Memaknai Visi dan Pendidikan Nilai Sekolah Santa Ursula BSD (sebuah Narasi Reflektif)

Info Sekolah
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com –  Mendidik berdasarkan asas Pancasila dalam terang iman Katolik agar menjadi Manusia Utuh, Cerdas, dan Melayani, memberikan makna pada gambaran ideal manusia yang menjadi mimpi Sekolah Santa Ursula BSD, penegasan identitas, dan kesadaran sosial-kultural di mana sekolah ini hadir di tengah realita keberagaman. Untuk menjadikan manusia utuh, sekolah memberikan hard skills (seperangkat ilmu pengetahuan) dan soft skills (pendidikan nilai). Keterampilan dalam bidang non akademis ini membutuhkan proses panjang dan harus dilakukan secara berkelanjutan.

Mengapa kedisiplinan menjadi arus utama pendidikan nilai di Santa Ursula BSD?

Banyak orang tersingkir ketika berhadapan dengan tuntutan disiplin. Konsistensi menerapkan nilai kedisiplinan sejatinya membantu peserta didik merebut keberhasilan pada bidang pilihannya. Sekolah sebagai lembaga sosial menjadi tempat manusia mengenal aturan. Contoh sederhana, peserta didik harus melewati trotoar. Aturan-aturan yang mungkin dipandang merepotkan. Tetapi, manusia membutuhkan semacam jerat-jerat budaya yang sifatnya mengikat dan menekan agar hidup ini lebih teratur.

Dengan disiplin akan lebih banyak kesempatan melayani orang lain. Disinilah titik temu antara konsistensi, kedisiplinan, dan melayani, sebagaimana tercantum dalam visi sekolah. Pagi hari sebelum bel berbunyi para guru menerima peserta didik di pintu gerbang untuk memeriksa kerapian mereka. Karyawan pada pagi hari sudah membersihkan sekolah. Ada jam perwalian, ruang dialog para wali kelas untuk memberikan perhatiannya pada perkembangan peserta didik. Untuk melayani kebutuhan peserta didik dalam bereksplorasi dengan berita, ide, dan gagasan, sekolah menyediakan perpustakaan dengan buku-buku bermutu. Di sinilah ruang literasi hadir, meskipun tidaklah mudah menjadikan kebiasaan membaca sebagai kebutuhan.

Cinta lingkungan terekspresi pada ruang hijau yang menunjukkan pentingnya kesadaran ekologi. Pemilahan sampah menjadi ruang pembiasaan bagi komunitas dalam memaknai cinta lingkungan karena nyampah adalah persoalan sosial. Kegiatan ini untuk menciptakan habitus (kebiasaan-kebiasaan sosial), dan tidak mungkin tercipta tanpa adanya pembiasaan diri. Sekolah memberikan pelayanan dengan lingkungan belajar yang bersih karena ruang dapat memberikan makna tersendiri. Keberlanjutan dari proses pendidikan ini, sekolah memiliki kegiatan ekstrakurikuler Daur Ulang sebagai bentuk kearifan ekologi di mana sampah masih memiliki nilai guna.

Tanggung jawab dan penghargaan pada nilai kebangsaan menjadi perhatian besar sekolah. Ini kepekaan kami melihat keberagaman dewasa ini kerap dipermasalahkan. Hari lahir Pancasila, HUT Kemerdekaan, Hari Kebangkitan Nasional, dan Hari Pendidikan Nasional dimanfaatkan sebagai momentum mendidik anak bangsa agar tidak kehilangan narasi sejarahnya. Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 1 Juni, di Santa Ursula BSD, Pancasila dikunjungi dan dirayakan dengan cara kreatif. Pengenalan realita keberagaman dikenalkan sejak usia dini, fase usia emas (golden age) di mana stimulus dari lingkungan terdekat memiliki pengaruh kuat untuk perkembangan tahap selanjutnya. Pada titik ini, pendidikan memiliki fungsi estetika, mendidik anak menikmati keberagaman dalam suasana gembira. Sekolah sebagai media perekat keberagaman memberi kesempatan peserta didik mengembangkan daya apresiasi dan kognitifnya untuk berkenalan dengan suatu objek.

