki Kerajaan Ilahi kita perlu menjadi seperti anak-anak ini. Saatnya melihat kembali, apa yang membuat kita sedemikian jauh dari kualitas mereka? Berapa lama kita hendak berada di sana? Mari mulai beranjak kembali, sejak saat ini. (Foto: kaaffah.xyz)

5 1 vote
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
oldest
newest most voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Baca Juga: Dealing with Differences  […]