Depoedu.com – Distorsi moral banyak kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari baik yang skala kecil maupun besar. Misalnya, masih banyak pengguna jalan raya yang tidak menaati aturan lalu lintas. Masih maraknya korupsi berjamaah di berbagai instansi pemerintah. Para wakil rakyat yang masih banyak menggunakan aji mumpung dalam tugas jabatan berperilaku tidak sesuai dengan amanah sebagai wakil rakyat, tetapi justru mengutamakan kepentingan pribadi dan kepentingan kelompoknya. Oleh sebab itu, banyak wakil rakyat setelah purna tugas menjadi penghuni hotel prodeo (penjara).
Kejadian nyata di atas membuat rasa keprihatinan kita tersulut. Maka sangat tepat jika pesan Bung Karno sebagai Bapak proklamator Indonesia bahwa pembangunan karakter bangsa Indonesia harus diprioritaskan.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 pada Bab I pasal 1 ditandaskan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Bertumpu pada amanah Bab I pasal 1 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tersebut dalam pendidikan ada beberapa hal yang harus mendapat penguatan, yakni menciptakan suasana belajar yang dapat mengantarkan peserta didik mengggali, menemukan, dan mengembangkan potensi dirinya untuk menjadi pribadi yang cerdas dan berketerampilan hidup, religius dan berakhlak.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut semakin jelas bahwa pendidiakan nasional sangat berkaitan langsung dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, cerdas, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.
Terkait dengan pencapaian kesuksesan peserta didik setelah terjun di masyarakat dalam mengembangkan kariernya, ternyata tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill), tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Hal ini dinyatakan oleh hasil penelitian di Havard University Amerika Serikat yang menghasilkan bawah kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill.
Soft skill inilah yang dihubungkan dengan pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang mengajarkan cara berpikir dan berperilaku untuk membantu individu dalam hidup dan bekerja sama sebagai anggota keluarga, masyarakat, dan negara. Ranah pendidikan karakter juga mengantarkan peserta didik untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan karakter mengarahkan atau mengajari peserta didik berpikir cerdas, bertanggungjawab, dan santun. Pendidikan karakter mengarahkan atau mengajari peserta didik berpikir cerdas, bertanggungjawab, dan santun. Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbolsimbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan cirri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah yang bersangkutan.
Adapun tujuan pendidikan karakter (dalam ranah sekolah) adalah untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang sesuai standar kompetensi lulusan. Pada sisi lain, dengan pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dalam perilaku sehari-hari.
Dengan demikian diharapkan anak sebagai manusia muda bisa berkembang secara optimal menuju pribadi yang utuh. (disarikan dari berbagai sumber oleh Ch. Enung Martina / Foto: news.okezone.com)