Hidup Bahagia vs Hidup Bermakna

Family Talk
Sebarkan Artikel Ini:

Depoedu.com – Mengalami kebahagiaan, bukankah banyak dari kita mendeklarasikan itu sebagai tujuan hidup? Tentu saja ada banyak alasan yang melatarbelakangi. Peristiwa-peristiwa membahagiakan kerap sedemikian terpateri dalam kenangan dan memunculkan daya dorong tersendiri untuk menghadirkannya kembali. Begitu masuk akal, begitu sederhana untuk dipahami, menjadi bahagia bahkan tampak seperti rumusan tujuan hidup yang sangat alami, sangat manusiawi.

Maka, ada beragam upaya mewujudkannya, sebagaimana beragamnya gambaran kebahagiaan yang dicita-citakan. Mengalami kondisi berkecukupan secara materi merupakan salah satu gambaran yang paling biasa. Dengan kondisi demikian, ada berbagai kemudahan, ada berbagai kenikmatan yang bisa dialami. Hidup diringankan dan dinyamankan. Gambaran yang lain bisa tak terlalu berkaitan dengan materi. Mengalami kondisi dihormati, diperhitungkan, karena status atau jabatan yang dimiliki, misalnya. Hidup dibanggakan bahkan dipamerkan. Perlu upaya berbeda untuk mewujudkan gambaran kebahagiaan yang berbeda.

Hal yang mungkin akan sama pada beragamnya upaya adalah muatan kerja keras di dalamnya. Kemudahan hidup diraih dengan upaya yang sulit. Kenikmatan hidup diperoleh dengan penderitaan. Kehormatan hidup dibangun melalui pengorbanan. Fakta yang bernuansa ironi ini pun sudah diterima dan dimaklumi begitu saja. Mempersoalkannya, justru tampak sebagai aneh bahkan bodoh.

Namun pada banyak kejadian, berbagai upaya yang dilakukan untuk meraih kebahagiaan, tidak sepenuhnya membawa hasil. Yang bertahan dan melipatgandakan porsi upaya, kadang-kadang bisa memetik buah pada akhirnya. Sementara yang sudah melakukannya dan merasa tetap tak memperoleh apa-apa pun tak sedikit jumlahnya. Entah di mana letak salahnya, jarak antara harapan dan kenyataan terus tak terjembatani. Lelah dan putus asa kemudian menggerogoti. Eduers pernah alami? Bagaimana fenomena miris ini bisa dipahami ?

Adalah Romo Rijo Mursanto, SJ yang membantu kita mengambil sikap baru terhadap keprihatinan ini. Biarawan dari konggregasi Jesuit dengan segudang pengalaman pendampingan edukatif maupun spiritual ini menegaskan bahwa gambaran kebahagiaan hampir seluruhnya bermodus having, mempunyai. Ukurannya tampak, harus bisa dilihat oleh dan dibuktikan di hadapan orang lain. Target dirumuskan dan pencapaian diupayakan. Maka saat ada jurang antara target dan pencapaian, yang memunculkan rasa frustrasi dan keberatan, hidup justru menjadi beban dan tekanan.

Dari keluasan wawasan dan bekal pengetahuannya, dari kedalaman pengolahan budi dan batinnya, dari kekayaan rohani dan kepribadiannya, gembala umat Katolik yang akrab disapa Romo Rio ini menawarkan paradigma baru. Simak ungkapannya, : “Jangan mencari kebahagiaan. Tidak ada kebahagiaan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, melainkan ada dalam proses menemukan makna.” Sulit menangkap maksudnya? Ilustrasi yang Romo beri akan sangat membantu kita. Beliau berkisah tentang salah satu pengalaman mendaki yang mempertemukannya dengan gambaran kebahagiaan sejati pada sosok seorang pribadi, sesama pendaki.

Pendakian Gunung Kerinci saat itu adalah salah satu dari sekian pengalaman mendaki yang merupakan kegemaran Romo Rio. Namun kali ini, medan yang tidak mudah tersebut ditempuh dalam cuaca yang kurang bersahabat. Bahkan setiba di puncak, harapan akan menyaksikan pemandangan indah, hadiah untuk perjalanan yang ditempuh dengan jerih lelah, sama sekali tidak ditemui. Seluruh area diselimuti kabut tebal. Tidak hanya itu, dengan kondisi cuaca demikian, turun dari puncak pun segera harus dilakukan, tak ada pilihan. Itu gambaran kondisinya.

Berikutnya adalah gambaran rekan seperjalanan Sang Romo. Ia pendaki yang berasal dari Bali, menempuh perjalanan ke Sumatera untuk bergabung dalam pendakian ke Kerinci. Dari pengalaman-pengalaman yang diceritakan sepanjang saat kebersamaan, tampil kesan ia sungguh menikmati perjalanan. Ia juga melengkapi diri dengan sarana untuk merekam keindahan lokasi. Foto, terlebih film, tampak ia siapkan sebagai dokumentasi pendakian. Bisa dibayangkan apa yang ia rasakan dengan kondisi pendakian yang barusan digambarkan? Namun sebagaimana diungkapkan Romo Rio sebagai kesaksian, tidak ada yang berubah padanya. Seperti yang tampak saat mendaki, demikian pula terlihat saat turun dari puncak : ia sungguh menikmati perjalanan.

Tidak ada yang diraihnya. Paradigma having melihatnya sebagai sia-sia. Apalagi dibandingkan dengan semua yang sudah diupayakannya. Alih-alih memperoleh dan memiliki sesuatu dari perjalanan ini, ia justru memberikan segala sesuatu pada perjalanan ini. Tapi mengapa ia bisa berbahagia? Pernyataan Romo Rio di atas menjadi jawabannya. Pendaki ini mengetahui persis tujuannya, Gunung Kerinci. Ia mengalami setiap detail prosesnya, bagaimanapun kondisinya. Baginya, peristiwa mendaki, sejak awal hingga akhir, adalah sesuatu yang bermakna.

Hidup yang bermakna (meaningful life), dibangun oleh empat pilar, yakni belonging, purpose, transcendence, dan story telling. Keempatnya, secara bersama-sama menandai bagaimana hidup dialami sebagai bermakna oleh seseorang. Belonging, menjadi bagian dari sesuatu, mengalami relasi dengan orang lain yang memberikan penerimaan apa adanya, membuat seseorang mengalami hidupnya sebagai bermakna. Purpose, mengenali hal yang hendak dilakukan dengan hidupnya, meyakini hidup sebagai bertujuan, adalah tanda lain bermaknanya hidup bagi seseorang. Transendence, kesadaran akan kekuatan yang melampaui realitas hidup manusiawi, menguatkan seseorang menjalani hidup, sesulit apapun, karena meyakini maknanya. Story telling, kemampuan mengolah dan merefleksikan pengalaman hidup, menyusun narasi tentang diri dan mengutarakannya, menunjukkan keyakinan akan makna hidup.

Ibarat empat kaki pada sebuah meja, masing-masing pilar bernilai setara, memberi kontribusi yang sama besar pada kokohnya meja. Adalah penting untuk mengembangkan keempatnya bersama-sama, semakin mengalami hidup sebagai bermakna, serta menemukan pengalaman bahagia dalam prosesnya. Karena pada dasarnya kebahagiaan adalah akibat yang akan dialami, saat hidup sepenuhnya dimaknai.

Foto:  Tribunstyle.com

0 0 votes
Article Rating
Sebarkan Artikel Ini:
Subscribe
Notify of
guest
2 Comments
oldest
newest most voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Baca Juga : Hidup Bahagia vs Hidup Bermakna […]

trackback

[…] Baca Juga: Hidup Bahagia Vs Hidup Bermakna […]