Tantangan masa depan mendorong sekolah memikirkan bagaimana menumbuhkan peserta didik menjadi pemimpin (leadership). Ingin menjadi pemimpin dalam bidang apa adalah hak, karena setiap individu memiliki pribadi merdeka untuk menentukan pilihannya. Apa yang dipersiapkan sekolah? Sekolah mempersiapkan modal yang dibutuhkan seorang pemimpin. Mempertajam hasrat untuk berpikir, karena kekuatan ide/gagasan sangat dibutuhkan di jaman yang menuntut kecepatan dan kreativitas. Modal ini ditempa pada program Kaderisasi, Retret, dan Live In yang menumbuhkan sensitivitas pada keberpihakan. Sekolah juga mengadakan seminar/dialog kebangsaan agar peserta didik memiliki tradisi berfikir kritis, wawasan kebangsaan yang cakap, dan memahami problematika yang dihadapi bangsa.

Hal yang tidak pernah dilewati manusia adalah perubahan. Dalam gerak perubahan, ada tantangan yang mendorong manusia membaca kembali dinamika perubahan itu. Saya mencatat ada tiga hal penting;

  1. Revolusi Teknologi membawa perubahan pada pola perilaku manusia. Sadar atau tidak kedewasaan kita diuji oleh media sosial. Menarik diri dari teknologi digital jelas tidak mungkin, tetapi pada titik ini ada kerentanan apabila menyerahkan begitu saja pembentukan karakter anak pada gadget. Tantangan kita, bagaimana gadget tidak sekedar menjadi gaya hidup, tetapi sebagai media berinovasi. Prinsipnya, “mengikuti aliran air tetapi tidak hanyut”, mengacu pada falsafah Jawa “ngeli ning ojo keli”.
  2. Munculnya profesi-profesi baru / anti mainstream yang menjadi daya tarik generasi mileneal. Maka, memaksakan peserta didik pada jurusan yang sebenarnya tidak diminati perlu ditinjau ulang. Jaman berkata lain. Anak-anak kita adalah produk jaman yang cenderung ingin menjadi pekerja kreatif di luar pilihan generasi sebelumnya dan terampil membangun jejaring (modal sosial).
  3. Saat ini kita hidup dalam arus budaya global. Dunia seperti tidak mengenal batas-batas. Dalam hal tertentu kita membutuhkan dialog dengan budaya barat. Pada titik ini kebutuhan mengembangkan identitas nasional (ke-Indonesiaan) juga menjadi suatu keharusan. Guru memiliki peran besar untuk menumbuhkan hasrat mencintai warisan budaya bangsa. Dalam menyikapi tantangan ini, kegiatan ekstrakurikuler memberi ruang bagi anak, agar tidak tercerabut dari akarnya.

Merawat warisan tidaklah mudah. Ini juga menjadi tantangan bagi sekolah kami karena perubahan internal / eksternal dapat membuat kita terpuruk atau semakin matang. Untuk melihat gambaran masa depan sekolah, jangan melihat dari abunya (warisan yang sifatnya fisik), karena ini masih sebatas modal simbolik saja, tetapi lihat apinya. Kata-kata ini pernah diucapkan Bung Karno agar Bangsa Indonesia tidak manja pada kemapanan atas warisan fisik yang sudah diberikan generasi pendahulunya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan modal simbolik antara lain, gelar sarjana (S1, S2), nama besar pendiri/pemimpinnya, ataupun gedung-gedung megah. Api adalah semangat, dan apakah api itu masih terus menyala dalam memaknai panggilannya. Ini menjadi refleksi kita sebagai anggota komunitas. (Oleh: Ignatius Bayu Sudibyo, guru SMA Santa Ursula BSD)

0 0 votes
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments